Sunday, January 1, 2017

MINE | BAB 8. Disappointed

“Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, bagaimana semua ini bisa terjadi?”
Tania menggigit bibir bawahnya ragu, pasalnya wajah Reza terlihat sangat tegang. Napas pemuda itu memburu cepat disertai pandangannya yang sedikit membara amarah. Tania merasa sedikit takut sekaligus canggung. Saat ini hanya ada mereka berdua dan tubuh Thella yang terbujur kaku. Tubuh itu ditempeli oleh berbagai alat medis di beberapa bagian.
“Rafael sedang berusaha menciumku saat Thella datang secara tiba-tiba. Rafael dan Thella sempat berdebat sebelum Rafael meminta Thella sebagai saksi kalau dia berhasil menciumku. Dari sana Thella mulai murka dan istrimu mengeluarkan pisaunya. Aku melerai mereka dan kutarik Thella untuk keluar dari ruangan itu. Belum sampai pintu, tangan Thella sudah ditarik dan pisau itu diambil oleh Rafael. Dia berusaha mendekatiku sambil mengacungkan pisau. Di sinilah kesalahanku, aku tidak memperingatkan Thella keluar dari ruangan itu dan mencari pertolongan, aku mal—“
“Kurasa Thella juga tidak akan keluar dari ruangan itu, Tan.”
Tania menghela napasnya saat melihat raut wajah Reza sudah tersaji dingin. “Aku melepas pegangan tanganku dari tangan Thella. Semua terjadi sangat cepat. Rafael menarikku dan aku memejamkan kedua mataku, waktu itu aku yakin Rafael akan menusuk perutku. Tapi aku mendengar ada sebuah suara benda yang jatuh. Aku membuka mataku dan Thella sudah terjatuh sambil memegangi perutnya.”
“Kenapa kalian tidak mencari posisi aman? Berlari atau apapun itu! Kalian lupa kalau Rafael adalah orang yang berbahaya? Kau tidak mengingatkan Thella, Tan? Kau, kan yang lebih hafal dengan karakter Rafael.”
“Sudah kubilang, semua terjadi secara cepat. Aku juga masih terbawa emosi karena Rafael tiba-tiba menciumku.”
“Hari ini kau libur? Hmm—maksudku, apa hari ini kau ambil jatah cuti?”
Dua bola mata Tania memutar, pandangannya beralih pada tubuh kaku Thella. “Iya. Aku berencana untuk menunggui Thella hari ini. Apa kau mengizinkan aku di sini sampai malam?”
“Silahkan saja. Tapi, Tan.. Aku belum merasa tenang. Semua ini janggal. Aku—aku—“
“Reza, tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang, Tania?! Istriku koma!”
“Maaf.”
Tania menundukkan wajahnya setelah Reza mendengus kasar. Sentakan keras pemuda itu berhasil menyentak kejadian kemarin. Ia merasa setiap klise peristiwa tersebut adalah kesalahannya. Andai saja ia berlari dan menyeret Thella secara tegas, pasti perempuan di depannya sekarang tidak akan menjadi korban dalam kejahatan Rafael kemarin.
“Aku titip Thella sebentar.”
Tania mendongakkan wajahnya. Kepalanya memutar untuk mengikuti pergerakan Reza yang tengah melangkah keluar dari ruang rawat Thella; istrinya. Tania menghela napas pelan saat bola matanya menangkap dua kepalan erat jemari Reza di samping tubuh pemuda itu.
Tania memejamkan mata dan kembali meluruskan kepala agar bisa menatap wajah pucat Thella. Belum saja menarik napas, dua cuping telinganya menangkap getaran bunyi cukup kencang yang merambat dinding. Sepertinya Reza membanting pintu saat menutup ruangan ini.
Kelopak matanya kembali terbuka. Tania menggerakkan telapak tangannya untuk menggenggam telapak tangan Thella yang tergeletak lemah. Setelah menggenggamnya, Tania merasa kalau kedua pelupuk matanya ingin mengeluarkan air mata.
“Maafkan aku, Thella. Cepatlah sadar, kumohon. Aku tidak akan menyusahkan kalian lagi, aku akan berjuang sendiri. Aku janji.”
Tania semakin menggenggam erat telapak tangan Thella. Kepalanya kembali menunduk, merasakan kedua bahunya yang perlahan seperti ditimpa oleh beban yang amat berat. Seiringan dengan hal tersebut, pelupuk matanya tidak mampu lagi menahan air-air itu untuk tidak keluar dari kedua matanya.
Tania merasa ia tidak sekuat itu. Ia ingin mengeluarkan bebannya.
Hampir berbanding lurus dengan keadaan Tania di dalam ruangan, Reza sudah terduduk di kursi penunggu pasien yang berada di luar ruangan. Pemuda ini menyandarkan tubuhnya pada dinding putih rumah sakit. Kepalanya sedikit mendongak saat bagian puncak kepalanya menempel pada dinding dingin di belakangnya. Dua mata besarnya memejam erat.
Reza tidak bisa mengendalikan situasi hatinya. Bagian itu masih terasa gelap, ia tidak berani melangkah ke arah manapun. Reza berusaha untuk tidak menyalahkan siapa-siapa walaupun bagian itu sudah memberontak murka. Firasatnya mengarah pada satu nama yang menikam istrinya dan membuat anaknya menangis keras kemarin. Dia adalah pemimpin besar perusahaan yang ia kelola; Rafael Landry Tanubrata.
“Za,”
Reza membuka kelopak mata. Hal pertama yang ia dapatkan adalah tiga orang yang berdiri di depannya. Ia segera menegakkan posisi duduknya lalu mengusap kasar wajahnya. Dengan gerakan tangan, Reza mempersilahkan tiga orang tersebut duduk di atas kursi yang sama didudukinya.
“Kau tidak sibuk meluruskan apa yang sudah tersebar di media, Ga?”
