Sunday, January 1, 2017

MINE | BAB 9. Merah Muda Berdarah

“DIMANA RAFAEL? HEI! BERITAHU AKU ADA DI MANA PEMBUNUH ITU!”
“Pak Reza,—“
“DIAM KAU!”
Beberapa orang di sekitar Reza langsung memeganginya kuat, berusaha menahan Reza yang sedikit lagi sampai di depan ruang kerja Rafael.
Reza rasa, ia tidak memiliki pengendalian amarah yang baik. Lewat kedua kakinya, ia memberontak liar. Sukses terlepas dari para pegawai yang menahan pergerakannya, Reza berlari menuju ruang kerja di mana pemiliknya adalah tujuannya meledakkan emosi.
Dengan tidak sabar Reza mendorong kuat pintu kaca di depannya. Saat terbuka lebar, kedua matanya semakin memerah. Reza dapat melihat orang yang ia cari-cari tengah duduk santai di atas kursi kebesarannya.
Rafael yang sudah ia teriaki dengan otot, dia sedang memegang sebuah berkas ditemani musik lembut yang mendayun merdu.
Habis sudah kesabaran yang berusaha Reza tahan sejak kemarin. Ia segera berlari ke meja Rafael dan membanting ponsel yang masih memutar lagu penuh kelembutan. Berkat tindakan barusan, ponsel itu hancur dan berserakan di atas lantai.
Reza mendapat tanggapan setelah membanting benda pribadi Rafael. Lelaki itu langsung beranjak berdiri lalu membanting berkas yang dipegangnya. “Kau tidak sopan sekali, Reza! Setinggi apa jabatanmu?!”
“Keparat!”
Reza mendekati Rafael yang berada di belakang meja kerjanya. Reza bisa menarik kuat kerah kemeja Rafael, padahal di depan tubuhnya ada meja kerja Rafael.
“Kau tidak merasa bersalah?!” Bentak Reza tepat di depan wajah Rafael.
Rafael menyunggingkan salah satu ujung bibirnya. “Istrimu yang mengumpankan diri. Aku tidak bersalah!”
“Sekali lagi, kau tidak merasa bersalah?”
“Tidak! Apa maumu, hah?!”
Rafael langsung terdorong kencang ke belakang. Tubuhnya terseok jauh, tak lama kemudian punggungnya membentur dinding di belakang kursi kerjanya. Tubuh Rafael sampai jatuh terperosok di atas lantai.
Reza melanjutkan aksinya. Ia menghempas semua benda yang berada di atas meja Rafael. Suara benda yang terjatuh kencang disusul beberapa suara pecahan keramik mengiringi suasana ruangan yang dipenuhi aura hitam.
“Kau tidak tahu kalau istriku koma, heh?! KAU TIDAK TAHU?!”
“Aku tidak peduli!”
“Arrgghh!”
Suara bantingan menyusul lebih kuat lagi. Reza berhasil melempar laptop kerja Rafael sampai monitornya terlepas dekat dengan kaki pemiliknya.
“Apa lagi yang ingin kau hancurkan dari ruanganku, orang gila?!!”
“Kau yang gila! Dendam kesumat yang tidak berlogika itu benar-benar menghancurkan semuanya! Aku tidak pernah memihak siapa-siapa di antara keluarga kalian. Mengapa kau menghancurkan keluargaku?!”
“ISTRIMU YANG SALAH! Aku tidak berniat menusuk istrimu. Salah dia menyelamatkan perempuan sialan itu!”
“Heh, Rafael! Sadarlah! Kalau saja kau bukan ayah dari Fasha, sudah kuhabisi kau sejak kemarin!”
“Habisi saja aku! Kenapa karena anak pembawa sial itu, kau tidak menghajarku?”
“Anak pembawa sial?”
“Ya! Anak pembawa sial!”
Reza berjalan cepat ke arah Rafael yang sudah kembali berdiri tegak. Sesudah berada di depan Rafael, Reza melayangkan tinjuan pada rahang kiri Rafael.
“Jangan kau menghina Fasha! Anak itu keponakanku!”
Rafael berdiri limbung sambil memegang tulang rahangnya yang berkedut nyeri. Kedua matanya segera ia putar untuk memandang nanar pada Reza; sahabatnya yang tengah meremas kuat jemari-jemarinya sendiri.
“Kau adalah ayah terjahat yang pernah kutahu! Aku bersumpah!”
“Itu urusanku!”
“Rafael! Kau ingin kubuat hancur sekarang juga?!”
“Silahkan saja!”
Reza mengambil kerah kemeja Rafael dan menariknya kuat. Kepalan jemarinya sudah terangkat bebas di udara, bersiap melayangkan pukulan telak ke arah pelipis Rafael. Reza tidak memikirkan lagi siapa lelaki yang ia perlakukan kasar sekarang, setinggi apa jabatannya, bagaimana resikonya nanti setelah ia membuat Rafael babak-belur. Yang saat ini ia perlukan adalah melampiaskan amarahnya.
“Rafael! Reza! Sudah!”
