“DIMANA RAFAEL? HEI! BERITAHU AKU ADA DI MANA PEMBUNUH
ITU!”
“Pak Reza,—“
“DIAM KAU!”
Beberapa orang di sekitar Reza langsung memeganginya
kuat, berusaha menahan Reza yang sedikit lagi sampai di depan ruang kerja
Rafael.
Reza rasa, ia tidak memiliki pengendalian amarah yang
baik. Lewat kedua kakinya, ia memberontak liar. Sukses terlepas dari para
pegawai yang menahan pergerakannya, Reza berlari menuju ruang kerja di mana
pemiliknya adalah tujuannya meledakkan emosi.
Dengan tidak sabar Reza mendorong kuat pintu kaca di
depannya. Saat terbuka lebar, kedua matanya semakin memerah. Reza dapat melihat
orang yang ia cari-cari tengah duduk santai di atas kursi kebesarannya.
Rafael yang sudah ia teriaki dengan otot, dia sedang
memegang sebuah berkas ditemani musik lembut yang mendayun merdu.
Habis sudah kesabaran yang berusaha Reza tahan sejak
kemarin. Ia segera berlari ke meja Rafael dan membanting ponsel yang masih
memutar lagu penuh kelembutan. Berkat tindakan barusan, ponsel itu hancur dan
berserakan di atas lantai.
Reza mendapat tanggapan setelah membanting benda
pribadi Rafael. Lelaki itu langsung beranjak berdiri lalu membanting berkas
yang dipegangnya. “Kau tidak sopan sekali, Reza! Setinggi apa jabatanmu?!”
“Keparat!”
Reza mendekati Rafael yang berada di belakang meja
kerjanya. Reza bisa menarik kuat kerah kemeja Rafael, padahal di depan tubuhnya
ada meja kerja Rafael.
“Kau tidak merasa bersalah?!” Bentak Reza tepat di
depan wajah Rafael.
Rafael menyunggingkan salah satu ujung bibirnya.
“Istrimu yang mengumpankan diri. Aku tidak bersalah!”
“Sekali lagi, kau tidak merasa bersalah?”
“Tidak! Apa maumu, hah?!”
Rafael langsung terdorong kencang ke belakang.
Tubuhnya terseok jauh, tak lama kemudian punggungnya membentur dinding di
belakang kursi kerjanya. Tubuh Rafael sampai jatuh terperosok di atas lantai.
Reza melanjutkan aksinya. Ia menghempas semua benda
yang berada di atas meja Rafael. Suara benda yang terjatuh kencang disusul
beberapa suara pecahan keramik mengiringi suasana ruangan yang dipenuhi aura
hitam.
“Kau tidak tahu kalau istriku koma, heh?! KAU TIDAK
TAHU?!”
“Aku tidak peduli!”
“Arrgghh!”
Suara bantingan menyusul lebih kuat lagi. Reza
berhasil melempar laptop kerja Rafael sampai monitornya terlepas dekat dengan
kaki pemiliknya.
“Apa lagi yang ingin kau hancurkan dari ruanganku,
orang gila?!!”
“Kau yang gila! Dendam kesumat yang tidak berlogika
itu benar-benar menghancurkan semuanya! Aku tidak pernah memihak siapa-siapa di
antara keluarga kalian. Mengapa kau menghancurkan keluargaku?!”
“ISTRIMU YANG SALAH! Aku tidak berniat menusuk
istrimu. Salah dia menyelamatkan perempuan sialan itu!”
“Heh, Rafael! Sadarlah! Kalau saja kau bukan ayah dari
Fasha, sudah kuhabisi kau sejak kemarin!”
“Habisi saja aku! Kenapa karena anak pembawa sial itu,
kau tidak menghajarku?”
“Anak pembawa sial?”
“Ya! Anak pembawa sial!”
Reza berjalan cepat ke arah Rafael yang sudah kembali
berdiri tegak. Sesudah berada di depan Rafael, Reza melayangkan tinjuan pada
rahang kiri Rafael.
“Jangan kau menghina Fasha! Anak itu keponakanku!”
Rafael berdiri limbung sambil memegang tulang rahangnya
yang berkedut nyeri. Kedua matanya segera ia putar untuk memandang nanar pada
Reza; sahabatnya yang tengah meremas kuat jemari-jemarinya sendiri.
“Kau adalah ayah terjahat yang pernah kutahu! Aku
bersumpah!”
“Itu urusanku!”
“Rafael! Kau ingin kubuat hancur sekarang juga?!”
“Silahkan saja!”
Reza mengambil kerah kemeja Rafael dan menariknya
kuat. Kepalan jemarinya sudah terangkat bebas di udara, bersiap melayangkan
pukulan telak ke arah pelipis Rafael. Reza tidak memikirkan lagi siapa lelaki
yang ia perlakukan kasar sekarang, setinggi apa jabatannya, bagaimana resikonya
nanti setelah ia membuat Rafael babak-belur. Yang saat ini ia perlukan adalah
melampiaskan amarahnya.
“Rafael! Reza! Sudah!”