Reza memandang salah satu di antara mereka; Rangga, yang kini sudah duduk di sebelahnya. Kepala Reza hanya bergerak beberapa derajat.
“Bagaimana keadaan Thella? Apa sangat parah?”
Rangga tidak meladeni pertanyaan Reza. Pria ini lebih memilih untuk menanyakan keadaan perempuan yang ingin ia, Benicia, dan Fasha jenguk. Ini bukan saatnya membahas masalah yang menimpa dirinya. Kedatangannya sekarang adalah untuk mengetahui masalah yang tengah menimpa Reza.
“Tusukannya cukup dalam dan Thella kehabisan banyak darah. Dokter tidak bisa memastikan kapan Thella siuman. Lukanya cukup parah, Ga.”
Rangga merangkul bahu sahabatnya. “Sabar, Za. Aku yakin kau adalah laki-laki yang kuat. Kupastikan kalau dalam seminggu ini Thella belum juga siuman, aku akan menyuruh pihak rumah sakit ini untuk membuat surat rekomendasi pemindahan Thella ke rumah sakit di luar.”
“Sudahlah, Ga. Aku yakin Thella akan segera sadar. Istriku tidak harus dibawa sampai sejauh itu.”
“Sakit tetaplah sakit, Za. Ini tidak bisa dianggap remeh.”
“Aku sangat meminta do’a kalian bertiga.”
“Kami pasti do’akan, Za.” Benicia yang kali ini menimpali. Ia menyampingkan tubuhnya dan sedikit dimajukan tubuh itu agar ia dapat melihat Reza yang berada di ujung kanan.
“Terima kasih, Be.” Reza membalas dengan senyum kecil.
Kepalanya yang tadi sudah memutar untuk menatap ke arah Benicia, kini ia arahkan kembali pada pria di sebelahnya. Rangkulan Rangga di atas kedua bahunya sudah cukup membuat Reza sedikit tenang.
“Bagaimana denganmu? Apa kau sudah mengklarifikasi semuanya?”
Terdengar Rangga menghela napas sangat panjang sebelum melepas tangannya dari kedua bahu Reza. “Biarlah, aku tidak ingin mengurus masalah itu terlebih dahulu. Oh, iya! Bolehkah kita bertiga masuk ke dalam? Kita ingin melihat keadaan Thella.”
Reza menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Pemuda ini beranjak berdiri dan membahasakan tubuhnya untuk mempersilahkan tiga orang di dekatnya mengunjungi kamar rawat istrinya.
“Apa ada teman-teman kita yang sudah menjenguk Thella? Aku sudah membagikan informasi ini kepada banyak teman-teman kita.”
Reza menghentikan langkahnya yang sudah mencapai tepat di hadapan pintu. Jemarinya yang sudah bersiap ingin menjengit daun pintu, ia tarik kembali. Tubuhnya segera memutar ke arah Rangga dan Benicia yang memandanginya.
“Kenapa kau mendadak sekali berbalik? Untung saja kita tidak menabrak punggungmu.” Protes Rangga dengan pandangan sedikit kesal.
Reza menampilkan sedikit deretan giginya lalu mengusap tengkuk lehernya pelan. “Tania ada di dalam. Apa kalian siap menemuinya?”
“Tania?”
“Iya, Be. Dia ada di dalam dan berencana untuk menunggu Thella sampai malam. Apa kalian ingin melihat keadaan Thella dengan bertiga seperti ini? Emm—maksudku, aku mendapat kabar burung kalau Tania yang menyebarkan gambar-gambar itu. Apa kalian tetap menunjukkan kebersamaan kalian di depan Tania? Maaf kalau aku lancang.”
Rangga terdiam beberapa detik sebelum ia merasakan ada sebuah sentuhan lembut yang mendarat di atas bahu kirinya. Dua mata elangnya memandang dalam diam Benicia yang sudah tersenyum tipis ke arahnya.
“Masuklah! Lihat keadaan Thella. Aku dan Fasha menunggumu di luar.”
“Killa, kau dan Fasha harus ikut aku ke dalam.”
“Ada Tania, Ga. Kau tidak meng—“
“Kalian berdua harus ikut!”
“Ga, mengertilah keadaan Tania. Bukan hanya kau saja yang down, kurasa Tania juga lebih parah darimu.”
“Dia juga tidak mengerti aku, Kil.”
“Benar kata Benicia. Mungkin bisa saja Tania keadaannya lebih buruk daripada kau, Ga. Saranku, lebih baik kau saja yang ke dalam. Kau sendiri tidak apa-apa, kan tunggu di luar, Be?”
“Tidak apa-apa.”
“Ayo, Ga.”
“Sebentar, Za.”
Rangga menahan Reza yang sudah mengangkat tangannya ke arah daun pintu. Rangga membalikkan tubuhnya. Wajah itu menatap lurus ke arah wajah perempuan yang saat ini berhadapan dengannya.
“Apa kau benar-benar ingin menunggu di luar bersama Fasha? Kita bertiga bisa masuk ke dalam bersama-sama. Bukannya kau sangat khawatir dengan keadaan sahabat SMA-mu itu, Kil?”
Benicia membalas pertanyaan Rangga dengan tersenyum terlebih dahulu.
“Aku memang khawatir, tapi kalau kau cepat masuk dan memastikan keadaan Thella, itu sudah mampu menenangkan aku. Segera masuk dan beritahu bagaimana keadaan Thella setelah kau keluar.”
“Tapi—”
“Berlakulah seperti biasa pada Tania. Kau sudah membohonginya, bukan? Dia pasti sangat kecewa padamu, Ga. Kalau hatimu sudah membaik, hampiri dia dan beri dia semangat.”
“Aku tidak akan melakukan itu. Ayo, Za!”
Rangga segera berbalik dan Reza yang mengerti segera menjengit daun pintu lalu mendorongnya ke dalam.