Reza terkesiap saat kepalan tangannya tertarik ke belakang. Tubuhnya turut mengikuti gerak tangannya, ia menjauh dari hadapan Rafael. Sedetik kemudian, ia merasakan ada dua buah tangan yang mengalungi badannya, menahan erat setiap gerakan yang akan ia lakukan.
Reza kembali tersulut emosi. Ia menengok dengan kedua mata tajam, namun yang ia dapatkan adalah wajah dingin Rangga yang mampu membuat indrawinya berekspresi tidak sekesal tadi.
“Lepas, Ga! Biarkan aku membunuh Rafael sekarang juga!”
“Tenanglah, Za! Sekalipun kau membunuh Rafael, semua ini tidak akan kembali seperti semula.”
“Tapi—“
“Bisma! Lepas! Aku ingin tahu sekuat apa Reza menghabisiku!”
“Kau jangan gila, Rafael!”
“Lepaskan aku!”
Hampir sama dengan apa yang dilakukan Rangga, Bisma juga menahan tubuh Rafael yang memberontak penuh emosi.
“Kalian berdua tidak tahu malu! Masalah kemarin saja belum kelar. Hentikan!”
Mendengar intruksi Rangga, kesadaran Reza perlahan kembali. Amarahnya tidak membludak seperti sebelumnya, walaupun ia masih merasa kesal pada Rafael.
Reza melepas kedua tangan Rangga yang melingkari tubuhnya. Ia merapihkan tuxedo yang dikenakannya kemudian memandangi Rafael dengan sirat ‘urusan.kita.belum.selesai’.
“Kau urus perbuatanmu yang memalukan keluarga! Jangan ‘sok meleraiku dan Reza! Berkaca! Pemimpin seperti apa dirimu, Rangga!”
Rangga mengerutkan dahinya sebelum bibirnya terbuka, selayaknya baru saja mendapat sebuah ide. “Oh iya! Untukmu Rafael.. Mulai detik ini kau dipecat dari Tanubrata’s Corporation. Sekarang, tinggalkan perusahaan ini dan bawa barang-barangmu!”
Bisma begitu terkejut, bahkan ekspresinya mengalahi raut wajah Rafael yang tercengang. Akibat terperangah, kungkungan tangannya yang mengalung pada badan Rafael terlepas.
Rafael maju satu langkah. “Apa maksudmu?!”
Rangga menyunggingkan senyum iblisnya. ““Kau tidak mengerti juga? Perlu aku jabarkan di depan para mantan pegawaimu?”
“Kau?!” Rafael menuding Rangga. “Aku tidak pernah memaafkan apapun yang sudah kau dan keluargamu perbuat padaku, Rangga! Lihat saja apa balasanku!”
Rafael segera meraih tas kerjanya dan berjalan keluar dari ruangan dengan amarah yang sangat terlihat memuncak.
“Surat pemberhentianmu sudah ada di rumah, Rafael!” Teriak Rangga ketika melihat tubuh Rafael melewati muka pintu.
“Rangga, kau tidak bercanda? Kau memecat Rafael, aku takut kau dan—”
“Tidak, Za. Keputusan ini sudah turun langsung dari Pak Rully.”
“Lantas, siapa yang memegang Tanubrata’s sekarang?”
“Aku, untuk beberapa waktu ke depan.”
Bisma membuka dua bibirnya tidak percaya. “Kau serius? Pekerjaanmu di sana, bagaimana?”
“Masih bisa kutangani. Reza, tidak ada yang luka, kan karna pertengkaranmu tadi?”
“Tidak ada. Maaf aku sudah membuat kekacauan di kantor ini.”
“Tidak apa-apa. Kau pantas mengamuk seperti itu di depan Rafael.”
“Ya sudah kalau seperti itu. Reza, bisa kau ikut aku? Ada beberapa urusan yang harus kita selesaikan.”
Bisma melirik Reza yang langsung menganggukkan kepala. “Aku ingat, Bis. Baiklah, kita berdua pergi, Ga.”
Rangga menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Reza dan Bisma bersalaman dengan Rangga sebelum mereka keluar dari ruang kerja Rafael yang beralih fungsi menjadi milik Rangga untuk sementara waktu.
Selepas kepergian Bisma dan Reza, Rangga ikut melangkah keluar ruangan. Kedua matanya menangkap hampir keseluruhan manajer dari semua divisi, berdiri di depan pintu.
Rangga menghela napas pelan. “Berdasarkan keputusan dari Pak Rully, mulai hari ini saya yang akan mengambil alih kepemimpinan Tanubrata’s untuk sementara. Ada beberapa masalah perusahaan yang harus saya tangani secara langsung.”
“Baik, Pak. Semoga Bapak Rangga nyaman berada di perusahaan ini.”
Rangga tersenyum tipis kemudian menganggukkan kepalanya. “Bisa kalian memanggil petugas kebersihan kemari? Kurasa mereka semua harus membersihkan ruangan ini dari sisa-sisa Rafael.”
“Saya yang akan memanggil mereka.” Sahut pria paruh baya yang tepat berada di hadapan Rangga.