Reza terkesiap saat kepalan tangannya tertarik ke
belakang. Tubuhnya turut mengikuti gerak tangannya, ia menjauh dari hadapan
Rafael. Sedetik kemudian, ia merasakan ada dua buah tangan yang mengalungi
badannya, menahan erat setiap gerakan yang akan ia lakukan.
Reza kembali tersulut emosi. Ia menengok dengan kedua
mata tajam, namun yang ia dapatkan adalah wajah dingin Rangga yang mampu
membuat indrawinya berekspresi tidak sekesal tadi.
“Lepas, Ga! Biarkan aku membunuh Rafael sekarang
juga!”
“Tenanglah, Za! Sekalipun kau membunuh Rafael, semua
ini tidak akan kembali seperti semula.”
“Tapi—“
“Bisma! Lepas! Aku ingin tahu sekuat apa Reza
menghabisiku!”
“Kau jangan gila, Rafael!”
“Lepaskan aku!”
Hampir sama dengan apa yang dilakukan Rangga, Bisma
juga menahan tubuh Rafael yang memberontak penuh emosi.
“Kalian berdua tidak tahu malu! Masalah kemarin saja
belum kelar. Hentikan!”
Mendengar intruksi Rangga, kesadaran Reza perlahan
kembali. Amarahnya tidak membludak seperti sebelumnya, walaupun ia masih merasa
kesal pada Rafael.
Reza melepas kedua tangan Rangga yang melingkari
tubuhnya. Ia merapihkan tuxedo yang dikenakannya kemudian memandangi
Rafael dengan sirat ‘urusan.kita.belum.selesai’.
“Kau urus perbuatanmu yang memalukan keluarga! Jangan
‘sok meleraiku dan Reza! Berkaca! Pemimpin seperti apa dirimu, Rangga!”
Rangga mengerutkan dahinya sebelum bibirnya terbuka,
selayaknya baru saja mendapat sebuah ide. “Oh iya! Untukmu Rafael.. Mulai detik
ini kau dipecat dari Tanubrata’s Corporation. Sekarang, tinggalkan
perusahaan ini dan bawa barang-barangmu!”
Bisma begitu terkejut, bahkan ekspresinya mengalahi
raut wajah Rafael yang tercengang. Akibat terperangah, kungkungan tangannya
yang mengalung pada badan Rafael terlepas.
Rafael maju satu langkah. “Apa maksudmu?!”
Rangga menyunggingkan senyum iblisnya. ““Kau tidak
mengerti juga? Perlu aku jabarkan di depan para mantan pegawaimu?”
“Kau?!” Rafael menuding Rangga. “Aku tidak pernah
memaafkan apapun yang sudah kau dan keluargamu perbuat padaku, Rangga! Lihat
saja apa balasanku!”
Rafael segera meraih tas kerjanya dan berjalan keluar
dari ruangan dengan amarah yang sangat terlihat memuncak.
“Surat pemberhentianmu sudah ada di rumah, Rafael!”
Teriak Rangga ketika melihat tubuh Rafael melewati muka pintu.
“Rangga, kau tidak bercanda? Kau memecat Rafael, aku
takut kau dan—”
“Tidak, Za. Keputusan ini sudah turun langsung dari
Pak Rully.”
“Lantas, siapa yang memegang Tanubrata’s
sekarang?”
“Aku, untuk beberapa waktu ke depan.”
Bisma membuka dua bibirnya tidak percaya. “Kau serius?
Pekerjaanmu di sana, bagaimana?”
“Masih bisa kutangani. Reza, tidak ada yang luka, kan
karna pertengkaranmu tadi?”
“Tidak ada. Maaf aku sudah membuat kekacauan di kantor
ini.”
“Tidak apa-apa. Kau pantas mengamuk seperti itu di
depan Rafael.”
“Ya sudah kalau seperti itu. Reza, bisa kau ikut aku?
Ada beberapa urusan yang harus kita selesaikan.”
Bisma melirik Reza yang langsung menganggukkan kepala.
“Aku ingat, Bis. Baiklah, kita berdua pergi, Ga.”
Rangga menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Reza dan Bisma bersalaman dengan Rangga sebelum mereka keluar dari ruang kerja
Rafael yang beralih fungsi menjadi milik Rangga untuk sementara waktu.
Selepas kepergian Bisma dan Reza, Rangga ikut
melangkah keluar ruangan. Kedua matanya menangkap hampir keseluruhan manajer
dari semua divisi, berdiri di depan pintu.
Rangga menghela napas pelan. “Berdasarkan keputusan
dari Pak Rully, mulai hari ini saya yang akan mengambil alih kepemimpinan Tanubrata’s
untuk sementara. Ada beberapa masalah perusahaan yang harus saya tangani secara
langsung.”
“Baik, Pak. Semoga Bapak Rangga nyaman berada di
perusahaan ini.”
Rangga tersenyum tipis kemudian menganggukkan
kepalanya. “Bisa kalian memanggil petugas kebersihan kemari? Kurasa mereka
semua harus membersihkan ruangan ini dari sisa-sisa Rafael.”
“Saya yang akan memanggil mereka.” Sahut pria paruh
baya yang tepat berada di hadapan Rangga.
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama.” Jawabnya. Pria itu secepat kilat
meninggalkan Rangga yang mulai membuka perbincangan ringan kepada para manajer Tanubrata’s.