Seorang wanita sedang duduk membungkuk di atas kursi yang berada di samping brankar. Kepala wanita itu menunduk dan terdengar beberapa kali isakan kecil. Bahunya sesekali terangkat dan kembali turun dalam waktu yang lama.
“Tan, kau menangis?” Suara Reza menghapus keheningan yang tercipta selain suara alat pendeteksi detak jantung Thella.
Dua mata elangnya dapat melihat pergerakan cepat dua tangan wanita itu di area wajahnya, sebelum kepala itu hanya memutar sembilan puluh derajat.
“Tidak.”
Bohong sekali! Batin Rangga berteriak.
Sayangnya, situasi mereka tidak mendukung Rangga untuk membuka mulut. Ia terlalu kecewa atas apa yang dilakukan oleh wanita itu. Wanita yang terlihat mengejar-kejar cintanya selama bertahun-tahun, tetapi kandas seluruhnya akibat perbuatannya sendiri. Ternyata selama ini, Tania hanya ingin menjatuhkan reputasinya di depan jutaan pasang mata masyarakat Indonesia.
Panas setahun dihapuskan hujan sehari.
Dua langkah kaki Rangga mengayun, mengikuti langkah Reza yang berada di depannya. Tampaknya suami dari Thella; sahabatnya mengarah pada sisi ranjang yang berlawanan dengan posisi Tania. Ia hanya menghela napas pelan dan tetap mencapai posisi di mana Reza sudah berdiri tegak di sana.
“Seperti inilah keadaan Thella, Ga.”
Rangga terdiam. Ia mengamati kondisi Thella dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dua mata elangnya memandang lekat-lekat pada wajah Thella yang tersaji sangat pucat, bersama alat bantu pernapasan yang menempel di mulut sampai hidungnya.
Berbanding terbalik dengan Rangga yang terlihat serius mengamati kondisi Thella, Tania justru terlihat tidak nyaman dalam posisinya. Sesekali ia membenarkan sikap duduknya dengan kepala yang terus-menerus menunduk. Tidak hanya tubuhnya yang merasa tidak nyaman, hatinya terlebih merasakan berbagai hal yang tidak bisa ia jabarkan.
Di satu sisi, Tania malu atas perbuatannya kemarin. Ia tahu ia begitu tega membongkar aib Rangga di depan publik. Padahal ia sendiri sadar, semua yang ia buka kemarin belum dapat diketahui di mana kebenarannya. Tania juga sadar kalau ia hanya mendengar dari satu sisi, ia belum mendengar penjelasan Rangga. Hari kemarin, ia terlalu dikuasai amarah.
Di sisi lain, Tania sangat kecewa pada Rangga. Bagaimana bisa Rangga dengan tega membohonginya? Apakah ada hati perempuan yang tak sakit jika melihat pria yang sudah ditunggunya bertahun-tahun, memberinya harapan yang sangat manis, namun tiba-tiba pria yang kau harapkan itu pergi dan tinggal satu atap bersama wanita lain?
Lebih parahnya lagi, Rangga terlihat sangat berbeda daripada Rangga yang biasa tampil di depan Tania. Rangga terlihat lebih hangat di sekitar Benicia dan anaknya. Dia tidak angkuh dan cenderung seperti kepala sebuah keluarga kecil. Suamiable.
Hal itu berbanding terbalik saat Rangga sedang bersama Tania. Rangga yang berada di depan Tania adalah Rangga yang terlihat dingin dan angkuh.
Sebenarnya, apa Rangga terpaksa ingin menikahinya karena sebatas menepati janji?
“Kau sudah bertemu Rafael?”
“Belum, Ga. Aku sejak kemarin di sini, menjaga Thella. Hmm, Tan! Apa kemarin saat kau kembali ke kantor, Rafael sudah kembali?”
“Dia tidak kembali setelah kejadian itu.”
“Suasana kantor segera kembali seperti biasa?”
“Ya, Rafael memang mengancam kami semua. Jika berita ini tersebar ke orang luar selain karyawan Tanubrata’s, dia mengancam akan memecat semua karyawan.”
“Rafael!” Reza sedikit menyentak suara saat mengumamkan nama itu. “Padahal kekuasaan tertinggi ada pada Papih Rully dan dirimu, kan, Ga?”
Tania sedikit mendongakkan kepalanya, memberanikan diri untuk melihat bagaimana reaksi Rangga setelah mendengar suaranya. Sebenarnya ia merasa heran pada pria itu. Dia masuk ke dalam ruangan ini dan menanyakan keadaan Thella pada Reza, namun Rangga tidak membuka suara sama sekali untuknya. Sekadar untuk menyapanya pun tidak.
Apa Rangga sudah mengetahui yang sebenarnya? Apakah sekarang Rangga sudah sangat membencinya?
Lantas, apa bedanya dengan kebohongan yang pria itu lakukan? Kenapa tidak ada penjelasan saat sekarang mereka bertemu?
“Aku ingin berbicara di luar saja, Za.”
Setelah melihat anggukan Reza, Tania kembali menundukkan wajahnya. Rangga tidak sudi melihatnya terlalu lama, ya?
Putaran jarum jam terus bergerak sempurna 360˚ secara berkala, menjadikan waktu demi waktu terlewati begitu saja sampai senja melewati malam. Di tempat yang berbeda dari di mana ia datang di ruangan tersebut, Tania masih saja duduk. Kali ini berbeda, ia duduk di atas soffa bed yang tersedia. Kursi itu diduduki oleh Reza yang lebih banyak diam.
Tidak ada pembahasan yang bisa ia mulai dengan Reza. Pemuda itu terlalu dingin dan tidak bisa diusik sama sekali aktivitasnya. Selain memainkan ponsel dan memandangi Thella—juga meladeni dokter yang memeriksa keadaan Thella—pemuda itu berbeda dari biasanya. Arda juga belum terlihat menjenguk ibunya.
Rasa bersalah semakin mengoyak hati Tania.
