“Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, bagaimana semua ini
bisa terjadi?”
Tania menggigit bibir bawahnya ragu, pasalnya wajah
Reza terlihat sangat tegang. Napas pemuda itu memburu cepat disertai
pandangannya yang sedikit membara amarah. Tania merasa sedikit takut sekaligus
canggung. Saat ini hanya ada mereka berdua dan tubuh Thella yang terbujur kaku.
Tubuh itu ditempeli oleh berbagai alat medis di beberapa bagian.
“Rafael sedang berusaha menciumku saat Thella datang
secara tiba-tiba. Rafael dan Thella sempat berdebat sebelum Rafael meminta
Thella sebagai saksi kalau dia berhasil menciumku. Dari sana Thella mulai murka
dan istrimu mengeluarkan pisaunya. Aku melerai mereka dan kutarik Thella untuk
keluar dari ruangan itu. Belum sampai pintu, tangan Thella sudah ditarik dan
pisau itu diambil oleh Rafael. Dia berusaha mendekatiku sambil mengacungkan
pisau. Di sinilah kesalahanku, aku tidak memperingatkan Thella keluar dari
ruangan itu dan mencari pertolongan, aku mal—“
“Kurasa Thella juga tidak akan keluar dari ruangan
itu, Tan.”
Tania menghela napasnya saat melihat raut wajah Reza
sudah tersaji dingin. “Aku melepas pegangan tanganku dari tangan Thella. Semua
terjadi sangat cepat. Rafael menarikku dan aku memejamkan kedua mataku, waktu
itu aku yakin Rafael akan menusuk perutku. Tapi aku mendengar ada sebuah suara
benda yang jatuh. Aku membuka mataku dan Thella sudah terjatuh sambil memegangi
perutnya.”
“Kenapa kalian tidak mencari posisi aman? Berlari atau
apapun itu! Kalian lupa kalau Rafael adalah orang yang berbahaya? Kau tidak
mengingatkan Thella, Tan? Kau, kan yang lebih hafal dengan karakter Rafael.”
“Sudah kubilang, semua terjadi secara cepat. Aku juga
masih terbawa emosi karena Rafael tiba-tiba menciumku.”
“Hari ini kau libur? Hmm—maksudku, apa hari ini kau
ambil jatah cuti?”
Dua bola mata Tania memutar, pandangannya beralih pada
tubuh kaku Thella. “Iya. Aku berencana untuk menunggui Thella hari ini. Apa kau
mengizinkan aku di sini sampai malam?”
“Silahkan saja. Tapi, Tan.. Aku belum merasa tenang.
Semua ini janggal. Aku—aku—“
“Reza, tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang, Tania?! Istriku koma!”
“Maaf.”
Tania menundukkan wajahnya setelah Reza mendengus
kasar. Sentakan keras pemuda itu berhasil menyentak kejadian kemarin. Ia merasa
setiap klise peristiwa tersebut adalah kesalahannya. Andai saja ia berlari dan
menyeret Thella secara tegas, pasti perempuan di depannya sekarang tidak akan
menjadi korban dalam kejahatan Rafael kemarin.
“Aku titip Thella sebentar.”
Tania mendongakkan wajahnya. Kepalanya memutar untuk
mengikuti pergerakan Reza yang tengah melangkah keluar dari ruang rawat Thella;
istrinya. Tania menghela napas pelan saat bola matanya menangkap dua kepalan
erat jemari Reza di samping tubuh pemuda itu.
Tania memejamkan mata dan kembali meluruskan kepala
agar bisa menatap wajah pucat Thella. Belum saja menarik napas, dua cuping
telinganya menangkap getaran bunyi cukup kencang yang merambat dinding.
Sepertinya Reza membanting pintu saat menutup ruangan ini.
Kelopak matanya kembali terbuka. Tania menggerakkan
telapak tangannya untuk menggenggam telapak tangan Thella yang tergeletak
lemah. Setelah menggenggamnya, Tania merasa kalau kedua pelupuk matanya ingin
mengeluarkan air mata.
“Maafkan aku, Thella. Cepatlah sadar, kumohon. Aku
tidak akan menyusahkan kalian lagi, aku akan berjuang sendiri. Aku janji.”
Tania semakin menggenggam erat telapak tangan Thella.
Kepalanya kembali menunduk, merasakan kedua bahunya yang perlahan seperti
ditimpa oleh beban yang amat berat. Seiringan dengan hal tersebut, pelupuk
matanya tidak mampu lagi menahan air-air itu untuk tidak keluar dari kedua
matanya.
Tania merasa ia tidak sekuat itu. Ia ingin
mengeluarkan bebannya.
Hampir berbanding lurus dengan keadaan Tania di dalam
ruangan, Reza sudah terduduk di kursi penunggu pasien yang berada di luar
ruangan. Pemuda ini menyandarkan tubuhnya pada dinding putih rumah sakit.
Kepalanya sedikit mendongak saat bagian puncak kepalanya menempel pada dinding
dingin di belakangnya. Dua mata besarnya memejam erat.
Reza tidak bisa mengendalikan situasi hatinya. Bagian
itu masih terasa gelap, ia tidak berani melangkah ke arah manapun. Reza
berusaha untuk tidak menyalahkan siapa-siapa walaupun bagian itu sudah
memberontak murka. Firasatnya mengarah pada satu nama yang menikam istrinya dan
membuat anaknya menangis keras kemarin. Dia adalah pemimpin besar perusahaan
yang ia kelola; Rafael Landry Tanubrata.
“Za,”
Reza membuka kelopak mata. Hal pertama yang ia
dapatkan adalah tiga orang yang berdiri di depannya. Ia segera menegakkan
posisi duduknya lalu mengusap kasar wajahnya. Dengan gerakan tangan, Reza
mempersilahkan tiga orang tersebut duduk di atas kursi yang sama didudukinya.
“Kau tidak sibuk meluruskan apa yang sudah tersebar di
media, Ga?”
Reza memandang salah satu di antara mereka; Rangga,
yang kini sudah duduk di sebelahnya. Kepala Reza hanya bergerak beberapa
derajat.