Sekitar lima menit, Rangga berusaha berbasa-basi
sambil mengawasi kinerja karyawan yang berada di balik kubikel. Saat ia memutar
bola mata untuk mengawasi kubikel di bagian kiri lift, saat itu pula
pintu lift itu terbuka lebar. Rangga tidak mengalihkan pandangannya, ia
lebih memilih untuk mengamati siapa yang akan keluar dari benda serupa kamar
itu.
Orang pertama yang keluar adalah pria paruh baya yang
mematuhi perintahnya lima menit lalu. Di belakang pria itu, ada tujuh orang
berpakaian seragam yang keluar dengan tergesa-gesa.
“Sudah saya panggil dan saya bawa lengkap mereka
kemari, Pak Rangga.”
“Baiklah, terima kasih sekali lagi. Kalian saya
persilahkan kembali melanjutkan pekerjaan yang tertunda akibat insiden
barusan.”
Tanpa membalas, beberapa orang yang sejak tadi
mengajaknya berbincang itu membungkuk hormat. Mereka meninggalkan Rangga
bersama tujuh orang berpakaian seragam yang membawa berbagai peralatan
kebersihan.
Rangga menatap wajah mereka satu per satu; termasuk
wajah wanita yang sekarang tengah memutar bola matanya ke lain arah.
“Saya ingin kalian membersihkan ruangan ini sampai
tidak ada debu sedikitpun. Saya ingin tidak ada jejak-jejak Rafael lagi di
dalam ruangan ini. Sepuluh menit, cukup?”
“Cukup, Pak.” Jawab Ratih, mewakili suara dari semua
anggukan teman-temannya.
“Baiklah. Saya tinggalkan kalian sampai sepuluh menit
ke depan.”
Tidak banyak bicara, ketujuh petugas kebersihan segera
berlalu dari hadapan Rangga.
Sesaat Rangga dapat menghirup aroma parfum yang
dipakai oleh seorang petugas kebersihan yang berlalu paling akhir dari
hadapannya. Seseorang yang sejak tadi tidak ingin menatapnya, bahkan Rangga
tidak menjamin apakah orang tersebut mendengar intruksinya tadi.
Rangga tidak membalikkan tubuhnya. Ia hanya menggeser
sedikit kepalanya, menoleh beberapa derajat. Tubuh Office Girl berkuncir
kuda itu sudah melewatinya sepersekian detik lalu.
Ia mengambil napas pendek yang sangat pelan. Rangga
memasukkan masing-masing telapak tangannya dalam saku celana. Kedua kakinya
mulai berayun mengikuti perintah otaknya yang sudah mencatat berbagai aktivitas
yang akan ia lakukan menunggu sepuluh menit tersebut berlalu.
Berbeda dengan Tania yang sudah masuk ke dalam
ruangan, perempuan ini malah terdiam di belakang pintu. Kedua matanya seolah
terasa perih dan rasa-rasanya juga, bagian itu ingin mengeluarkan banyak air
yang tidak diketahui sudah ingin keluar saja dari indrawinya.
Tidak hanya mata itu yang terasa perih, hatinya lebih
sakit daripada yang dibayangkan.
“Tan,”
Tania mengalihkan pandangan. Laura sudah berada di
sampingnya dengan sebelah tangan yang merangkul bahunya pelan.
“Kau kenapa? Sudah, kau jangan pikirkan masalahmu dan
Pak Rangga yang belum selesai. Sekarang, kita harus bersama-sama menyelesaikan
pekerjaan ini. Okay?”
Tania menarik tipis kedua ujung bibirnya. “Okay.
Aku yang menyapu dan kau yang mengepel, ya?”
Laura menganggukkan setuju. Ia menepuk sebelah bahu
Tania, menyalurkan rasa empatinya. “Semangat! Pak Rangga juga terlihat sama
menderitanya sepertimu.”
“Jangan berbicara yang tidak-tidak. Ayo!”
Tania mengalungkan sebelah tangannya yang bebas pada
kedua pinggang Laura kemudian mendorong tubuh itu untuk melangkah maju. Laura
hanya terkekeh dan mengikuti ke mana langkah yang Tania inginkan.
Sepuluh menit yang Rangga perintahkan dapat dipenuhi
oleh para petugas kebersihan. Saat Rangga sampai di depan ruangannya, ia bisa
melihat hampir semua petugas juga sudah berada di luar. Di dalam hanya tersisa
dua perempuan yang masih sibuk membersihkan lantai dengan dua alat mereka.
Dua perempuan tesebut bukanlah perempuan yang berhasil
merebut tatapan matanya, dari waktu seseorang itu keluar dari lift, sebelas menit yang lalu.
“Sudah selesai semuanya?” Tanya Rangga sambil
menolehkan kepalanya ke arah para petugas yang berada di sebelah kiri.
“Sudah, Pak. Anda bisa memeriksanya setelah lantai
kering, sekitar dua menit lagi. Maaf kalau saya terdengar mengintruksi.”
Rangga menatap Morgan yang bersuara sambil menundukkan
kepala sesaat. “Tidak apa-apa. Setelah dua teman kalian selesai, kalian boleh
melanjutkan pekerjaan kalian yang belum selesai. Boleh istirahat, namun tidak
lama.”