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama.” Jawabnya. Pria itu secepat kilat meninggalkan Rangga yang mulai membuka perbincangan ringan kepada para manajer Tanubrata’s.
Sekitar lima menit, Rangga berusaha berbasa-basi sambil mengawasi kinerja karyawan yang berada di balik kubikel. Saat ia memutar bola mata untuk mengawasi kubikel di bagian kiri lift, saat itu pula pintu lift itu terbuka lebar. Rangga tidak mengalihkan pandangannya, ia lebih memilih untuk mengamati siapa yang akan keluar dari benda serupa kamar itu.
Orang pertama yang keluar adalah pria paruh baya yang mematuhi perintahnya lima menit lalu. Di belakang pria itu, ada tujuh orang berpakaian seragam yang keluar dengan tergesa-gesa.
“Sudah saya panggil dan saya bawa lengkap mereka kemari, Pak Rangga.”
“Baiklah, terima kasih sekali lagi. Kalian saya persilahkan kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda akibat insiden barusan.”
Tanpa membalas, beberapa orang yang sejak tadi mengajaknya berbincang itu membungkuk hormat. Mereka meninggalkan Rangga bersama tujuh orang berpakaian seragam yang membawa berbagai peralatan kebersihan.
Rangga menatap wajah mereka satu per satu; termasuk wajah wanita yang sekarang tengah memutar bola matanya ke lain arah.
“Saya ingin kalian membersihkan ruangan ini sampai tidak ada debu sedikitpun. Saya ingin tidak ada jejak-jejak Rafael lagi di dalam ruangan ini. Sepuluh menit, cukup?”
“Cukup, Pak.” Jawab Ratih, mewakili suara dari semua anggukan teman-temannya.
“Baiklah. Saya tinggalkan kalian sampai sepuluh menit ke depan.”
Tidak banyak bicara, ketujuh petugas kebersihan segera berlalu dari hadapan Rangga.
Sesaat Rangga dapat menghirup aroma parfum yang dipakai oleh seorang petugas kebersihan yang berlalu paling akhir dari hadapannya. Seseorang yang sejak tadi tidak ingin menatapnya, bahkan Rangga tidak menjamin apakah orang tersebut mendengar intruksinya tadi.
Rangga tidak membalikkan tubuhnya. Ia hanya menggeser sedikit kepalanya, menoleh beberapa derajat. Tubuh Office Girl berkuncir kuda itu sudah melewatinya sepersekian detik lalu.
Ia mengambil napas pendek yang sangat pelan. Rangga memasukkan masing-masing telapak tangannya dalam saku celana. Kedua kakinya mulai berayun mengikuti perintah otaknya yang sudah mencatat berbagai aktivitas yang akan ia lakukan menunggu sepuluh menit tersebut berlalu.
Berbeda dengan Tania yang sudah masuk ke dalam ruangan, perempuan ini malah terdiam di belakang pintu. Kedua matanya seolah terasa perih dan rasa-rasanya juga, bagian itu ingin mengeluarkan banyak air yang tidak diketahui sudah ingin keluar saja dari indrawinya.
Tidak hanya mata itu yang terasa perih, hatinya lebih sakit daripada yang dibayangkan.
“Tan,”
Tania mengalihkan pandangan. Laura sudah berada di sampingnya dengan sebelah tangan yang merangkul bahunya pelan.
“Kau kenapa? Sudah, kau jangan pikirkan masalahmu dan Pak Rangga yang belum selesai. Sekarang, kita harus bersama-sama menyelesaikan pekerjaan ini. Okay?”
Tania menarik tipis kedua ujung bibirnya. “Okay. Aku yang menyapu dan kau yang mengepel, ya?”
Laura menganggukkan setuju. Ia menepuk sebelah bahu Tania, menyalurkan rasa empatinya. “Semangat! Pak Rangga juga terlihat sama menderitanya sepertimu.”
“Jangan berbicara yang tidak-tidak. Ayo!”
Tania mengalungkan sebelah tangannya yang bebas pada kedua pinggang Laura kemudian mendorong tubuh itu untuk melangkah maju. Laura hanya terkekeh dan mengikuti ke mana langkah yang Tania inginkan.
Sepuluh menit yang Rangga perintahkan dapat dipenuhi oleh para petugas kebersihan. Saat Rangga sampai di depan ruangannya, ia bisa melihat hampir semua petugas juga sudah berada di luar. Di dalam hanya tersisa dua perempuan yang masih sibuk membersihkan lantai dengan dua alat mereka.
Dua perempuan tesebut bukanlah perempuan yang berhasil merebut tatapan matanya, dari waktu seseorang itu keluar dari lift, sebelas menit yang lalu.
“Sudah selesai semuanya?” Tanya Rangga sambil menolehkan kepalanya ke arah para petugas yang berada di sebelah kiri.
“Sudah, Pak. Anda bisa memeriksanya setelah lantai kering, sekitar dua menit lagi. Maaf kalau saya terdengar mengintruksi.”