“Bagaimana keadaan Thella? Apa sangat parah?”
Rangga tidak meladeni pertanyaan Reza. Pria ini lebih
memilih untuk menanyakan keadaan perempuan yang ingin ia, Benicia, dan Fasha
jenguk. Ini bukan saatnya membahas masalah yang menimpa dirinya. Kedatangannya
sekarang adalah untuk mengetahui masalah yang tengah menimpa Reza.
“Tusukannya cukup dalam dan Thella kehabisan banyak darah.
Dokter tidak bisa memastikan kapan Thella siuman. Lukanya cukup parah, Ga.”
Rangga merangkul bahu sahabatnya. “Sabar, Za. Aku
yakin kau adalah laki-laki yang kuat. Kupastikan kalau dalam seminggu ini
Thella belum juga siuman, aku akan menyuruh pihak rumah sakit ini untuk membuat
surat rekomendasi pemindahan Thella ke rumah sakit di luar.”
“Sudahlah, Ga. Aku yakin Thella akan segera sadar.
Istriku tidak harus dibawa sampai sejauh itu.”
“Sakit tetaplah sakit, Za. Ini tidak bisa dianggap
remeh.”
“Aku sangat meminta do’a kalian bertiga.”
“Kami pasti do’akan, Za.” Benicia yang kali ini
menimpali. Ia menyampingkan tubuhnya dan sedikit dimajukan tubuh itu agar ia
dapat melihat Reza yang berada di ujung kanan.
“Terima kasih, Be.” Reza membalas dengan senyum kecil.
Kepalanya yang tadi sudah memutar untuk menatap ke
arah Benicia, kini ia arahkan kembali pada pria di sebelahnya. Rangkulan Rangga
di atas kedua bahunya sudah cukup membuat Reza sedikit tenang.
“Bagaimana denganmu? Apa kau sudah mengklarifikasi
semuanya?”
Terdengar Rangga menghela napas sangat panjang sebelum
melepas tangannya dari kedua bahu Reza. “Biarlah, aku tidak ingin mengurus
masalah itu terlebih dahulu. Oh, iya! Bolehkah kita bertiga masuk ke dalam?
Kita ingin melihat keadaan Thella.”
Reza menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Pemuda
ini beranjak berdiri dan membahasakan tubuhnya untuk mempersilahkan tiga orang
di dekatnya mengunjungi kamar rawat istrinya.
“Apa ada teman-teman kita yang sudah menjenguk Thella?
Aku sudah membagikan informasi ini kepada banyak teman-teman kita.”
Reza menghentikan langkahnya yang sudah mencapai tepat
di hadapan pintu. Jemarinya yang sudah bersiap ingin menjengit daun pintu, ia
tarik kembali. Tubuhnya segera memutar ke arah Rangga dan Benicia yang
memandanginya.
“Kenapa kau mendadak sekali berbalik? Untung saja kita
tidak menabrak punggungmu.” Protes Rangga dengan pandangan sedikit kesal.
Reza menampilkan sedikit deretan giginya lalu mengusap
tengkuk lehernya pelan. “Tania ada di dalam. Apa kalian siap menemuinya?”
“Tania?”
“Iya, Be. Dia ada di dalam dan berencana untuk
menunggu Thella sampai malam. Apa kalian ingin melihat keadaan Thella dengan
bertiga seperti ini? Emm—maksudku, aku mendapat kabar burung kalau Tania yang
menyebarkan gambar-gambar itu. Apa kalian tetap menunjukkan kebersamaan kalian
di depan Tania? Maaf kalau aku lancang.”
Rangga terdiam beberapa detik sebelum ia merasakan ada
sebuah sentuhan lembut yang mendarat di atas bahu kirinya. Dua mata elangnya
memandang dalam diam Benicia yang sudah tersenyum tipis ke arahnya.
“Masuklah! Lihat keadaan Thella. Aku dan Fasha
menunggumu di luar.”
“Killa, kau dan Fasha harus ikut aku ke dalam.”
“Ada Tania, Ga. Kau tidak meng—“
“Kalian berdua harus ikut!”
“Ga, mengertilah keadaan Tania. Bukan hanya kau saja
yang down, kurasa Tania juga lebih parah darimu.”
“Dia juga tidak mengerti aku, Kil.”
“Benar kata Benicia. Mungkin bisa saja Tania
keadaannya lebih buruk daripada kau, Ga. Saranku, lebih baik kau saja yang ke
dalam. Kau sendiri tidak apa-apa, kan tunggu di luar, Be?”
“Tidak apa-apa.”
“Ayo, Ga.”
“Sebentar, Za.”
Rangga menahan Reza yang sudah mengangkat tangannya ke
arah daun pintu. Rangga membalikkan tubuhnya. Wajah itu menatap lurus ke arah
wajah perempuan yang saat ini berhadapan dengannya.
“Apa kau benar-benar ingin menunggu di luar bersama
Fasha? Kita bertiga bisa masuk ke dalam bersama-sama. Bukannya kau sangat
khawatir dengan keadaan sahabat SMA-mu itu, Kil?”
Benicia membalas pertanyaan Rangga dengan tersenyum
terlebih dahulu.
“Aku memang khawatir, tapi kalau kau cepat masuk dan
memastikan keadaan Thella, itu sudah mampu menenangkan aku. Segera masuk dan
beritahu bagaimana keadaan Thella setelah kau keluar.”
“Tapi—”
“Berlakulah seperti biasa pada Tania. Kau sudah
membohonginya, bukan? Dia pasti sangat kecewa padamu, Ga. Kalau hatimu sudah
membaik, hampiri dia dan beri dia semangat.”
“Aku tidak akan melakukan itu. Ayo, Za!”
Rangga segera berbalik dan Reza yang mengerti segera
menjengit daun pintu lalu mendorongnya ke dalam.
Seorang wanita sedang duduk membungkuk di atas kursi
yang berada di samping brankar. Kepala wanita itu menunduk dan terdengar
beberapa kali isakan kecil. Bahunya sesekali terangkat dan kembali turun dalam
waktu yang lama.