“Baik, Pak.”
“Untuk Tania..”
Tiga pasang mata petugas kebersihan segera memandang
penuh keheranan pada wajah Rangga yang terlihat semakin datar. Berbeda dengan
Morgan, pemuda itu berbalik memandang Tania dengan pandangan meminta waspada.
Tania tidak memandang ke arah Rangga, justru ia
memandang Morgan dengan sirat mata membalas arti tatapan pemuda itu.
Dipastikan, hanya Tania dan Morgan yang mengerti pembicaraan lewat kontak mata
tersebut.
“Anda masuk ke dalam ruangan saya setelah lantai
mengering.”
Tania memutar bola matanya, bermaksud ingin memandang
Rangga dengan berbagai pertanyaan yang muncul dari dalam benaknya. Bukan tubuh
Rangga yang ia dapat, justru Tania menangkap pergerakan Rangga yang sudah
sampai di depan pintu lift di ujung selatan bangunan.
Tania kembali memandang Morgan. “Apa yang ingin dia
lakukan?”
“Mungkin Rangga akan menghabisimu karena kecerobohanmu
itu, Tan.”
“Ilham!” Morgan segera memukul punggung Ilham yang
berada di sebelah kanannya.
“Hadapi saja, Tan. Kulihat, Rangga tidak seperti
Rafael. Apalagi dia sangat mencintaimu dan benar-benar menjagamu kemarin. Aku
yakin, dia tidak akan sejahat yang kau takutkan.”
“Kurasa apa kata Morgan ada benarnya juga, Tan.”
Laura yang merupakan salah satu perempuan yang sejak
tadi masih mengepel lantai, menegakkan tubuhnya. Pekerjaannya terlihat sudah
selesai.
“Kau harus berani menanggung akibatnya. Selesaikan
masalah kalian.”
Tania mendesahkan udara dengan panjang. Ia
menganggukkan kepalanya pelan. “Aku akan menyelesaikannya sekarang juga.”
“Baguslah! Kau lebih baik lepas sepatumu dan masuklah
ke dalam sekarang. Setelah kau duduk di soffa, kau pakai lagi sepatumu.
Menurutku, kau harus berjaga-jaga, barangkali telapak sepatumu kotor dan lantai
belum sepenuhnya mengering.”
“Tapi, Ra, kulihat Tania baru saja mengganti
sepatunya.”
“Ah, Benar juga, Mai! Tapi lepas saja, aku takut Pak
Rangga ingin melihat lantai ruangannya benar-benar mengkilap.”
“Lebih baik aku menunggunya di luar saja.”
“Di dalam saja, Tan.” Ratih yang kini menimpali. Tania
memutar bola matanya pada sosok yang paling ia hormati di antara rekan-rekannya
yang lain. “Tidak enak dilihat kalau kau menunggu beliau di luar. Pak Rangga
saja sudah mempersilahkanmu ke dalam.”
Benar juga. Jawab Tania dalam hati.
Tania membungkukkan tubuh untuk melepas sepasang
sepatunya yang dapat ditanggalkan dengan mudah; hanya membuka simpul talinya
yang mendekati tumit kaki. Sesudah terlepas, Tania segera membawa sepasang
sepatunya dengan sebelah tangan.
“Aku masuk, ya?”
“Semangat!”
Laura berseru sambil mengacungkan kepalan tangannya di
udara. Kepalan tangan berikutnya dilakukan oleh rekan-rekan Tania yang lain.
Tania membalasnya dengan sama-sama menunjukkan kepalan tangannya yang bebas di
udara.
“Terima kasih. Aku sangat beruntung bisa bergabung
dengan kalian.”
“Sudah, cepat masuk!” Titah Ratih.
Tania tersenyum kemudian melangkah ke arah pintu yang
masih terbuka lebar. Ia masuk lalu segera berbalik untuk menutup pintunya.
Ruang kerja ini sudah menjadi saksi perdebatan Tania
dan Rafael sejak beberapa tahun yang lalu. Perdebatan yang pasti berujung
dengan luka di beberapa bagian tubuhnya. Tania masih sangat bisa mengingatnya,
tidak ada satupun memori yang hilang dari otaknya.
Tetapi mulai hari ini, ruangan yang Tania pijak sudah
berganti pemilik. Sekarang, pria yang sedang kecewa padanya yang menjadi
pemilik sementara ruang berdinding putih pucat tersebut.
Tania melangkah ke arah soffa dengan langkah
pelan. Kaki telanjang Tania yang terlapis kaos kaki bercorak itu menyentuh
perlahan lantai dingin ruangan. Suhunya berhasil menusuk kulit, sekaligus
menyelinapkan ketakutan yang mulai mendebarkan jantungnya secara tak biasa.
Tania merasa belum siap berbicara empat mata dengan
Rangga.
Ia menjatuhkan tubuhnya di atas bantalan empuk soffa.
Sesudah meletakkan sepatunya di atas lantai, Tania segera membungkukkan tubuh
untuk kembali mengenakan sepatunya, sebelum Rangga datang dan geli melihatnya
telanjang kaki.