Suara pintu yang terdengar dibuka membuat kepala Tania memutar ke arah kiri. Dari muka pintu, muncul seorang pemuda berpakaian kantor rapih yang memasuki ruangan. Pemuda itu sempat menengok ke arahnya sebelum memandang lurus ke arah Reza yang sudah menyapa namanya terlebih dahulu.
“Maaf aku terlambat dua jam. Ada urusan kantor yang harus kuselesaikan, Za.”
“Tidak apa-apa.” Reza menghentikan ucapannya beberapa detik. Tania hanya menatap keduanya dalam diam sebelum Reza memutar tubuhnya dan kepala pemuda itu menghadap ke arahnya.
Tania menautkan kedua alisnya.
“Tan, kau pulang bersama Bisma saja, ya? Aku tidak bisa mengantarmu karena tidak ada yang menjaga Thella kalau aku pergi.”
Tania menghela napas pelan. Ia menegakkan posisi duduknya dan memandang Reza dengan pandangan sendu. “Aku pulang besok pagi saja, Za. Kalau kau ingin pulang dan memeriksa Arda, silahkan. Aku yang akan menunggu Thella.”
“Sebaiknya kau pulang, Tan. Bukan bermaksud mengusirmu, tapi kau besok kerja, kan? Aku tidak ingin kau sakit karena semalaman di sini. Arda juga sebentar lagi akan kemari bersama kedua orangtuaku. Istirahatlah.”
“Kau serius?”
“Aku serius, Tania. Jagalah dirimu baik-baik, apalagi untuk besok. Rafael kemungkinan masih mengincarmu.”
“Kau benar, Za.”
Tania beranjak berdiri. Kakinya melangkah ke arah Reza untuk mendekati pemuda tersebut kemudian menyalami tangannya sebagai tanda pamit pulang.
“Terima kasih sudah mengizinkanku untuk menunggui Thella. Sekali lagi, aku minta maaf, Za.”
“Tidak usah merasa bersalah, Tan. Ini semua ulah Rafael. Kau harus memperketat kewaspadaanmu. Mulai hari ini Rangga sudah menarik semua pengawalnya. Kau akan sendiri lagi.”
Penuturan Reza sukses membuat Tania tercengang. Buru-buru Tania melepaskan telapak tangannya dari jabatan Reza. Ia menutup mulutnya. “Kau tidak bercanda, kan?”
“Aku dapat informasi itu langsung dari Rangga tadi siang. Dia menarik semua pengawalnya. Aku juga sudah diperintah Rangga untuk tidak mengawasimu lagi.”
Tania menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dua matanya refleks berkaca dalam setiap kedipannya, bahkan semakin banyak ia melakukan itu, pertahanan air matanya semakin saja buruk.
“Za, Rangga benar-benar marah?”
Bisma tidak tega melihat keadaan wajah Tania yang sudah sangat memerah. Ia yakin, wanita itu sebentar lagi akan menangis. Tania terlihat sangat terkejut sekaligus takut. Ya Allah, rasa bersalah Bisma terus-menerus bertambah besar.
Reza menolehkan kepalanya pada Bisma yang berdiri di sampingnya. Dia terdengar menghela napas panjang. “Sangat marah. Rangga memang tidak bilang apa-apa tentang hal itu, tapi ekspresi wajah dan matanya sangat kentara, Bis.”
Reza menghentikan kalimatnya untuk menoleh kembali ke arah Tania.
“Aku dan Thella tidak tahu apa-apa tentang kejadian ini. Kemarin pagi kami berdua terkejut, apalagi saat mendapat informasi dari anak buah Papih Rully bahwa kalian berdua yang memulai semua ini. Maka dari itu, kemarin siang Thella datang ke kantor Rafael, ingin memastikannya dari mulutmu sendiri, Tan.”
“Aku tidak tahu harus berpendapat apa. Aku juga tidak sepenuhnya menyalahkan keberanianmu, Tan. Aku mengerti kekecewaanmu, kau sedikit demi sedikit mulai tahu tentang Rangga dan Benicia, bukan?”
Tania menundukkan kepalanya. Telapak tangan yang tadi menutup area bibirnya, kini dibiarkan tergeletak tak berdaya di samping tubuhnya.
“Aku tidak terima Rangga membohongiku, Za. Dia memang sudah memberitahuku kalau dia menjaga seorang perempuan, tapi dia tidak bilang bahwa perempuan itu adalah Benicia. Aku—aku hanya kesal, Rangga terlihat lebih hangat dengan mereka berdua daripada denganku. Kami sudah delapan tahun tidak bertemu, Za. Tapi waktu kami memiliki kesempatan bertemu, dia tidak seramah itu. Aku merasa kalau aku yang mengejar-kejarnya. Aku merasa kalau Rangga terpaksa ingin menepati janjinya padaku. Aku—ak—aku—“
Tania semakin menundukkan kepalanya. Isakan tangisnya perlahan mulai terdengar. “Kenapa Rangga tidak bilang yang sejujurnya saja? Aku butuh kepastian, Za. Aaa—ak—aku lelah seperti ini terus. Aku ingin bebas. Aku ingin yang terbaik dalam hidupku. Setiap detik yang aku lewati bukan hanya untuk Rangga seorang. Aku ingin mendapatkan hak-ku dalam mencintai dan dicintai.”
“Tan,”
“Jangan menyentuhku!”
Jemari yang sudah mengambang di udara itu Bisma turunkan. Dua kakinya seolah memaku di tempatnya saat ini. Tubuhnya sudah berada di samping Tania, bahkan sudah menyamping pada tubuh Tania yang menghadap ke arah Reza. Tetapi larangan yang dilontarkan wanita itu membuat Bisma lebih memilih mematuhinya, ia memutar tubuh untuk berhadapan dengan Reza.
“Aku tahu aku salah, Za.” Ujar Bisma lirih. Kepalanya sedikit menoleh ke arah Tania sebelum ia kembali memutarnya ke arah Reza.