“Tan, kau menangis?” Suara Reza menghapus keheningan
yang tercipta selain suara alat pendeteksi detak jantung Thella.
Dua mata elangnya dapat melihat pergerakan cepat dua
tangan wanita itu di area wajahnya, sebelum kepala itu hanya memutar sembilan
puluh derajat.
“Tidak.”
Bohong sekali! Batin Rangga berteriak.
Sayangnya, situasi mereka tidak mendukung Rangga untuk
membuka mulut. Ia terlalu kecewa atas apa yang dilakukan oleh wanita itu.
Wanita yang terlihat mengejar-kejar cintanya selama bertahun-tahun, tetapi
kandas seluruhnya akibat perbuatannya sendiri. Ternyata selama ini, Tania hanya
ingin menjatuhkan reputasinya di depan jutaan pasang mata masyarakat Indonesia.
Panas setahun dihapuskan hujan sehari.
Dua langkah kaki Rangga mengayun, mengikuti langkah
Reza yang berada di depannya. Tampaknya suami dari Thella; sahabatnya mengarah
pada sisi ranjang yang berlawanan dengan posisi Tania. Ia hanya menghela napas
pelan dan tetap mencapai posisi di mana Reza sudah berdiri tegak di sana.
“Seperti inilah keadaan Thella, Ga.”
Rangga terdiam. Ia mengamati kondisi Thella dari ujung
kepala sampai ujung kaki. Dua mata elangnya memandang lekat-lekat pada wajah
Thella yang tersaji sangat pucat, bersama alat bantu pernapasan yang menempel
di mulut sampai hidungnya.
Berbanding terbalik dengan Rangga yang terlihat serius
mengamati kondisi Thella, Tania justru terlihat tidak nyaman dalam posisinya.
Sesekali ia membenarkan sikap duduknya dengan kepala yang terus-menerus menunduk.
Tidak hanya tubuhnya yang merasa tidak nyaman, hatinya terlebih merasakan
berbagai hal yang tidak bisa ia jabarkan.
Di satu sisi, Tania malu atas perbuatannya kemarin. Ia
tahu ia begitu tega membongkar aib Rangga di depan publik. Padahal ia sendiri
sadar, semua yang ia buka kemarin belum dapat diketahui di mana kebenarannya.
Tania juga sadar kalau ia hanya mendengar dari satu sisi, ia belum mendengar
penjelasan Rangga. Hari kemarin, ia terlalu dikuasai amarah.
Di sisi lain, Tania sangat kecewa pada Rangga.
Bagaimana bisa Rangga dengan tega membohonginya? Apakah ada hati perempuan yang
tak sakit jika melihat pria yang sudah ditunggunya bertahun-tahun, memberinya
harapan yang sangat manis, namun tiba-tiba pria yang kau harapkan itu pergi dan
tinggal satu atap bersama wanita lain?
Lebih parahnya lagi, Rangga terlihat sangat berbeda
daripada Rangga yang biasa tampil di depan Tania. Rangga terlihat lebih hangat
di sekitar Benicia dan anaknya. Dia tidak angkuh dan cenderung seperti kepala
sebuah keluarga kecil. Suamiable.
Hal itu berbanding terbalik saat Rangga sedang bersama
Tania. Rangga yang berada di depan Tania adalah Rangga yang terlihat dingin dan
angkuh.
Sebenarnya, apa Rangga terpaksa ingin menikahinya
karena sebatas menepati janji?
“Kau sudah bertemu Rafael?”
“Belum, Ga. Aku sejak kemarin di sini, menjaga Thella.
Hmm, Tan! Apa kemarin saat kau kembali ke kantor, Rafael sudah kembali?”
“Dia tidak kembali setelah kejadian itu.”
“Suasana kantor segera kembali seperti biasa?”
“Ya, Rafael memang mengancam kami semua. Jika berita
ini tersebar ke orang luar selain karyawan Tanubrata’s, dia mengancam
akan memecat semua karyawan.”
“Rafael!” Reza sedikit menyentak suara saat
mengumamkan nama itu. “Padahal kekuasaan tertinggi ada pada Papih Rully dan
dirimu, kan, Ga?”
Tania sedikit mendongakkan kepalanya, memberanikan
diri untuk melihat bagaimana reaksi Rangga setelah mendengar suaranya.
Sebenarnya ia merasa heran pada pria itu. Dia masuk ke dalam ruangan ini dan
menanyakan keadaan Thella pada Reza, namun Rangga tidak membuka suara sama
sekali untuknya. Sekadar untuk menyapanya pun tidak.
Apa Rangga sudah mengetahui yang sebenarnya? Apakah
sekarang Rangga sudah sangat membencinya?
Lantas, apa bedanya dengan kebohongan yang pria itu
lakukan? Kenapa tidak ada penjelasan saat sekarang mereka bertemu?
“Aku ingin berbicara di luar saja, Za.”
Setelah melihat anggukan Reza, Tania kembali
menundukkan wajahnya. Rangga tidak sudi melihatnya terlalu lama, ya?
Putaran jarum jam terus bergerak sempurna 360˚ secara
berkala, menjadikan waktu demi waktu terlewati begitu saja sampai senja
melewati malam. Di tempat yang berbeda dari di mana ia datang di ruangan
tersebut, Tania masih saja duduk. Kali ini berbeda, ia duduk di atas soffa
bed yang tersedia. Kursi itu diduduki oleh Reza yang lebih banyak diam.
Tidak ada pembahasan yang bisa ia mulai dengan Reza.
Pemuda itu terlalu dingin dan tidak bisa diusik sama sekali aktivitasnya.
Selain memainkan ponsel dan memandangi Thella—juga meladeni dokter yang memeriksa
keadaan Thella—pemuda itu berbeda dari biasanya. Arda juga belum terlihat
menjenguk ibunya.
Rasa bersalah semakin mengoyak hati Tania.