Benar saja, saat Tania selesai menyimpul tali
sepatunya yang terakhir, ia merasakan kehadiran seseorang yang disusul suara
pintu yang ditutup pelan.
Tania menegakkan duduknya. Dua mata itu mengarah pada
pintu yang sedang ditutup oleh seseorang yang memunggunginya. Ia menaruh kedua
telapak tangannya di atas paha, menunggu pemilik tubuh tersebut menghadap ke
arahnya.
Sepersekian detik saja, wajah pemilik tubuh itu sudah
dapat ia ketahui secara jelas.
Langkah penuh aroma keangkuhan kini tersaji di depan
mata Tania. Pemilik kaki jenjang itu memiliki ekspresi wajah yang tidak bisa
Tania deskripsikan. Ia tidak ingin melihatnya terlalu lama. Semakin ia menatapnya,
semakin pula rasa bersalah itu menutupi perasaannya yang bodoh.
“Mengapa hari ini kau datang pukul setengah sembilan,
Tania?”
Tania memfokuskan bola matanya untuk memandang ke arah
Rangga yang berdiri tepat di depannya, hanya terpisah dengan meja kayu
berbentuk persegi panjang. Tubuh tinggi pria itu menjulang kokoh, dan perawakan
Tania diibaratkan sebagai sosok ringkih yang mudah rapuh dalam sekali remas.
“Aku sudah diberi peringatan oleh manajerku sendiri.
Kurasa untuk seseorang dengan jabatan tertinggi di kantor ini, kapasitasmu
tidak serendah itu.”
Rangga menyipitkan kedua matanya sesaat ucapan dingin
dari wanita di hadapannya terlontar. Tidak habis pikir, sebenarnya ia ingin
membuat wanita itu membeku. Namun baru di awal, Rangga sendiri yang malah
terpaku atas tanggapan pertama wanita itu; Tania.
“Kapasitasku tidak terbatas, Tan. Jabatanku, pun lebih
tinggi daripada yang kau kira di kantor ini. Tidak sepantasnya kau datang
terlambat sampai setengah jam, itu sangat parah.”
“Kalau begitu, aku mohon maaf. Manajerku saja sudah
memberikan toleransi karena masalah ini. Kau tidak perlu membesar-besarkannya.”
“Benarkah? Ingat, kekuasaan perusahaan ini berada di
tanganku mulai sekarang, bukan Rafael lagi.”
Tania memincingkan kedua matanya. “Lantas, kau ingin
memecatku sekarang juga? Silahkan saja.”
“Aku tidak sebodoh itu. Oh iya! Kalau aku memecatmu
sekarang—“
Tania semakin memincingkan mata saat Rangga mulai
merundukkan tubuh. Pria itu mendekatkan wajahnya pada wajah Tania sampai bagian
itu berada dalam satu garis sejajar. Tania hanya mampu menahan napas, ia
sungguh merasa canggung.
“Kau akan sama dengan Rafael, sama-sama dipecat. Ah,
apa kalian berjodoh?!”
Ingin sekali Tania meninju wajah iblis Rangga. Kalau
saja ia tidak memiliki posisi yang paling bersalah di sini, mungkin Tania sudah
membuat sebuah luka di wajah rupawan itu.
“Kalau aku dan Rafael berjodoh, apa masalahmu?” Sahut
Tania bersama senyum separuhnya yang mematikan. Tania rasa, sekarang ia harus
menaikkan egonya.
“Kau bertanya apa masalahku? Hmmm, kurasa ada
beberapa.”
Rangga menipiskan jarak wajahnya dengan wajah Tania.
Secara lembut, Rangga menyentuhkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Tania.
Rangga bisa merasakan napas kecil-kecil yang dikeluarkan Tania melalui kedua
cuping hidung wanita itu.
“Banyak yang sudah kau hancurkan dari hidupku. Apa kau
sadar?”
Rangga membuka bibirnya jahil. Ia ingin memaksa Tania
agar Tania berniat mengecup bibirnya. Bukan terlalu percaya diri, namun wanita
itu sempat melirik sekilas ke arah bibirnya yang terbuka.
“Aku tidak yakin dengan kata banyak itu. Lebih banyak
hidupku yang kau hancurkan, Ga. Maaf saja.”
Rangga memiringkan wajahnya, membuat Tania gelagapan
dalam hati. Apakah pria itu ingin mengecup bibirnya? Tania ingin segera
memejam. Namun pergerakan Rangga yang terlihat tidak beres, memaksa Tania
membatalkan niat memejamkan mata.
Wajah Rangga kembali menjauh. Hidung keduanya tidak
bersentuhan lagi.
“Apa begitu mudah kau mengeluarkan kata maaf, setelah
kau menghancurkan semua prestasi yang kubangun dengan susah payah?”
Tania menarik napas. Dua mata Rangga masih
memandangnya dengan tatapan nyalang; di antara tatapan liar penuh kekaguman
sekaligus tatapan iblis yang sangat mematikan.
“Bagaimana dengan ketidak-jelasan yang kau berikan
selama ini? Bahkan kata maaf yang sangat mudah diucap saja, susah sekali kau
keluarkan.”
“Kau tidak tahu apa-apa.”