Pandangannya berubah menjadi sendu. “Aku mengkhianati keluargaku sendiri. Tapi, banyak pertimbangan yang aku hadapi, Za. Caraku memang salah, menghasut Tania dan membawanya dalam pusaran yang semakin berkelit. Aku sadar, akulah yang pantas disalahkan.”
“Apa saja yang kau ucapkan pada Tania, Bis? Aku hafal karaktermu sejak kecil. Kau bukan tipe pria yang gegabah mengambil keputusan. Ada hal apa yang sampai membuatmu berani melakukan ini? Siapa dalang di balik semuanya?”
Reza memajukan tubuh satu langkah, mendekat ke arah Bisma. Sebelum menyelesaikan ucapannya, dua tangan Reza sudah memegang masing-masing bahu Bisma dan mengguncang tubuh sahabatnya kencang.
“Aku hanya bermaksud untuk tidak menambah penderitaan Tania, Za.”
“Itu hanya persepsimu, Bisma! Nyatanya, semua ini bertambah rumit!”
“Tania, tenangkan dirimu.”
“Bagaimana aku bisa tenang, Reza?!! Kau tahu, hatiku sakit setelah menyadari semuanya! Akulah penyebab karier Rangga menjadi buruk sebentar lagi! Aku mengecewakan keluarganya! Aku tidak punya wajah lagi di depan anggota keluarganya. Aku bodoh sekali!”
“Tania, kau harus menyelesaikan semua ini dengan kepala dingin. Lagian, masalah ini menjadi pelajaran untuk kalian berdua.”
Reza memandang sendu pada dua orang di depannya. Tania sudah menangis terisak dan Bisma sudah menunduk dalam. Ia memang tidak terlalu mengerti apa yang terjadi karena ia sendiri hanya mendapat laporan dari ayahnya. Namun, dua orang dibalik kekacauan Keluarga Soekarta saat ini adalah orang-orang terdekatnya. Bahkan salah satu pelaku tersebut adalah bagian dari keturunan Soekarta sendiri. Satu pelakunya lagi adalah orang yang sudah dipercaya akan menjadi bagian dalam kerabat keluarganya itu. Ya, walaupun entah kapan.
“Lebih baik aku pulang naik taksi saja. Permisi.”
“Tania, ini sudah malam.”
“Tan! Tania!”
“Kejarlah, Bis. Aku takut terjadi sesuatu.”
“Aku pulang, Za.”
“Hati-hati.”
Balasan Reza atas ucapan pamitnya terdengar setelah ia melewati muka pintu ruang rawat Thella. Kakinya segera berlari untuk mengejar langkah cepat Tania yang berada di depan.
Tidak memerlukan waktu sampai satu menit, tangannya sudah bisa menggamit telapak tangan Tania. Bisma menyeret wanita itu untuk melangkah bersamanya secara beriringan.
“Lepas! Aku ingin pulang sendiri!”
“Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendiri, Tania.”
“Apa pedulimu, Bis? Kau sudah berhasil memporak-porandakan hidupku. Kelakuanmu tidak jauh berbeda dengan Rafael!”
“Tan, aku bisa menjelaskan dari awal bagaimana semua ini aku lakukan.”
“Aku tidak ingin mendengarnya!”
“Pulanglah bersamaku. Kau tidak ingin Tante Sara dan Om Darma mengkhawatirkanmu karena kau naik taksi malam-malam seperti ini, bukan?”
“Bis—“
“Kalau kau masih juga menolak, aku tidak segan-segan mengangkatmu sampai kau duduk dalam mobilku.”
Tania langsung mendelik tajam. “Terserah!”
Bisma tersenyum kecil melihat perawakan mungil Tania yang melangkah cepat di depannya. Ia tahu, Tania tidak akan tetap keras kepala untuk meminta pulang seorang diri. Tania sangat memahami sifatnya, apalagi kalau sudah mengancam.
Terkadang Bisma merasa beruntung memiliki jiwa pemaksa yang turun-temurun mengalir dalam darah setiap anggota keluarga besarnya. Walaupun ia tahu, kondisi hubungannya dengan Tania sedang tidak baik.
Tidak ada yang mereka lakukan selama dalam perjalanan selain suara deru mesin yang menyala. Tania lebih memilih diam sambil menengok ke arah samping, memandangi situasi jalanan di luar mobil yang sedang keduanya tumpangi.
Bisma tidak tahan. Ia juga sudah berjanji untuk menjelaskan dari awal bagaimana semua ini tega ia lakukan pada Tania. Bisma tidak memikirkan waktu dan tempat yang tidak tepat untuk menjelaskan semuanya, yang saat ini wanita itu butuhkan adalah penuturannya yang lengkap, agar wanita itu tidak menghakiminya bahwa ialah terdakwa yang paling bersalah.
“Tan,”
“Aku tidak menyangka kalau kau bisa sejahat ini, Bis.”
“Kau dengar penjelasanku, Tan. Sebenar—“
“Aku tidak ingin mendengar apapun! Kau pasti ingin membela dirimu.”
“Tidak! Aku mengakui kalau aku salah. Semua ini aku lakukan karena kurasa lebih baik aku yang memberitahumu langsung daripada Rafael. Dia jauh lebih sadis daripada caraku.”
“Tapi kau yang mensiasati semuanya! Kau yang mengajariku bagaimana caranya memperburuk nama Rangga di depan publik, Bis. Apa maksudmu, hah?! Kau diam-diam dendam pada Rangga? Atau kau masih tidak terima karena aku menolakmu?”
“Hei, aku tidak sepicik itu!”
“Lantas, apa itu cara yang pintar?”
“Kau tidak mengerti keadaanku waktu itu, Tan. Aku tahu, sekarang kau lebih memikirkan Rangga, bukan?!”
“Kau juga tidak mengerti keadaanku dan Rangga!”