Suara pintu yang terdengar dibuka membuat kepala Tania
memutar ke arah kiri. Dari muka pintu, muncul seorang pemuda berpakaian kantor
rapih yang memasuki ruangan. Pemuda itu sempat menengok ke arahnya sebelum
memandang lurus ke arah Reza yang sudah menyapa namanya terlebih dahulu.
“Maaf aku terlambat dua jam. Ada urusan kantor yang
harus kuselesaikan, Za.”
“Tidak apa-apa.” Reza menghentikan ucapannya beberapa
detik. Tania hanya menatap keduanya dalam diam sebelum Reza memutar tubuhnya
dan kepala pemuda itu menghadap ke arahnya.
Tania menautkan kedua alisnya.
“Tan, kau pulang bersama Bisma saja, ya? Aku tidak
bisa mengantarmu karena tidak ada yang menjaga Thella kalau aku pergi.”
Tania menghela napas pelan. Ia menegakkan posisi
duduknya dan memandang Reza dengan pandangan sendu. “Aku pulang besok pagi
saja, Za. Kalau kau ingin pulang dan memeriksa Arda, silahkan. Aku yang akan
menunggu Thella.”
“Sebaiknya kau pulang, Tan. Bukan bermaksud
mengusirmu, tapi kau besok kerja, kan? Aku tidak ingin kau sakit karena
semalaman di sini. Arda juga sebentar lagi akan kemari bersama kedua
orangtuaku. Istirahatlah.”
“Kau serius?”
“Aku serius, Tania. Jagalah dirimu baik-baik, apalagi
untuk besok. Rafael kemungkinan masih mengincarmu.”
“Kau benar, Za.”
Tania beranjak berdiri. Kakinya melangkah ke arah Reza
untuk mendekati pemuda tersebut kemudian menyalami tangannya sebagai tanda
pamit pulang.
“Terima kasih sudah mengizinkanku untuk menunggui
Thella. Sekali lagi, aku minta maaf, Za.”
“Tidak usah merasa bersalah, Tan. Ini semua ulah
Rafael. Kau harus memperketat kewaspadaanmu. Mulai hari ini Rangga sudah
menarik semua pengawalnya. Kau akan sendiri lagi.”
Penuturan Reza sukses membuat Tania tercengang.
Buru-buru Tania melepaskan telapak tangannya dari jabatan Reza. Ia menutup
mulutnya. “Kau tidak bercanda, kan?”
“Aku dapat informasi itu langsung dari Rangga tadi
siang. Dia menarik semua pengawalnya. Aku juga sudah diperintah Rangga untuk
tidak mengawasimu lagi.”
Tania menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dua
matanya refleks berkaca dalam setiap kedipannya, bahkan semakin banyak ia
melakukan itu, pertahanan air matanya semakin saja buruk.
“Za, Rangga benar-benar marah?”
Bisma tidak tega melihat keadaan wajah Tania yang
sudah sangat memerah. Ia yakin, wanita itu sebentar lagi akan menangis. Tania
terlihat sangat terkejut sekaligus takut. Ya Allah, rasa bersalah Bisma
terus-menerus bertambah besar.
Reza menolehkan kepalanya pada Bisma yang berdiri di
sampingnya. Dia terdengar menghela napas panjang. “Sangat marah. Rangga memang
tidak bilang apa-apa tentang hal itu, tapi ekspresi wajah dan matanya sangat
kentara, Bis.”
Reza menghentikan kalimatnya untuk menoleh kembali ke
arah Tania.
“Aku dan Thella tidak tahu apa-apa tentang kejadian ini.
Kemarin pagi kami berdua terkejut, apalagi saat mendapat informasi dari anak
buah Papih Rully bahwa kalian berdua yang memulai semua ini. Maka dari itu,
kemarin siang Thella datang ke kantor Rafael, ingin memastikannya dari mulutmu
sendiri, Tan.”
“Aku tidak tahu harus berpendapat apa. Aku juga tidak
sepenuhnya menyalahkan keberanianmu, Tan. Aku mengerti kekecewaanmu, kau
sedikit demi sedikit mulai tahu tentang Rangga dan Benicia, bukan?”
Tania menundukkan kepalanya. Telapak tangan yang tadi
menutup area bibirnya, kini dibiarkan tergeletak tak berdaya di samping
tubuhnya.
“Aku tidak terima Rangga membohongiku, Za. Dia memang
sudah memberitahuku kalau dia menjaga seorang perempuan, tapi dia tidak bilang
bahwa perempuan itu adalah Benicia. Aku—aku hanya kesal, Rangga terlihat lebih
hangat dengan mereka berdua daripada denganku. Kami sudah delapan tahun tidak
bertemu, Za. Tapi waktu kami memiliki kesempatan bertemu, dia tidak seramah
itu. Aku merasa kalau aku yang mengejar-kejarnya. Aku merasa kalau Rangga
terpaksa ingin menepati janjinya padaku. Aku—ak—aku—“
Tania semakin menundukkan kepalanya. Isakan tangisnya
perlahan mulai terdengar. “Kenapa Rangga tidak bilang yang sejujurnya saja? Aku
butuh kepastian, Za. Aaa—ak—aku lelah seperti ini terus. Aku ingin bebas. Aku
ingin yang terbaik dalam hidupku. Setiap detik yang aku lewati bukan hanya
untuk Rangga seorang. Aku ingin mendapatkan hak-ku dalam mencintai dan
dicintai.”
“Tan,”
“Jangan menyentuhku!”
Jemari yang sudah mengambang di udara itu Bisma
turunkan. Dua kakinya seolah memaku di tempatnya saat ini. Tubuhnya sudah
berada di samping Tania, bahkan sudah menyamping pada tubuh Tania yang
menghadap ke arah Reza. Tetapi larangan yang dilontarkan wanita itu membuat
Bisma lebih memilih mematuhinya, ia memutar tubuh untuk berhadapan dengan Reza.
“Aku tahu aku salah, Za.” Ujar Bisma lirih. Kepalanya
sedikit menoleh ke arah Tania sebelum ia kembali memutarnya ke arah Reza.