Rangga menatap Morgan yang bersuara sambil menundukkan kepala sesaat. “Tidak apa-apa. Setelah dua teman kalian selesai, kalian boleh melanjutkan pekerjaan kalian yang belum selesai. Boleh istirahat, namun tidak lama.”
“Baik, Pak.”
“Untuk Tania..”
Tiga pasang mata petugas kebersihan segera memandang penuh keheranan pada wajah Rangga yang terlihat semakin datar. Berbeda dengan Morgan, pemuda itu berbalik memandang Tania dengan pandangan meminta waspada.
Tania tidak memandang ke arah Rangga, justru ia memandang Morgan dengan sirat mata membalas arti tatapan pemuda itu. Dipastikan, hanya Tania dan Morgan yang mengerti pembicaraan lewat kontak mata tersebut.
“Anda masuk ke dalam ruangan saya setelah lantai mengering.”
Tania memutar bola matanya, bermaksud ingin memandang Rangga dengan berbagai pertanyaan yang muncul dari dalam benaknya. Bukan tubuh Rangga yang ia dapat, justru Tania menangkap pergerakan Rangga yang sudah sampai di depan pintu lift di ujung selatan bangunan.
Tania kembali memandang Morgan. “Apa yang ingin dia lakukan?”
“Mungkin Rangga akan menghabisimu karena kecerobohanmu itu, Tan.”
“Ilham!” Morgan segera memukul punggung Ilham yang berada di sebelah kanannya.
“Hadapi saja, Tan. Kulihat, Rangga tidak seperti Rafael. Apalagi dia sangat mencintaimu dan benar-benar menjagamu kemarin. Aku yakin, dia tidak akan sejahat yang kau takutkan.”
“Kurasa apa kata Morgan ada benarnya juga, Tan.”
Laura yang merupakan salah satu perempuan yang sejak tadi masih mengepel lantai, menegakkan tubuhnya. Pekerjaannya terlihat sudah selesai.
“Kau harus berani menanggung akibatnya. Selesaikan masalah kalian.”
Tania mendesahkan udara dengan panjang. Ia menganggukkan kepalanya pelan. “Aku akan menyelesaikannya sekarang juga.”
“Baguslah! Kau lebih baik lepas sepatumu dan masuklah ke dalam sekarang. Setelah kau duduk di soffa, kau pakai lagi sepatumu. Menurutku, kau harus berjaga-jaga, barangkali telapak sepatumu kotor dan lantai belum sepenuhnya mengering.”
“Tapi, Ra, kulihat Tania baru saja mengganti sepatunya.”
“Ah, Benar juga, Mai! Tapi lepas saja, aku takut Pak Rangga ingin melihat lantai ruangannya benar-benar mengkilap.”
“Lebih baik aku menunggunya di luar saja.”
“Di dalam saja, Tan.” Ratih yang kini menimpali. Tania memutar bola matanya pada sosok yang paling ia hormati di antara rekan-rekannya yang lain. “Tidak enak dilihat kalau kau menunggu beliau di luar. Pak Rangga saja sudah mempersilahkanmu ke dalam.”
Benar juga. Jawab Tania dalam hati.
Tania membungkukkan tubuh untuk melepas sepasang sepatunya yang dapat ditanggalkan dengan mudah; hanya membuka simpul talinya yang mendekati tumit kaki. Sesudah terlepas, Tania segera membawa sepasang sepatunya dengan sebelah tangan.
“Aku masuk, ya?”
“Semangat!”
Laura berseru sambil mengacungkan kepalan tangannya di udara. Kepalan tangan berikutnya dilakukan oleh rekan-rekan Tania yang lain. Tania membalasnya dengan sama-sama menunjukkan kepalan tangannya yang bebas di udara.
“Terima kasih. Aku sangat beruntung bisa bergabung dengan kalian.”
“Sudah, cepat masuk!” Titah Ratih.
Tania tersenyum kemudian melangkah ke arah pintu yang masih terbuka lebar. Ia masuk lalu segera berbalik untuk menutup pintunya.
Ruang kerja ini sudah menjadi saksi perdebatan Tania dan Rafael sejak beberapa tahun yang lalu. Perdebatan yang pasti berujung dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. Tania masih sangat bisa mengingatnya, tidak ada satupun memori yang hilang dari otaknya.
Tetapi mulai hari ini, ruangan yang Tania pijak sudah berganti pemilik. Sekarang, pria yang sedang kecewa padanya yang menjadi pemilik sementara ruang berdinding putih pucat tersebut.
Tania melangkah ke arah soffa dengan langkah pelan. Kaki telanjang Tania yang terlapis kaos kaki bercorak itu menyentuh perlahan lantai dingin ruangan. Suhunya berhasil menusuk kulit, sekaligus menyelinapkan ketakutan yang mulai mendebarkan jantungnya secara tak biasa.
Tania merasa belum siap berbicara empat mata dengan Rangga.
Ia menjatuhkan tubuhnya di atas bantalan empuk soffa. Sesudah meletakkan sepatunya di atas lantai, Tania segera membungkukkan tubuh untuk kembali mengenakan sepatunya, sebelum Rangga datang dan geli melihatnya telanjang kaki.