“Karena aku tidak tahu apa-apa, aku butuh sebuah
kejujuran. Apa kau melakukan itu?”
“Hng—“
Tania kembali menahan napas ketika Rangga kembali
menyentuhkan ujung hidung mereka. Lagi dan lagi pria itu juga membuka kedua
bibir merah mudanya, seolah ingin berbicara, tapi Rangga tidak segera
mengeluarkan suara. Sepasang mata Rangga juga tidak merubah siratnya, membuat
Tania berusaha sekeras mungkin untuk menahan kegelisahannya.
Dalam keegoisan dan keangkuhan yang Tania pertahankan
sejak tadi, ia sungguh merindukan Rangga beberapa hari yang lalu. Lebih ke arah
yang sedikit intim, Tania merindukan setiap jengkal bibir tersebut menjelajahi
permukaan bibirnya, sewaktu Rangga memanas-manasi Bisma.
“Apa kau ingin terbuka tentang kebodohan yang kau
lakukan kemarin?”
“Kebodohan yang mana? Kurasa aku melakukan semuanya
dengan baik dan benar.”
“Kau tahu, aku mengkhawatirkanmu setelah mendengar kau
pulang seorang diri semalam. Apa itu disebut dengan sesuatu yang baik dan
benar?”
Rangga kembali memiringkan wajahnya, melakukan
pergerakan seolah dia ingin meletakkan bibirnya di atas bibir ranum Tania.
“Apa pedulimu?” Sahut Tania, membiarkan wajah Rangga
semakin dekat pada wajahnya.
“Aku peduli karena aku—“
Tania tidak tahu mengapa otak dan hatinya berjalan
tidak searah. Hatinya memerintah bahwa ia tidak boleh tergoda atas apa yang
tengah dilakukan Rangga, tetapi otaknya malah menggerakkan saraf-sarafnya untuk
agresif menipiskan jarak di antara wajahnya dan wajah Rangga.
Sedikit lagi apa yang menjadi keinginan hati Tania
terlaksana, namun Tania merasakan ada sebuah jari yang menahan pergerakan
bibirnya. Padahal sekali bergerak saja, bibirnya sudah berhasil menyentuh
permukaan bibir Rangga.
Dengan tatapan yang semakin terlihat nyalang, Rangga
meletakkan satu jari telunjuknya di atas bibir Tania. Wajahnya kembali menjauh,
bahkan lebih jauh dari sebelum-sebelumnya. Ada sekitar jarak sepuluh sentimeter
di antara kedua wajah tersebut.
Rangga mengubah letak jari telunjuk itu. Ujung jari
tersebut kini mengusap tepi bibir bawah Tania dengan begitu pelan.
“Sejak tadi sebenarnya aku ingin sekali menyentuh
bagian ini. Dia sangat manis, namun terkesan jahat daritadi.”
Pandangan Rangga yang baru saja menatap bibir Tania,
sekarang beralih memandang sepasang bola mata Tania. Raut wajahnya terlihat
begitu polos.
Rangga menyunggingkan senyum separuh. Telunjuk
tersebut berganti dengan ibu jari. Kembali mengulang, ujung ibu jari tersebut
mengusap tepi bibir bawah Tania lebih lembut dari sebelumnya.
“Tapi sayang sekali, aku tidak sudi menyentuh kembali
milikku yang sudah disentuh orang lain. Itu sangat menjijikan.”
Ditolak mentah-mentah. Hanya
kalimat itu yang muncul di dalam otak Tania. Bersamaan dengan itu pula, sebuah
hantaman keras berhasil membentur hatinya yang sudah dalam keadaan tidak baik
beberapa hari ini. Tania tidak bisa mengendalikan amarahnya yang langsung saja
menguak, ia begitu tidak terima atas ucapan Rangga barusan. Jika hatinya ibarat
mulut, maka bagian itu sudah menggerutu emosi.
Tak sadar, satu telapak tangannya terangkat cepat dan
bagian itu sukses melayangkan tamparan kencang di atas wajah Rangga.
Dua mata Tania berair. Tania tidak menyangka bahwa
amarahnya akan meledak sehebat ini.
Tania menatap Rangga lama. Bagian itu semakin
berkaca-kaca, walaupun Rangga memandangnya dengan pandangan kalap. Tania tidak
merasa takut.
“Aku memang rendah, Ga.”
Tania mengambil napas sejenak. Kembali tak sadar, air
mata itu mulai menuruni perlahan sepasang matanya yang berhazel coklat.
“Aku sudah bodoh sekali menunggu pria sepertimu! Aku
belum pernah memberikan cuma-cuma duniaku pada orang lain. Hanya kau, Ga!
Tapi—“
“Karena kau terlambat hari ini, kau harus bekerja
sesuai perintahku selama seharian, sampai aku menyuruhmu pulang. Selagi aku
tidak memerintahmu untuk bersiap ke rumah, kau harus berada di kantor, ada
ataupun tidak ada pekerjaan.”
Tania berjengit. Kedua kakinya bergerak tiga langkah
ke belakang. “Apa kau ingin menghukumku? Mak—maksudku, dalam surat kontrak saja
dituliskan bahwa aku pulang sama seperti yang lainnya.”