Pandangannya berubah menjadi sendu. “Aku mengkhianati
keluargaku sendiri. Tapi, banyak pertimbangan yang aku hadapi, Za. Caraku
memang salah, menghasut Tania dan membawanya dalam pusaran yang semakin
berkelit. Aku sadar, akulah yang pantas disalahkan.”
“Apa saja yang kau ucapkan pada Tania, Bis? Aku hafal
karaktermu sejak kecil. Kau bukan tipe pria yang gegabah mengambil keputusan.
Ada hal apa yang sampai membuatmu berani melakukan ini? Siapa dalang di balik
semuanya?”
Reza memajukan tubuh satu langkah, mendekat ke arah
Bisma. Sebelum menyelesaikan ucapannya, dua tangan Reza sudah memegang masing-masing
bahu Bisma dan mengguncang tubuh sahabatnya kencang.
“Aku hanya bermaksud untuk tidak menambah penderitaan
Tania, Za.”
“Itu hanya persepsimu, Bisma! Nyatanya, semua ini
bertambah rumit!”
“Tania, tenangkan dirimu.”
“Bagaimana aku bisa tenang, Reza?!! Kau tahu, hatiku
sakit setelah menyadari semuanya! Akulah penyebab karier Rangga menjadi buruk
sebentar lagi! Aku mengecewakan keluarganya! Aku tidak punya wajah lagi di
depan anggota keluarganya. Aku bodoh sekali!”
“Tania, kau harus menyelesaikan semua ini dengan
kepala dingin. Lagian, masalah ini menjadi pelajaran untuk kalian berdua.”
Reza memandang sendu pada dua orang di depannya. Tania
sudah menangis terisak dan Bisma sudah menunduk dalam. Ia memang tidak terlalu
mengerti apa yang terjadi karena ia sendiri hanya mendapat laporan dari
ayahnya. Namun, dua orang dibalik kekacauan Keluarga Soekarta saat ini adalah
orang-orang terdekatnya. Bahkan salah satu pelaku tersebut adalah bagian dari
keturunan Soekarta sendiri. Satu pelakunya lagi adalah orang yang sudah
dipercaya akan menjadi bagian dalam kerabat keluarganya itu. Ya, walaupun entah
kapan.
“Lebih baik aku pulang naik taksi saja. Permisi.”
“Tania, ini sudah malam.”
“Tan! Tania!”
“Kejarlah, Bis. Aku takut terjadi sesuatu.”
“Aku pulang, Za.”
“Hati-hati.”
Balasan Reza atas ucapan pamitnya terdengar setelah ia
melewati muka pintu ruang rawat Thella. Kakinya segera berlari untuk mengejar
langkah cepat Tania yang berada di depan.
Tidak memerlukan waktu sampai satu menit, tangannya
sudah bisa menggamit telapak tangan Tania. Bisma menyeret wanita itu untuk
melangkah bersamanya secara beriringan.
“Lepas! Aku ingin pulang sendiri!”
“Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendiri, Tania.”
“Apa pedulimu, Bis? Kau sudah berhasil
memporak-porandakan hidupku. Kelakuanmu tidak jauh berbeda dengan Rafael!”
“Tan, aku bisa menjelaskan dari awal bagaimana semua
ini aku lakukan.”
“Aku tidak ingin mendengarnya!”
“Pulanglah bersamaku. Kau tidak ingin Tante Sara dan
Om Darma mengkhawatirkanmu karena kau naik taksi malam-malam seperti ini,
bukan?”
“Bis—“
“Kalau kau masih juga menolak, aku tidak segan-segan
mengangkatmu sampai kau duduk dalam mobilku.”
Tania langsung mendelik tajam. “Terserah!”
Bisma tersenyum kecil melihat perawakan mungil Tania
yang melangkah cepat di depannya. Ia tahu, Tania tidak akan tetap keras kepala
untuk meminta pulang seorang diri. Tania sangat memahami sifatnya, apalagi
kalau sudah mengancam.
Terkadang Bisma merasa beruntung memiliki jiwa pemaksa
yang turun-temurun mengalir dalam darah setiap anggota keluarga besarnya.
Walaupun ia tahu, kondisi hubungannya dengan Tania sedang tidak baik.
Tidak ada yang mereka lakukan selama dalam perjalanan
selain suara deru mesin yang menyala. Tania lebih memilih diam sambil menengok
ke arah samping, memandangi situasi jalanan di luar mobil yang sedang keduanya
tumpangi.
Bisma tidak tahan. Ia juga sudah berjanji untuk
menjelaskan dari awal bagaimana semua ini tega ia lakukan pada Tania. Bisma
tidak memikirkan waktu dan tempat yang tidak tepat untuk menjelaskan semuanya,
yang saat ini wanita itu butuhkan adalah penuturannya yang lengkap, agar wanita
itu tidak menghakiminya bahwa ialah terdakwa yang paling bersalah.
“Tan,”
“Aku tidak menyangka kalau kau bisa sejahat ini, Bis.”
“Kau dengar penjelasanku, Tan. Sebenar—“
“Aku tidak ingin mendengar apapun! Kau pasti ingin
membela dirimu.”
“Tidak! Aku mengakui kalau aku salah. Semua ini aku
lakukan karena kurasa lebih baik aku yang memberitahumu langsung daripada
Rafael. Dia jauh lebih sadis daripada caraku.”
“Tapi kau yang mensiasati semuanya! Kau yang
mengajariku bagaimana caranya memperburuk nama Rangga di depan publik, Bis. Apa
maksudmu, hah?! Kau diam-diam dendam pada Rangga? Atau kau masih tidak terima
karena aku menolakmu?”
“Hei, aku tidak sepicik itu!”
“Lantas, apa itu cara yang pintar?”
“Kau tidak mengerti keadaanku waktu itu, Tan. Aku
tahu, sekarang kau lebih memikirkan Rangga, bukan?!”
“Kau juga tidak mengerti keadaanku dan Rangga!”