“Apa kau juga memikirkan aku, heh?! Aku cemburu dengan caramu selalu memikirkan Rangga dan Rangga terus-menerus, kau tahu?!”
“Bisma! Aku belum pernah tahu perasaanmu kalau kau tid—“
“Aku ingin kau baik-baik saja, Tan.”
“Apanya yang baik? Ini semua semakin buruk!”
“Tania, Rafael mengancamku akan—“
“Sudahlah! Aku ingin turun di sini. Sekarang!”
“Tidak, Tan. Ini masih jauh dari rumahmu.”
“Aku tidak main-main, Bisma! Kau turunkan aku sekarang juga atau aku akan turun walaupun mobil ini tidak berhenti.”
Bisma membulatkan kedua matanya saat ia melihat sendiri kalau tangan Tania sudah bersiap untuk membuka pintu mobilnya. “Tania, kau jangan gila!”
“Turunkan aku, Bisma!”
Bisma segera menepikan mobilnya. Dalam hitungan beberapa detik, pintu di sampingnya sudah di tutup dan keheningan menyapa keadaan mobil pribadinya. Ia memandang lurus di mana wanita yang baru saja turun dari mobilnya itu sudah mengayunkan langkah satu demi satu menjauhi kendaraannya.
Bisma menghela napas gusar dan segera menyalakan mesin mobil. Dengan mengemudikan mobilnya perlahan dan menyusuri tepi trotoar, ia melajukan mobilnya tepat di sebelah tubuh Tania yang berjalan lunglai.
“Tan, pulanglah bersamaku. Kumohon.”
“Pergilah!”
Bisma menghela napas pelan sebelum ia menutup kaca jendela mobilnya. Dengan sangat tidak rela, ia meninggalkan Tania seorang diri di jalanan.
Tania memandang lurus pada bagian belakang mobil Bisma yang sedikit demi sedikit hilang dari jangkauan matanya. Tania menghela napas dalam sambil mengayunkan kakinya pelan. Pikirannya tidak bisa terlepas dari tanggapan Rangga saat menjenguk Thella tadi siang.
Pria itu tidak banyak mengeluarkan suaranya. Jangankan untuk berbincang tentang masalah yang sudah ia buat atau sekadar mengeluarkan kata ‘Hai!’ padanya. Raut wajah pria itu saja sudah terkesan keras dan tidak suka akan keberadaanya yang dekat dengan pria itu.
Rangga juga meminta Reza untuk mengobrol di luar saja.
Kalau sudah seperti ini, apa yang harus ia pertahankan? Rangga saja sudah kecewa dengannya. Jangan mengharapkan perasaan Rangga yang masih dapat ia miliki sepenuhnya atau tidak. Yang dekat-dekat saja, apa Rangga akan memaafkannya?
###

“Papih, bagaimana ini? Wartawan bahkan memenuhi koridor. Para tetangga appartement sudah banyak yang protes, security sulit menahan mereka. Aku bingung, Pih.”
“Kau keluar saja, nak. Beri penjelasan sedikit agar mereka puas. Kalau perlu, kau jelaskan saja semuanya biar cepat kelar.”
“Kalau aku menjelaskan pada mereka, yang ada mereka semakin memancingku. Aku tidak ingin asal-asal membuat pernyataan.”
“Ya sudah, balas sedikit saja pertanyaan mereka lalu kau usir mereka. Papih akan kirimkan pengawal untuk berjaga di sana.”
“Benicia tidak mau ada pengawal seperti itu, Pih.”
“Lantas, bagaimana? Kau sendiri yang bingung.”
“Ah, Papih! Ini membuatku sangat pusing! Pihak appartement sudah menyuruhku untuk mengatasi para wartawan itu.”
“Lekaslah keluar dan balas seadanya. Pinta mereka pelan-pelan untuk meninggalkan appartement-mu. Bilang saja, dua hari lagi kita akan mengadakan konferensi pers.”
“Papih serius?”
“Aku tidak pernah main-main, Rangga. Besok kita semua harus berkumpul, aku sudah menginformasikan acara ini pada keluarga besar kita dan pihak Keluarga Benicia. Besok Papih akan ambil penerbangan pertama bersama pihak Benicia. Papih juga sudah bilang pada Keluarga Tania agar mereka tahu yang sebenarnya dan tidak salah paham, namun mereka menanggapi papih kurang baik.”
Kenapa aku yang diberitahu terakhir, Pih?”
“Masih ada Tania dan Bisma yang belum tahu tentang acara besok.”
“Jangan sebut nama mereka berdua!”
“Jangan seperti itu, ini juga salahmu!”
“Ah! Sudahlah, Pih! Aku akan—“
“Kalau besok pihak Keluarga Tania tidak ada yang datang satu orang pun, Papih dan Mamih tidak bisa menjamin bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Tania.”
“Aku tidak memikirkan lagi hubunganku dengan wanita itu!”
“Hei, ingat anakku! Dugaan Papih dan Mamih tidak pernah meleset! Kau boleh sangat marah dan kecewa dengan kekasihmu itu, kami juga sebenarnya kecewa, tap—“
“Dia bukan siapa-siapa Rangga.”
“Terserah kau, anakku. Jangan pernah menyesal jika akhirnya Tania lepas dari genggamanmu. Kami akan tertawa paling keras jika anak kami satu-satunya mengemis darah pada Tania. Lihat saj—“
“Papih!”
“Kami akan hasut wanitamu itu untuk tidak menerimamu lagi, kalau perlu aku jodohkan dengan Bisma. Tania sangat mudah dipengaruhi.”
“Tolonglah. Kalau aku menutup panggilanmu sepihak, aku berdosa.”
“Ya sudah, cepat atasi masalahmu.”
Rangga menghela napasnya sesaat sudah menjauhkan ponsel dari telinganya. Rangga membuang muka ke kanan, menekuk wajahnya kesal, namun ia tidak menunjukkan ekspresi itu di depan Benicia dan Fasha yang sejak tadi memandanginya.