Benar saja, saat Tania selesai menyimpul tali sepatunya yang terakhir, ia merasakan kehadiran seseorang yang disusul suara pintu yang ditutup pelan.
Tania menegakkan duduknya. Dua mata itu mengarah pada pintu yang sedang ditutup oleh seseorang yang memunggunginya. Ia menaruh kedua telapak tangannya di atas paha, menunggu pemilik tubuh tersebut menghadap ke arahnya.
Sepersekian detik saja, wajah pemilik tubuh itu sudah dapat ia ketahui secara jelas.
Langkah penuh aroma keangkuhan kini tersaji di depan mata Tania. Pemilik kaki jenjang itu memiliki ekspresi wajah yang tidak bisa Tania deskripsikan. Ia tidak ingin melihatnya terlalu lama. Semakin ia menatapnya, semakin pula rasa bersalah itu menutupi perasaannya yang bodoh.
“Mengapa hari ini kau datang pukul setengah sembilan, Tania?”
Tania memfokuskan bola matanya untuk memandang ke arah Rangga yang berdiri tepat di depannya, hanya terpisah dengan meja kayu berbentuk persegi panjang. Tubuh tinggi pria itu menjulang kokoh, dan perawakan Tania diibaratkan sebagai sosok ringkih yang mudah rapuh dalam sekali remas.
“Aku sudah diberi peringatan oleh manajerku sendiri. Kurasa untuk seseorang dengan jabatan tertinggi di kantor ini, kapasitasmu tidak serendah itu.”
Rangga menyipitkan kedua matanya sesaat ucapan dingin dari wanita di hadapannya terlontar. Tidak habis pikir, sebenarnya ia ingin membuat wanita itu membeku. Namun baru di awal, Rangga sendiri yang malah terpaku atas tanggapan pertama wanita itu; Tania.
“Kapasitasku tidak terbatas, Tan. Jabatanku, pun lebih tinggi daripada yang kau kira di kantor ini. Tidak sepantasnya kau datang terlambat sampai setengah jam, itu sangat parah.”
“Kalau begitu, aku mohon maaf. Manajerku saja sudah memberikan toleransi karena masalah ini. Kau tidak perlu membesar-besarkannya.”
“Benarkah? Ingat, kekuasaan perusahaan ini berada di tanganku mulai sekarang, bukan Rafael lagi.”
Tania memincingkan kedua matanya. “Lantas, kau ingin memecatku sekarang juga? Silahkan saja.”
“Aku tidak sebodoh itu. Oh iya! Kalau aku memecatmu sekarang—“
Tania semakin memincingkan mata saat Rangga mulai merundukkan tubuh. Pria itu mendekatkan wajahnya pada wajah Tania sampai bagian itu berada dalam satu garis sejajar. Tania hanya mampu menahan napas, ia sungguh merasa canggung.
“Kau akan sama dengan Rafael, sama-sama dipecat. Ah, apa kalian berjodoh?!”
Ingin sekali Tania meninju wajah iblis Rangga. Kalau saja ia tidak memiliki posisi yang paling bersalah di sini, mungkin Tania sudah membuat sebuah luka di wajah rupawan itu.
“Kalau aku dan Rafael berjodoh, apa masalahmu?” Sahut Tania bersama senyum separuhnya yang mematikan. Tania rasa, sekarang ia harus menaikkan egonya.
“Kau bertanya apa masalahku? Hmmm, kurasa ada beberapa.”
Rangga menipiskan jarak wajahnya dengan wajah Tania. Secara lembut, Rangga menyentuhkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Tania. Rangga bisa merasakan napas kecil-kecil yang dikeluarkan Tania melalui kedua cuping hidung wanita itu.
“Banyak yang sudah kau hancurkan dari hidupku. Apa kau sadar?”
Rangga membuka bibirnya jahil. Ia ingin memaksa Tania agar Tania berniat mengecup bibirnya. Bukan terlalu percaya diri, namun wanita itu sempat melirik sekilas ke arah bibirnya yang terbuka.
“Aku tidak yakin dengan kata banyak itu. Lebih banyak hidupku yang kau hancurkan, Ga. Maaf saja.”
Rangga memiringkan wajahnya, membuat Tania gelagapan dalam hati. Apakah pria itu ingin mengecup bibirnya? Tania ingin segera memejam. Namun pergerakan Rangga yang terlihat tidak beres, memaksa Tania membatalkan niat memejamkan mata.
Wajah Rangga kembali menjauh. Hidung keduanya tidak bersentuhan lagi.
“Apa begitu mudah kau mengeluarkan kata maaf, setelah kau menghancurkan semua prestasi yang kubangun dengan susah payah?”
Tania menarik napas. Dua mata Rangga masih memandangnya dengan tatapan nyalang; di antara tatapan liar penuh kekaguman sekaligus tatapan iblis yang sangat mematikan.
“Bagaimana dengan ketidak-jelasan yang kau berikan selama ini? Bahkan kata maaf yang sangat mudah diucap saja, susah sekali kau keluarkan.”
“Kau tidak tahu apa-apa.”