“Apa kau juga memikirkan aku, heh?! Aku cemburu dengan
caramu selalu memikirkan Rangga dan Rangga terus-menerus, kau tahu?!”
“Bisma! Aku belum pernah tahu perasaanmu kalau kau
tid—“
“Aku ingin kau baik-baik saja, Tan.”
“Apanya yang baik? Ini semua semakin buruk!”
“Tania, Rafael mengancamku akan—“
“Sudahlah! Aku ingin turun di sini. Sekarang!”
“Tidak, Tan. Ini masih jauh dari rumahmu.”
“Aku tidak main-main, Bisma! Kau turunkan aku sekarang
juga atau aku akan turun walaupun mobil ini tidak berhenti.”
Bisma membulatkan kedua matanya saat ia melihat
sendiri kalau tangan Tania sudah bersiap untuk membuka pintu mobilnya. “Tania,
kau jangan gila!”
“Turunkan aku, Bisma!”
Bisma segera menepikan mobilnya. Dalam hitungan
beberapa detik, pintu di sampingnya sudah di tutup dan keheningan menyapa
keadaan mobil pribadinya. Ia memandang lurus di mana wanita yang baru saja
turun dari mobilnya itu sudah mengayunkan langkah satu demi satu menjauhi
kendaraannya.
Bisma menghela napas gusar dan segera menyalakan mesin
mobil. Dengan mengemudikan mobilnya perlahan dan menyusuri tepi trotoar, ia
melajukan mobilnya tepat di sebelah tubuh Tania yang berjalan lunglai.
“Tan, pulanglah bersamaku. Kumohon.”
“Pergilah!”
Bisma menghela napas pelan sebelum ia menutup kaca
jendela mobilnya. Dengan sangat tidak rela, ia meninggalkan Tania seorang diri
di jalanan.
Tania memandang lurus pada bagian belakang mobil Bisma
yang sedikit demi sedikit hilang dari jangkauan matanya. Tania menghela napas
dalam sambil mengayunkan kakinya pelan. Pikirannya tidak bisa terlepas dari
tanggapan Rangga saat menjenguk Thella tadi siang.
Pria itu tidak banyak mengeluarkan suaranya. Jangankan
untuk berbincang tentang masalah yang sudah ia buat atau sekadar mengeluarkan
kata ‘Hai!’ padanya. Raut wajah pria itu saja sudah terkesan keras dan tidak
suka akan keberadaanya yang dekat dengan pria itu.
Rangga juga meminta Reza untuk mengobrol di luar saja.
Kalau sudah seperti ini, apa yang harus ia
pertahankan? Rangga saja sudah kecewa dengannya. Jangan mengharapkan perasaan
Rangga yang masih dapat ia miliki sepenuhnya atau tidak. Yang dekat-dekat saja,
apa Rangga akan memaafkannya?
###
“Papih, bagaimana ini? Wartawan bahkan memenuhi
koridor. Para tetangga appartement sudah banyak yang protes, security
sulit menahan mereka. Aku bingung, Pih.”
“Kau keluar saja, nak. Beri penjelasan sedikit agar
mereka puas. Kalau perlu, kau jelaskan saja semuanya biar cepat kelar.”
“Kalau aku menjelaskan pada mereka, yang ada mereka
semakin memancingku. Aku tidak ingin asal-asal membuat pernyataan.”
“Ya sudah, balas sedikit saja pertanyaan mereka lalu
kau usir mereka. Papih akan kirimkan pengawal untuk berjaga di sana.”
“Benicia tidak mau ada pengawal seperti itu, Pih.”
“Lantas, bagaimana? Kau sendiri yang bingung.”
“Ah, Papih! Ini membuatku sangat pusing! Pihak appartement
sudah menyuruhku untuk mengatasi para wartawan itu.”
“Lekaslah keluar dan balas seadanya. Pinta mereka pelan-pelan
untuk meninggalkan appartement-mu. Bilang saja, dua hari lagi kita akan
mengadakan konferensi pers.”
“Papih serius?”
“Aku tidak pernah main-main, Rangga. Besok kita semua
harus berkumpul, aku sudah menginformasikan acara ini pada keluarga besar kita
dan pihak Keluarga Benicia. Besok Papih akan ambil penerbangan pertama bersama
pihak Benicia. Papih juga sudah bilang pada Keluarga Tania agar mereka tahu
yang sebenarnya dan tidak salah paham, namun mereka menanggapi papih kurang
baik.”
“Kenapa aku yang diberitahu terakhir, Pih?”
“Masih ada Tania dan Bisma yang belum tahu tentang
acara besok.”
“Jangan sebut nama mereka berdua!”
“Jangan seperti itu, ini juga salahmu!”
“Ah! Sudahlah, Pih! Aku akan—“
“Kalau besok pihak Keluarga Tania tidak ada yang datang
satu orang pun, Papih dan Mamih tidak bisa menjamin bagaimana kelanjutan
hubunganmu dengan Tania.”
“Aku tidak memikirkan lagi hubunganku dengan wanita
itu!”
“Hei, ingat anakku! Dugaan Papih dan Mamih tidak
pernah meleset! Kau boleh sangat marah dan kecewa dengan kekasihmu itu, kami
juga sebenarnya kecewa, tap—“
“Dia bukan siapa-siapa Rangga.”
“Terserah kau, anakku. Jangan pernah menyesal jika
akhirnya Tania lepas dari genggamanmu. Kami akan tertawa paling keras jika anak
kami satu-satunya mengemis darah pada Tania. Lihat saj—“
“Papih!”
“Kami akan hasut wanitamu itu untuk tidak menerimamu
lagi, kalau perlu aku jodohkan dengan Bisma. Tania sangat mudah dipengaruhi.”
“Tolonglah. Kalau aku menutup panggilanmu sepihak, aku
berdosa.”
“Ya sudah, cepat atasi masalahmu.”
Rangga menghela napasnya sesaat sudah menjauhkan
ponsel dari telinganya. Rangga membuang muka ke kanan, menekuk wajahnya kesal,
namun ia tidak menunjukkan ekspresi itu di depan Benicia dan Fasha yang sejak
tadi memandanginya.