Rangga menipiskan bibir bawahnya, berusaha mengendalikan kepenatannya saat ini.
“Papih bilang aku harus keluar dan menjawab sedikit pertanyaan mereka.”
“Lakukan saja perintah Papihmu. Sudah banyak yang protes, Ga.”
Rangga beranjak berdiri lalu melangkah ke arah pintu. Ia mengumpulkan napas yang sangat banyak sebelum menghembuskannya secara perlahan. Setelah merasa siap, Rangga segera menarik daun pintu.
Tamparan cahaya blitz dan suara jepretan kamera memenuhi kedua gendang telinganya. Suara banyak manusia di depannya segera saling sahut-menyahut kencang. Baru saja berdiri beberapa detik di muka pintu, Rangga sudah merasa sakit kepala.
“Tolong jangan saling dorong dan saya mohon bersabar. Saya akan berusaha menanggapi pertanyaan kalian sebisa saya.”
Para pencari berita tersebut seketika menciptakan suasana hening yang kompak. Tamparan sinar kamera dan juga suara-suaranya masih dapat didengar, namun suara si pemegang benda tersebut sudah hilang.
Rangga sedikit bernapas lega.
Pandangannya beralih pada belasan mikrofon yang tersaji di depan dadanya. Hanya sebentar menatap benda-benda itu, Rangga kembali memandangi wajah-wajah para wartawan yang sangat gigih sekali menunggu klarifikasi langsung darinya.
“Apakah orang yang ada di dalam foto itu adalah Mas Rangga?”
“Benar, itu adalah saya.”
“Apa appartement ini lokasinya, Mas?”
“Benar sekali. Ini adalah appartement saya.”
“Lantas, siapa perempuan yang bersama Mas Rangga? Apa dia adalah kekasih anda dan anak itu adalah anak anda?”
“Apakah Mas Rangga diam-diam sudah berkeluarga? Atau gosip yang beredar kalau Mas Rangga mempunyai hubungan terlarang itu benar adanya?”
Rangga segera memandang tajam ke arah seorang perempuan setengah baya yang berdiri sedikit di belakang. Pertanyaan kedua yang terlontar dari mulut wartawan itu berhasil merayapkan sebuah kobaran api yang membakar dadanya secara cepat.
Dua matanya segera menatap tajam para wartawan yang justru menganggukkan kepala mereka saat pertanyaan itu terucap.
Sialan! Berita bualan apa saja yang disebarkan Bisma dan Tania?
“Saya tegaskan! Saya belum pernah menikah dan sekarang saya tidak terlibat dalam hubungan terlarang apapun! Berita yang beredar di seluruh media manapun saat ini adalah bohong! Saya tekankan, itu tidak benar adanya.”
“Apa anda sudah mengetahui siapa yang mengedarkan foto-foto anda? Langkah apa yang akan anda tempuh untuk mengusut pelaku?”
“Saya tidak ingin berkomentar tentang hal itu. Sudah, kan? Saya mohon tinggalkan appartement saya dan hargai privasi saya. Kasihan dengan para penghuni yang lain, mereka sangat terganggu.”
“Apa anda tinggal bersama perempuan dan anak itu?”
“Anda menikah di bawah tangan dengan perempuan itu?”
“Anak itu adalah hasil hubungan terlarang anda dengan perempuan itu?”
“SAYA BELUM PERNAH MENIKAH SECARA SAH DI MATA NEGARA DAN AGAMA ATAUPUN MENIKAH SAH SECARA AGAMA SAJA. TOLONG KALIAN PERGI DARI SINI!”
“Tolong klarifikasikan tentang anak itu, agar tidak menjadi berita yang memperburuk nama anda sendiri, Pak Rangga.”
“Dia, anak saya!”
“Pak Rangga, lantas—”
“Pah,”
Rangga mengalihkan pandangannya saat ia merasa ada genggaman lemah di telapak tangannya yang sudah mengepal kencang. Bola matanya segera meneduh ketika melihat wajah nan polos yang ditampilkan Fasha, anak kecil yang sedari tadi dipertanyakan secara terus-menerus oleh para pencari berita.
Keteduhan tatapannya tersebut hilang saat ia menatap wajah Benicia yang hanya muncul di balik pintu. Rangga menatap tajam ke arah Benicia, yang dibalas tatapan sendu oleh perempuan itu.
Rangga segera menggenggam telapak tangan mungil Fasha dan menyembunyikan tubuh Fasha di belakang tubuhnya. Ia memberi kode pada Fasha agar kembali masuk ke dalam appartement dengan mendorong pelan tubuh kecil itu.
Rangga kembali menolehkan kepalanya pada awak media yang semakin gila menggunakan kamera, berusaha menangkap gambar tubuh Fasha dengan alat mereka.
“Saya dan keluarga besar saya akan menggelar konferensi pers dua hari lagi. Waktu dan tempat akan diinformasikan oleh juru bicara keluarga kami. Silahkan kalian pulang dan siapkan pertanyaan yang mampu mengupas tuntas rasa penasaran kalian. Permisi.”
“Terima kasih, Pak Rangga.”
“Satu lagi, saya mohon hilangkan rekaman bagian anak kecil tadi. Kalau saya dapat laporan tentang hal itu, saya tidak segan-segan melakukan sesuatu pada redaksi kalian.”
“Siap, Pak Rangga!”
Mendengar suara mantap dan beberapa suara gemetar yang dikeluarkan oleh para awak media, Rangga segera masuk kembali ke dalam appartement. Tubuhnya berbalik, ia dapat menangkap keberadaan Benicia dan Fasha yang berada beberapa langkah di depannya.
“Killa, apa yang kau lakukan tadi?!” Sentak Rangga cukup kencang.
Benicia hanya memejamkan sebentar kedua matanya sebelum ia kembali membuka pejaman itu. “Aku takut kau hilang kendali, Ga.”