“Karena aku tidak tahu apa-apa, aku butuh sebuah kejujuran. Apa kau melakukan itu?”
“Hng—“
Tania kembali menahan napas ketika Rangga kembali menyentuhkan ujung hidung mereka. Lagi dan lagi pria itu juga membuka kedua bibir merah mudanya, seolah ingin berbicara, tapi Rangga tidak segera mengeluarkan suara. Sepasang mata Rangga juga tidak merubah siratnya, membuat Tania berusaha sekeras mungkin untuk menahan kegelisahannya.
Dalam keegoisan dan keangkuhan yang Tania pertahankan sejak tadi, ia sungguh merindukan Rangga beberapa hari yang lalu. Lebih ke arah yang sedikit intim, Tania merindukan setiap jengkal bibir tersebut menjelajahi permukaan bibirnya, sewaktu Rangga memanas-manasi Bisma.
“Apa kau ingin terbuka tentang kebodohan yang kau lakukan kemarin?”
“Kebodohan yang mana? Kurasa aku melakukan semuanya dengan baik dan benar.”
“Kau tahu, aku mengkhawatirkanmu setelah mendengar kau pulang seorang diri semalam. Apa itu disebut dengan sesuatu yang baik dan benar?”
Rangga kembali memiringkan wajahnya, melakukan pergerakan seolah dia ingin meletakkan bibirnya di atas bibir ranum Tania.
“Apa pedulimu?” Sahut Tania, membiarkan wajah Rangga semakin dekat pada wajahnya.
“Aku peduli karena aku—“
Tania tidak tahu mengapa otak dan hatinya berjalan tidak searah. Hatinya memerintah bahwa ia tidak boleh tergoda atas apa yang tengah dilakukan Rangga, tetapi otaknya malah menggerakkan saraf-sarafnya untuk agresif menipiskan jarak di antara wajahnya dan wajah Rangga.
Sedikit lagi apa yang menjadi keinginan hati Tania terlaksana, namun Tania merasakan ada sebuah jari yang menahan pergerakan bibirnya. Padahal sekali bergerak saja, bibirnya sudah berhasil menyentuh permukaan bibir Rangga.
Dengan tatapan yang semakin terlihat nyalang, Rangga meletakkan satu jari telunjuknya di atas bibir Tania. Wajahnya kembali menjauh, bahkan lebih jauh dari sebelum-sebelumnya. Ada sekitar jarak sepuluh sentimeter di antara kedua wajah tersebut.
Rangga mengubah letak jari telunjuk itu. Ujung jari tersebut kini mengusap tepi bibir bawah Tania dengan begitu pelan.
“Sejak tadi sebenarnya aku ingin sekali menyentuh bagian ini. Dia sangat manis, namun terkesan jahat daritadi.”
Pandangan Rangga yang baru saja menatap bibir Tania, sekarang beralih memandang sepasang bola mata Tania. Raut wajahnya terlihat begitu polos.
Rangga menyunggingkan senyum separuh. Telunjuk tersebut berganti dengan ibu jari. Kembali mengulang, ujung ibu jari tersebut mengusap tepi bibir bawah Tania lebih lembut dari sebelumnya.
“Tapi sayang sekali, aku tidak sudi menyentuh kembali milikku yang sudah disentuh orang lain. Itu sangat menjijikan.”
Ditolak mentah-mentah. Hanya kalimat itu yang muncul di dalam otak Tania. Bersamaan dengan itu pula, sebuah hantaman keras berhasil membentur hatinya yang sudah dalam keadaan tidak baik beberapa hari ini. Tania tidak bisa mengendalikan amarahnya yang langsung saja menguak, ia begitu tidak terima atas ucapan Rangga barusan. Jika hatinya ibarat mulut, maka bagian itu sudah menggerutu emosi.
Tak sadar, satu telapak tangannya terangkat cepat dan bagian itu sukses melayangkan tamparan kencang di atas wajah Rangga.
Dua mata Tania berair. Tania tidak menyangka bahwa amarahnya akan meledak sehebat ini.
Tania menatap Rangga lama. Bagian itu semakin berkaca-kaca, walaupun Rangga memandangnya dengan pandangan kalap. Tania tidak merasa takut.
“Aku memang rendah, Ga.”
Tania mengambil napas sejenak. Kembali tak sadar, air mata itu mulai menuruni perlahan sepasang matanya yang berhazel coklat.
“Aku sudah bodoh sekali menunggu pria sepertimu! Aku belum pernah memberikan cuma-cuma duniaku pada orang lain. Hanya kau, Ga! Tapi—“
“Karena kau terlambat hari ini, kau harus bekerja sesuai perintahku selama seharian, sampai aku menyuruhmu pulang. Selagi aku tidak memerintahmu untuk bersiap ke rumah, kau harus berada di kantor, ada ataupun tidak ada pekerjaan.”
Tania berjengit. Kedua kakinya bergerak tiga langkah ke belakang. “Apa kau ingin menghukumku? Mak—maksudku, dalam surat kontrak saja dituliskan bahwa aku pulang sama seperti yang lainnya.”