Rangga menipiskan bibir bawahnya, berusaha
mengendalikan kepenatannya saat ini.
“Papih bilang aku harus keluar dan menjawab sedikit
pertanyaan mereka.”
“Lakukan saja perintah Papihmu. Sudah banyak yang
protes, Ga.”
Rangga beranjak berdiri lalu melangkah ke arah pintu.
Ia mengumpulkan napas yang sangat banyak sebelum menghembuskannya secara
perlahan. Setelah merasa siap, Rangga segera menarik daun pintu.
Tamparan cahaya blitz dan suara jepretan kamera
memenuhi kedua gendang telinganya. Suara banyak manusia di depannya segera
saling sahut-menyahut kencang. Baru saja berdiri beberapa detik di muka pintu,
Rangga sudah merasa sakit kepala.
“Tolong jangan saling dorong dan saya mohon bersabar.
Saya akan berusaha menanggapi pertanyaan kalian sebisa saya.”
Para pencari berita tersebut seketika menciptakan
suasana hening yang kompak. Tamparan sinar kamera dan juga suara-suaranya masih
dapat didengar, namun suara si pemegang benda tersebut sudah hilang.
Rangga sedikit bernapas lega.
Pandangannya beralih pada belasan mikrofon yang
tersaji di depan dadanya. Hanya sebentar menatap benda-benda itu, Rangga
kembali memandangi wajah-wajah para wartawan yang sangat gigih sekali menunggu
klarifikasi langsung darinya.
“Apakah orang yang ada di dalam foto itu adalah Mas
Rangga?”
“Benar, itu adalah saya.”
“Apa appartement ini lokasinya, Mas?”
“Benar sekali. Ini adalah appartement saya.”
“Lantas, siapa perempuan yang bersama Mas Rangga? Apa
dia adalah kekasih anda dan anak itu adalah anak anda?”
“Apakah Mas Rangga diam-diam sudah berkeluarga? Atau
gosip yang beredar kalau Mas Rangga mempunyai hubungan terlarang itu benar
adanya?”
Rangga segera memandang tajam ke arah seorang
perempuan setengah baya yang berdiri sedikit di belakang. Pertanyaan kedua yang
terlontar dari mulut wartawan itu berhasil merayapkan sebuah kobaran api yang
membakar dadanya secara cepat.
Dua matanya segera menatap tajam para wartawan yang
justru menganggukkan kepala mereka saat pertanyaan itu terucap.
Sialan! Berita bualan apa saja yang disebarkan Bisma
dan Tania?
“Saya tegaskan! Saya belum pernah menikah dan sekarang
saya tidak terlibat dalam hubungan terlarang apapun! Berita yang beredar di
seluruh media manapun saat ini adalah bohong! Saya tekankan, itu tidak
benar adanya.”
“Apa anda sudah mengetahui siapa yang mengedarkan
foto-foto anda? Langkah apa yang akan anda tempuh untuk mengusut pelaku?”
“Saya tidak ingin berkomentar tentang hal itu. Sudah,
kan? Saya mohon tinggalkan appartement saya dan hargai privasi saya.
Kasihan dengan para penghuni yang lain, mereka sangat terganggu.”
“Apa anda tinggal bersama perempuan dan anak itu?”
“Anda menikah di bawah tangan dengan perempuan itu?”
“Anak itu adalah hasil hubungan terlarang anda dengan
perempuan itu?”
“SAYA BELUM PERNAH MENIKAH SECARA SAH DI MATA NEGARA
DAN AGAMA ATAUPUN MENIKAH SAH SECARA AGAMA SAJA. TOLONG KALIAN PERGI DARI
SINI!”
“Tolong klarifikasikan tentang anak itu, agar tidak
menjadi berita yang memperburuk nama anda sendiri, Pak Rangga.”
“Dia, anak saya!”
“Pak Rangga, lantas—”
“Pah,”
Rangga mengalihkan pandangannya saat ia merasa ada
genggaman lemah di telapak tangannya yang sudah mengepal kencang. Bola matanya
segera meneduh ketika melihat wajah nan polos yang ditampilkan Fasha, anak
kecil yang sedari tadi dipertanyakan secara terus-menerus oleh para pencari
berita.
Keteduhan tatapannya tersebut hilang saat ia menatap
wajah Benicia yang hanya muncul di balik pintu. Rangga menatap tajam ke arah
Benicia, yang dibalas tatapan sendu oleh perempuan itu.
Rangga segera menggenggam telapak tangan mungil Fasha
dan menyembunyikan tubuh Fasha di belakang tubuhnya. Ia memberi kode pada Fasha
agar kembali masuk ke dalam appartement dengan mendorong pelan tubuh
kecil itu.
Rangga kembali menolehkan kepalanya pada awak media
yang semakin gila menggunakan kamera, berusaha menangkap gambar tubuh Fasha
dengan alat mereka.
“Saya dan keluarga besar saya akan menggelar
konferensi pers dua hari lagi. Waktu dan tempat akan diinformasikan oleh juru
bicara keluarga kami. Silahkan kalian pulang dan siapkan pertanyaan yang mampu
mengupas tuntas rasa penasaran kalian. Permisi.”
“Terima kasih, Pak Rangga.”
“Satu lagi, saya mohon hilangkan rekaman bagian anak
kecil tadi. Kalau saya dapat laporan tentang hal itu, saya tidak segan-segan
melakukan sesuatu pada redaksi kalian.”
“Siap, Pak Rangga!”
Mendengar suara mantap dan beberapa suara gemetar yang
dikeluarkan oleh para awak media, Rangga segera masuk kembali ke dalam appartement.
Tubuhnya berbalik, ia dapat menangkap keberadaan Benicia dan Fasha yang berada
beberapa langkah di depannya.
“Killa, apa yang kau lakukan tadi?!” Sentak Rangga
cukup kencang.
Benicia hanya memejamkan sebentar kedua matanya
sebelum ia kembali membuka pejaman itu. “Aku takut kau hilang kendali, Ga.”