“Kenapa harus Fasha yang keluar? Dia masih kecil, Kil! Bagaimana kalau dia jadi korban para pencari berita itu? Killa! Kecerobohanmu itu!”
“Maaf, Ga. Aku minta maaf.”
“Argh!” Rangga menjatuhkan tubuhnya di soffa. Ia menjambak rambut di atas telinga kanan dan telinga kirinya kencang. “Jangan pernah kau ulangi lagi!”
“Baiklah. Hmm—Ga, terima kasih untuk tadi.”
Dengan wajahnya yang kusut, Rangga menoleh ke arah Benicia yang sudah duduk di sebelahnya beserta Fasha yang hanya diam di pangkuan ibundanya. “Terima kasih? Untuk apa?”
“Terima kasih karena telah mengakui Fasha sebagai anakmu. Aku begitu terpukau atas pengakuanmu tadi, Ga.”
Rangga menegakkan duduknya. Ia tersenyum tipis pada Benicia. Dua matanya beralih pada Fasha yang diam-diam menatapnya. Rangga mengangkat salah satu telapak tangannya kemudian mengusap puncak kepala Fasha.
“Tentang hal itu.. Aku memang sudah menganggap Fasha seperti anak kandungku sendiri.”
“Aku sangat berterima kasih, Ga. Di saat ayahnya tidak mengakui Fasha, kau selalu ada sebagai sosok ayah untuk anakku. Maaf kalau aku selalu merepotkanmu.”
Rangga kembali menoleh pada Benicia. Pria ini dapat melihat dinding bening yang melapisi bola mata berwarna coklat milik perempuan di sebelahnya.
Rangga mengalihkan telapak tangan yang berada di puncak kepala Fasha menjadi di atas bahu kiri Benicia. “Tidak perlu berterima kasih. Aku tidak merasa direpotkan.”
“Tapi, Ga—Hks, Rafael saja tidak pernah sekalipun berniat memantau anaknya. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana perasaan anakku sendiri.”
“Ssstt, sudahlah kau tidak perlu menangis. Ada Rangga, Kil. Aku akan selalu bersama kalian, menjaga kalian semampuku, sampai ada seseorang yang menggantikan tugasku.”
“Maafkan aku, Ga. Aku membuat hidupmu semakin berantakan karena kehadiranku. Aku minta maaf. Aku belum bisa membalas semua kebaikanmu.”
“Jangan menangis.”
Rangga menarik Benicia dalam dekapannya. Ia menaruh kepala perempuan itu di atas bahu kanannya lalu memeluk kepala itu erat. “Aku tidak pernah suka kau menangis karena kesedihan hidupmu. Percayalah, semua akan bahagia pada akhirnya, Kil. Kita harus berusaha meluruskan semua masalah ini.”
“Kau sangat tegar. Karena aku, hubunganmu dengan Tania sudah di ambang kehancuran. Semua ini karena kehadiranku.”
Rangga terdiam. Ia memilih menenggelamkan wajahnya pada kepala belakang Benicia, membenamkannya pada rambut Benicia dengan sesekali mengecup bagian itu.
“Kebahagiaan kalian adalah kebahagiaanku.”
Benicia semakin terisak dalam pelukan Rangga.
Rangga memejamkan kedua matanya dan tidak terlalu mengeratkan pelukannya, karena ia tahu ada Fasha yang berada dalam pangkuan Benicia.
“Pah,”
Rangga segera melepas pelukannya dari Benicia. Tubuhnya sedikit merunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Fasha.
Wajah anak itu sudah sangat memerah.
“Fasha janji, Pah. Fasha tidak akan jadi anak yang nakal. Papah Rangga adalah papah satu-satunya buat Fasha. Tidak ada papah yang lain. Fasha sayang sama Papah.”
Pertahanan Rangga hancurlah sudah. Air mata kini mulai menuruni kedua pipinya. Dengan penuh kasih sayang, Rangga mengecup kening Fasha kemudian kedua pipi tembam anak itu bergantian. Sesudah itu, Rangga segera mengambil Fasha dari pangkuan Benicia. Ia yang memangku Fasha di atas kedua pahanya lalu memeluk Fasha erat.
Rangga mendekap erat Fasha di atas dadanya. “Papah Rangga juga sangat sayang sama Fasha. Jadi anak yang berbakti untuk orangtua Fasha, ya.”
“Kalau Papah Rangga nanti menikah dengan Mamah cantik, jangan lupakan Fasha dan Mamah, ya?! Fasha ingin tetap dekat dengan Papah Rangga.”
“Pasti, sayang. Pasti!”
“Rangga, perbaikilah hubunganmu dengan Tania. Kumohon, ini hanya kesalah-pahaman. Kau harus segera meluruskan semuanya.”
Rangga mengangkat sedikit kepalanya, memandang Benicia dengan kedua mata yang sudah banjir dengan air mata. Bibir Rangga terlihat bergetar saat ia membukanya untuk menjawab ucapan Benicia.
Dua matanya memejam sesaat air mata itu semakin banyak menggenangi pelupuk matanya. Sembilu yang amat memilukan seperti menohok hatinya sangat dalam. Tidak ada bagian manapun yang terasa baik-baik saja. Semuanya terasa sakit, semua bagian itu mengerut perih.
Rangga membuka pejamannya. Dia menjawab saran Benicia dengan suara bergetar. “Tania begitu jahat padaku, Kil.”
Benicia merasakan kedua matanya kembali mengaliri cairan bening itu. Sanubarinya begitu pilu saat melihat Rangga kembali menunduk untuk memeluk putranya. Pria yang selalu siap-sedia melindunginya dan Fasha, kini terlihat luluh-lantah tak berdaya karena kekecewaan itu.
Ia harus berbuat apa? Bagaimana cara yang tepat untuk mengembalikan hubungan Rangga dan Tania yang terlumur kekecewaan yang menguat?





To be continued

No comments:

Post a Comment