“Ada-tidaknya surat kontrak tersebut, aku adalah pemimpin perusahaan ini. Berarti, aku memiliki kendali penuh untuk semuanya.”
“Bagaimana bisa seperti itu?!” Frustasi Tania.
“Ah, aku punya penawaran baik. Kau tidak ingin merasakan bagaimana hukuman yang akan kuberikan, bukan? Kau takut aku akan balas dendam. Benar dugaanku?”
Tania bergerak ke belakang, memundurkan posisi tubuhnya ketika Rangga kembali mendekatinya. Ia merasakan ada hal tidak beres yang berusaha disembunyikan Rangga dalam perbuatannya saat ini. Menjaga jarak aman, tindakan ini yang hanya dapat Tania lakukan.
“Aku tidak pernah takut!”
“Benarkah?”
Rangga menarik satu ujung bibirnya sambil tetap mendekati Tania yang semakin menjauhinya. Ia berjalan santai, masing-masing telapak tangannya berada di saku celananya yang berbahan katun.
Tania semakin gusar mengambil langkah mundur. “Aku tidak butuh kepercayaanmu!”
Tania memejamkan matanya dan mengumpat kesal. Punggungnya sudah berbenturan dengan kaca jendela besar yang menempel di dinding ruangan. Kedua tangan Tania yang bertautan di belakang tubuh, sudah dapat menggamit gorden putih yang menggantung di belakang kaca. Ia tidak bisa mengelak lagi dari Rangga.
“Aku juga tidak ingin memercayaimu.” Sahut Rangga dengan nada merayu. Bukan merayu bagaikan malaikat, rayuan ini adalah nada iblis yang sangat kental dengan aroma menarik yang memuakkan.
Tania membuka pejaman. Kedua matanya bisa menangkap tubuh Rangga yang kembali berada tepat di depannya. “Apa maksudmu memanggilku kemari, heh?!”
“Tidak banyak maksud.”
“Jangan basa-basi!”
“Tenanglah, sayang.”
Jika beberapa hari lalu Tania begitu bahagia dengan kata ‘sayang’ yang Rangga katakan, maka perasaan tersebut tidak sama mulai detik ini. Sekarang, jari telunjuk Rangga mengusap halus wajah sebelah kanan Tania. Bukan merasa tergoda, justru Tania merasakan bahwa sentuhan itu berhasil meluruhkan harga dirinya sampai ke dasar bumi terdalam.
“Menjauhlah dariku sekarang juga!”
“Aku tidak mau!”
“Rangga! Aku ingin melanjutkan pekerjaanku.”
“Hmm.. Kau ingin kuhukum dan kau pulang larut malam, atau—“
Tania sedikit membulatkan dua kelopak matanya ketika Rangga merundukkan tubuh dan mensejajarkan wajahnya lagi.
“Kau penuhi hasratku. Nanti kau bisa pulang seperti biasanya.”
“KAU GILA, HAH?!”
Tania berteriak tepat di depan wajah Rangga sampai pemuda tersebut menjauhkan tubuhnya. Dua kepalan erat sudah tercipta di masing-masing telapak tangan Tania. Sungguh, ia sudah sangat siap apabila hatinya berkehendak bahwa ia harus meninju keras pria itu.
“Aku tidak gila, aku sepenuhnya sadar. Bibirmu saja sudah disentuh oleh orang lain. Kurasa menyesapi sepenuhnya tubuhmu, bisa sedikit menghapus semua kesalahanmu padaku.”
“AKU TIDAK AKAN CEROBOH LAGI!”
“Sudah kubilang, aku tidak memercayaimu, Tania.”
“Lepaskan tanganmu dari pinggangku, sialan!”
“Tidak usah kau jual mahal, Tan. Seberapa banyak lembaran yang harus kukeluarkan untuk tubuhmu? Satu juta, sepuluh ju—”
“RANGGA!”
Tania memejam erat. Tangis ketakutannya tidak bisa ia hindarkan. Tania begitu tidak menyangka kalau Rangga bisa sampai hati bersikap tidak senonoh padanya, apalagi saat pria itu menganggap tubuhnya bisa ditukar dengan uang.
Tania merasa Rangga sudah tidak menghargainya.
“Tamparanku barusan belum cukup? Kau ingin kubunuh, hah?!”
Rangga tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya melihati Tania dengan frekuensi kedipan yang stabil.
Tania semakin terisak di hadapan pria yang selama ini ia sayangi sepenuh hati. “Kenapa diam? Apa selama ini kau menganggapku tak lebih seperti wanita penggoda?”
Rangga tetap diam.
“Jawab aku! Kau bukan patung, Ga! Hks, kau menganggapku apa selama ini? Aku memang bukan gadis lagi, sebelum aku berstatus menikah.”
Tania menundukkan kepala. Kedua tangannya terangkat, bermaksud memukul kencang masing-masing tulang selangka Rangga. Namun bukannya seperti pukulan, justru lemahnya tangan Tania tersebut malah terlihat seperti Tania sedang menepuk penuh emosi bahu pria di depannya.