“Kenapa harus Fasha yang keluar? Dia masih kecil, Kil!
Bagaimana kalau dia jadi korban para pencari berita itu? Killa! Kecerobohanmu
itu!”
“Maaf, Ga. Aku minta maaf.”
“Argh!” Rangga menjatuhkan tubuhnya di soffa.
Ia menjambak rambut di atas telinga kanan dan telinga kirinya kencang. “Jangan
pernah kau ulangi lagi!”
“Baiklah. Hmm—Ga, terima kasih untuk tadi.”
Dengan wajahnya yang kusut, Rangga menoleh ke arah
Benicia yang sudah duduk di sebelahnya beserta Fasha yang hanya diam di
pangkuan ibundanya. “Terima kasih? Untuk apa?”
“Terima kasih karena telah mengakui Fasha sebagai
anakmu. Aku begitu terpukau atas pengakuanmu tadi, Ga.”
Rangga menegakkan duduknya. Ia tersenyum tipis pada
Benicia. Dua matanya beralih pada Fasha yang diam-diam menatapnya. Rangga mengangkat
salah satu telapak tangannya kemudian mengusap puncak kepala Fasha.
“Tentang hal itu.. Aku memang sudah menganggap Fasha
seperti anak kandungku sendiri.”
“Aku sangat berterima kasih, Ga. Di saat ayahnya tidak
mengakui Fasha, kau selalu ada sebagai sosok ayah untuk anakku. Maaf kalau aku
selalu merepotkanmu.”
Rangga kembali menoleh pada Benicia. Pria ini dapat
melihat dinding bening yang melapisi bola mata berwarna coklat milik perempuan
di sebelahnya.
Rangga mengalihkan telapak tangan yang berada di
puncak kepala Fasha menjadi di atas bahu kiri Benicia. “Tidak perlu berterima
kasih. Aku tidak merasa direpotkan.”
“Tapi, Ga—Hks, Rafael saja tidak pernah sekalipun
berniat memantau anaknya. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana perasaan
anakku sendiri.”
“Ssstt, sudahlah kau tidak perlu menangis. Ada Rangga,
Kil. Aku akan selalu bersama kalian, menjaga kalian semampuku, sampai ada
seseorang yang menggantikan tugasku.”
“Maafkan aku, Ga. Aku membuat hidupmu semakin
berantakan karena kehadiranku. Aku minta maaf. Aku belum bisa membalas semua
kebaikanmu.”
“Jangan menangis.”
Rangga menarik Benicia dalam dekapannya. Ia menaruh
kepala perempuan itu di atas bahu kanannya lalu memeluk kepala itu erat. “Aku
tidak pernah suka kau menangis karena kesedihan hidupmu. Percayalah, semua akan
bahagia pada akhirnya, Kil. Kita harus berusaha meluruskan semua masalah ini.”
“Kau sangat tegar. Karena aku, hubunganmu dengan Tania
sudah di ambang kehancuran. Semua ini karena kehadiranku.”
Rangga terdiam. Ia memilih menenggelamkan wajahnya
pada kepala belakang Benicia, membenamkannya pada rambut Benicia dengan
sesekali mengecup bagian itu.
“Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku.”
Benicia semakin terisak dalam pelukan Rangga.
Rangga memejamkan kedua matanya dan tidak terlalu
mengeratkan pelukannya, karena ia tahu ada Fasha yang berada dalam pangkuan
Benicia.
“Pah,”
Rangga segera melepas pelukannya dari Benicia.
Tubuhnya sedikit merunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Fasha.
Wajah anak itu sudah sangat memerah.
“Fasha janji, Pah. Fasha tidak akan jadi anak yang
nakal. Papah Rangga adalah papah satu-satunya buat Fasha. Tidak ada papah yang
lain. Fasha sayang sama Papah.”
Pertahanan Rangga hancurlah sudah. Air mata kini mulai
menuruni kedua pipinya. Dengan penuh kasih sayang, Rangga mengecup kening Fasha
kemudian kedua pipi tembam anak itu bergantian. Sesudah itu, Rangga segera
mengambil Fasha dari pangkuan Benicia. Ia yang memangku Fasha di atas kedua
pahanya lalu memeluk Fasha erat.
Rangga mendekap erat Fasha di atas dadanya. “Papah
Rangga juga sangat sayang sama Fasha. Jadi anak yang berbakti untuk orangtua
Fasha, ya.”
“Kalau Papah Rangga nanti menikah dengan Mamah cantik,
jangan lupakan Fasha dan Mamah, ya?! Fasha ingin tetap dekat dengan Papah
Rangga.”
“Pasti, sayang. Pasti!”
“Rangga, perbaikilah hubunganmu dengan Tania. Kumohon,
ini hanya kesalah-pahaman. Kau harus segera meluruskan semuanya.”
Rangga mengangkat sedikit kepalanya, memandang Benicia
dengan kedua mata yang sudah banjir dengan air mata. Bibir Rangga terlihat
bergetar saat ia membukanya untuk menjawab ucapan Benicia.
Dua matanya memejam sesaat air mata itu semakin banyak
menggenangi pelupuk matanya. Sembilu yang amat memilukan seperti menohok
hatinya sangat dalam. Tidak ada bagian manapun yang terasa baik-baik saja.
Semuanya terasa sakit, semua bagian itu mengerut perih.
Rangga membuka pejamannya. Dia menjawab saran Benicia
dengan suara bergetar. “Tania begitu jahat padaku, Kil.”
Benicia merasakan kedua matanya kembali mengaliri
cairan bening itu. Sanubarinya begitu pilu saat melihat Rangga kembali menunduk
untuk memeluk putranya. Pria yang selalu siap-sedia melindunginya dan Fasha,
kini terlihat luluh-lantah tak berdaya karena kekecewaan itu.
Ia harus berbuat apa? Bagaimana cara yang tepat untuk
mengembalikan hubungan Rangga dan Tania yang terlumur kekecewaan yang menguat?
To be
continued
No comments:
Post a Comment