“Ada-tidaknya surat kontrak tersebut, aku adalah
pemimpin perusahaan ini. Berarti, aku memiliki kendali penuh untuk semuanya.”
“Bagaimana bisa seperti itu?!” Frustasi Tania.
“Ah, aku punya penawaran baik. Kau tidak ingin
merasakan bagaimana hukuman yang akan kuberikan, bukan? Kau takut aku akan
balas dendam. Benar dugaanku?”
Tania bergerak ke belakang, memundurkan posisi
tubuhnya ketika Rangga kembali mendekatinya. Ia merasakan ada hal tidak beres
yang berusaha disembunyikan Rangga dalam perbuatannya saat ini. Menjaga jarak
aman, tindakan ini yang hanya dapat Tania lakukan.
“Aku tidak pernah takut!”
“Benarkah?”
Rangga menarik satu ujung bibirnya sambil tetap
mendekati Tania yang semakin menjauhinya. Ia berjalan santai, masing-masing
telapak tangannya berada di saku celananya yang berbahan katun.
Tania semakin gusar mengambil langkah mundur. “Aku
tidak butuh kepercayaanmu!”
Tania memejamkan matanya dan mengumpat kesal. Punggungnya
sudah berbenturan dengan kaca jendela besar yang menempel di dinding ruangan.
Kedua tangan Tania yang bertautan di belakang tubuh, sudah dapat menggamit
gorden putih yang menggantung di belakang kaca. Ia tidak bisa mengelak lagi
dari Rangga.
“Aku juga tidak ingin memercayaimu.” Sahut Rangga
dengan nada merayu. Bukan merayu bagaikan malaikat, rayuan ini adalah nada
iblis yang sangat kental dengan aroma menarik yang memuakkan.
Tania membuka pejaman. Kedua matanya bisa menangkap
tubuh Rangga yang kembali berada tepat di depannya. “Apa maksudmu memanggilku
kemari, heh?!”
“Tidak banyak maksud.”
“Jangan basa-basi!”
“Tenanglah, sayang.”
Jika beberapa hari lalu Tania begitu bahagia dengan
kata ‘sayang’ yang Rangga katakan, maka perasaan tersebut tidak sama
mulai detik ini. Sekarang, jari telunjuk Rangga mengusap halus wajah sebelah
kanan Tania. Bukan merasa tergoda, justru Tania merasakan bahwa sentuhan itu
berhasil meluruhkan harga dirinya sampai ke dasar bumi terdalam.
“Menjauhlah dariku sekarang juga!”
“Aku tidak mau!”
“Rangga! Aku ingin melanjutkan pekerjaanku.”
“Hmm.. Kau ingin kuhukum dan kau pulang larut malam,
atau—“
Tania sedikit membulatkan dua kelopak matanya ketika
Rangga merundukkan tubuh dan mensejajarkan wajahnya lagi.
“Kau penuhi hasratku. Nanti kau bisa pulang seperti
biasanya.”
“KAU GILA, HAH?!”
Tania berteriak tepat di depan wajah Rangga sampai
pemuda tersebut menjauhkan tubuhnya. Dua kepalan erat sudah tercipta di
masing-masing telapak tangan Tania. Sungguh, ia sudah sangat siap apabila
hatinya berkehendak bahwa ia harus meninju keras pria itu.
“Aku tidak gila, aku sepenuhnya sadar. Bibirmu saja
sudah disentuh oleh orang lain. Kurasa menyesapi sepenuhnya tubuhmu, bisa
sedikit menghapus semua kesalahanmu padaku.”
“AKU TIDAK AKAN CEROBOH LAGI!”
“Sudah kubilang, aku tidak memercayaimu, Tania.”
“Lepaskan tanganmu dari pinggangku, sialan!”
“Tidak usah kau jual mahal, Tan. Seberapa banyak
lembaran yang harus kukeluarkan untuk tubuhmu? Satu juta, sepuluh ju—”
“RANGGA!”
Tania memejam erat. Tangis ketakutannya tidak bisa ia
hindarkan. Tania begitu tidak menyangka kalau Rangga bisa sampai hati bersikap
tidak senonoh padanya, apalagi saat pria itu menganggap tubuhnya bisa ditukar
dengan uang.
Tania merasa Rangga sudah tidak menghargainya.
“Tamparanku barusan belum cukup? Kau ingin kubunuh,
hah?!”
Rangga tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya melihati
Tania dengan frekuensi kedipan yang stabil.
Tania semakin terisak di hadapan pria yang selama ini
ia sayangi sepenuh hati. “Kenapa diam? Apa selama ini kau menganggapku tak
lebih seperti wanita penggoda?”
Rangga tetap diam.
“Jawab aku! Kau bukan patung, Ga! Hks, kau
menganggapku apa selama ini? Aku memang bukan gadis lagi, sebelum aku berstatus
menikah.”
Tania menundukkan kepala. Kedua tangannya terangkat,
bermaksud memukul kencang masing-masing tulang selangka Rangga. Namun bukannya
seperti pukulan, justru lemahnya tangan Tania tersebut malah terlihat seperti
Tania sedang menepuk penuh emosi bahu pria di depannya.