“Aku bodoh menunggumu. Kau bukan pria yang selama ini aku impikan.”
Tania terisak cukup kencang selagi menunduk. Telapak tangannya kini meremas erat tuxedo Rangga, menyalurkan seberapa sakitnya setelah ia tahu kalau Rangga bisa sampai hati mengeluarkan kata-kata yang begitu tega bagi Tania.
“Keluarlah dari ruanganku.”
Tania menaikkan dagunya. Ia sampai harus menahan napas agar isakannya berhenti sejenak.
“Keluar dari ruanganku sekarang juga! Kurasa kau tidak tuli. Jangan memancingku untuk bertindak kasar padamu, Tania!”
Tania segera menarik paksa kedua tangannya. Tania menghapus serabutan air matanya sebelum ia mulai berjalan meninggalkan Rangga sesuai apa yang diperintahkan pria itu.
Tania berusaha melangkah lebar untuk meninggalkan Rangga secepat yang ia bisa. Karena tidak hati-hati, Tania menabrak keras bahu Rangga. Namun Rangga hanya refleks sedikit bergerak, dan selanjutnya tubuh itu kembali kaku, membelakangi pintu.
Tania tidak meringis nyeri walaupun reaksi otaknya menyalurkan gelombang sakit yang ia rasakan pada pergelangan bahunya. Kepalanya tetap tegak menantang ke depan. Langkah kedua kakinya tetap berayun lebar-lebar untuk menipiskan jarak, supaya Tania cepat keluar dari ruang kerja tersebut.
Setelah berhasil keluar, Tania segera berlari kencang menuju toilet yang berada di sebelah lift. Ia menutup bibirnya yang sudah bergetar hebat, ia ingin sekali mengeluarkan isak tangisnya.
Tania menutup pelan pintu toilet sebelum ia menekan tombol kunci yang berada di tengah handle. Tania tidak menutup kembali bibirnya, namun kedua tangannya segera menjambak rambut yang berada di sisi kanan dan sisi kiri kepalanya.
Tania menyandarkan punggung di papan pintu. Tubuhnya meluruh, menuntunnya untuk duduk di atas lantai kamar mandi yang sangat terasa dingin di kulit.
Kakinya menekuk, membuat sepasang tempurung lututnya menempel sampai di bawah dagu. Kedua mata Tania memejam erat, dan air mata semakin banyak merembes melalui pelupuknya. Tania tidak bisa menahannya sekuat tadi di depan Rangga.
Bibirnya yang bergetar kini mengeluarkan isakan yang pilu. Isak tangisnya berhasil mengisi setiap sudut toilet kantor yang sunyi.
“Rangga..”
Hanya nama panggilan pria itu yang bibir Tania mampu ucapkan.
Tania sadar, tidak seharusnya ia menampar Rangga sekuat itu. Tania memang berada dalam posisi yang sangat bersalah, dan pantas saja pria itu menyindirnya dengan sangat telak.
Namun, ia juga manusia. Hati manusia tidak sepenuhnya diciptakan dengan kelapangan yang luas. Tidak semua manusia memiliki tingkat sensitivitas hati yang baik. Orang yang berhasil menyentuh titik penghabisan kesabarannya adalah Rangga; pria satu-satunya yang ia cintai.
Tania juga baru ingat, seharusnya ia bisa menjelaskan secara rinci bagaimana kejadian yang mengakibatkan Rafael berhasil menyentuh bibirnya. Semua yang terjadi kemarin memang memiliki sebab dan berakibat fatal, tapi bodohnya Tania, ia tidak bisa menjelaskan sama sekali di depan Rangga.
Ia malah meninggikan ego dan gengsinya, padahal Rangga membutuhkan banyak kejelasan.
Rangga adalah orang yang menjunjung tinggi sifat realistis. Menurut pria itu, mungkin Tania menyerahkan begitu saja bagian sensualnya pada pria lain, bukan pada Rangga yang sudah menjadi yang pertama menyentuh seluruh tubuhnya. Padahal tidak Rangga ketahui, kejadian itu terjadi di luar dugaan Tania, ia tidak bisa melakukan penolakan terlebih dahulu.
Semua sudah terjadi. Rangga tidak menganggapnya sebagai sosok yang dicintai ataupun sekadar dihargai. Harga dirinya sudah luluh-lantak.
“Rangga..”
Tania mengeluarkan sebuah kalung dari dalam seragam kerjanya; kalung bertali emas putih dengan cincin yang sejenis sebagai liontin. Tania menggenggamnya erat.
Isak tangisnya sedikit memelan walaupun sesegukan yang kini mendominasi suara yang keluar dari bibirnya. Semakin Tania merasa tenggorokannya begitu sakit, Tania semakin mengeratkan liontin tersebut, mendekatkannya di bawah bibir.
Tania mengecup cincin itu sebelum meletakkannya kembali di bawah bibir. Ia semakin memejam erat, air mata kerapuhannya terus saja mengalir deras.
“Rangga..”
Seru Tania bergetar dalam isak tangis yang menyayat hati.





To be continued

No comments:

Post a Comment