“Aku bodoh menunggumu. Kau bukan pria yang selama ini
aku impikan.”
Tania terisak cukup kencang selagi menunduk. Telapak
tangannya kini meremas erat tuxedo Rangga, menyalurkan seberapa sakitnya
setelah ia tahu kalau Rangga bisa sampai hati mengeluarkan kata-kata yang
begitu tega bagi Tania.
“Keluarlah dari ruanganku.”
Tania menaikkan dagunya. Ia sampai harus menahan napas
agar isakannya berhenti sejenak.
“Keluar dari ruanganku sekarang juga! Kurasa kau tidak
tuli. Jangan memancingku untuk bertindak kasar padamu, Tania!”
Tania segera menarik paksa kedua tangannya. Tania
menghapus serabutan air matanya sebelum ia mulai berjalan meninggalkan Rangga
sesuai apa yang diperintahkan pria itu.
Tania berusaha melangkah lebar untuk meninggalkan
Rangga secepat yang ia bisa. Karena tidak hati-hati, Tania menabrak keras bahu
Rangga. Namun Rangga hanya refleks sedikit bergerak, dan selanjutnya tubuh itu
kembali kaku, membelakangi pintu.
Tania tidak meringis nyeri walaupun reaksi otaknya
menyalurkan gelombang sakit yang ia rasakan pada pergelangan bahunya. Kepalanya
tetap tegak menantang ke depan. Langkah kedua kakinya tetap berayun lebar-lebar
untuk menipiskan jarak, supaya Tania cepat keluar dari ruang kerja tersebut.
Setelah berhasil keluar, Tania segera berlari kencang
menuju toilet yang berada di sebelah lift. Ia menutup bibirnya yang
sudah bergetar hebat, ia ingin sekali mengeluarkan isak tangisnya.
Tania menutup pelan pintu toilet sebelum ia menekan
tombol kunci yang berada di tengah handle. Tania tidak menutup kembali
bibirnya, namun kedua tangannya segera menjambak rambut yang berada di sisi
kanan dan sisi kiri kepalanya.
Tania menyandarkan punggung di papan pintu. Tubuhnya
meluruh, menuntunnya untuk duduk di atas lantai kamar mandi yang sangat terasa
dingin di kulit.
Kakinya menekuk, membuat sepasang tempurung lututnya
menempel sampai di bawah dagu. Kedua mata Tania memejam erat, dan air mata
semakin banyak merembes melalui pelupuknya. Tania tidak bisa menahannya sekuat
tadi di depan Rangga.
Bibirnya yang bergetar kini mengeluarkan isakan yang
pilu. Isak tangisnya berhasil mengisi setiap sudut toilet kantor yang sunyi.
“Rangga..”
Hanya nama panggilan pria itu yang bibir Tania mampu
ucapkan.
Tania sadar, tidak seharusnya ia menampar Rangga
sekuat itu. Tania memang berada dalam posisi yang sangat bersalah, dan pantas
saja pria itu menyindirnya dengan sangat telak.
Namun, ia juga manusia. Hati manusia tidak sepenuhnya
diciptakan dengan kelapangan yang luas. Tidak semua manusia memiliki tingkat
sensitivitas hati yang baik. Orang yang berhasil menyentuh titik penghabisan
kesabarannya adalah Rangga; pria satu-satunya yang ia cintai.
Tania juga baru ingat, seharusnya ia bisa menjelaskan
secara rinci bagaimana kejadian yang mengakibatkan Rafael berhasil menyentuh
bibirnya. Semua yang terjadi kemarin memang memiliki sebab dan berakibat fatal,
tapi bodohnya Tania, ia tidak bisa menjelaskan sama sekali di depan Rangga.
Ia malah meninggikan ego dan gengsinya, padahal Rangga
membutuhkan banyak kejelasan.
Rangga adalah orang yang menjunjung tinggi sifat
realistis. Menurut pria itu, mungkin Tania menyerahkan begitu saja bagian
sensualnya pada pria lain, bukan pada Rangga yang sudah menjadi yang pertama
menyentuh seluruh tubuhnya. Padahal tidak Rangga ketahui, kejadian itu terjadi
di luar dugaan Tania, ia tidak bisa melakukan penolakan terlebih dahulu.
Semua sudah terjadi. Rangga tidak menganggapnya
sebagai sosok yang dicintai ataupun sekadar dihargai. Harga dirinya sudah
luluh-lantak.
“Rangga..”
Tania mengeluarkan sebuah kalung dari dalam seragam
kerjanya; kalung bertali emas putih dengan cincin yang sejenis sebagai liontin.
Tania menggenggamnya erat.
Isak tangisnya sedikit memelan walaupun sesegukan yang
kini mendominasi suara yang keluar dari bibirnya. Semakin Tania merasa
tenggorokannya begitu sakit, Tania semakin mengeratkan liontin tersebut,
mendekatkannya di bawah bibir.
Tania mengecup cincin itu sebelum meletakkannya
kembali di bawah bibir. Ia semakin memejam erat, air mata kerapuhannya terus
saja mengalir deras.
“Rangga..”
Seru Tania bergetar dalam isak tangis yang menyayat hati.
To be continued
No comments:
Post a Comment