“Mau tidak mau, kau harus menikah dengan Benicia!
Apapun bentuk penolakanmu, Rafael!
“Kenapa kalian memaksaku? Aku punya hak untuk memilih
pasangan!”
“Kau harus bertanggung-jawab! Kau lupa kalau sudah
punya anak?”
“Opa, aku tidak mau dengan dia!”
Rangga mengurut pelan keningnya sambil memejam sesaat.
Di awal pertemuan keluarga yang dihadiri lengkap oleh orang-orang di
sekitarnya, perdebatan sudah dimulai sengit. Padahal setelah sekian lama
masing-masing di antara mereka memiliki kesibukan yang padat, keluarga besarnya
kembali bisa berkumpul seperti sekarang.
Namun berkumpul di hari ini bukanlah sebuah musyawarah
untuk mencapai kata mufakat, justru terlihat seperti adu otot yang berujung
siapa yang babak-belur. Rangga tidak ikut mengeluarkan suara sampai perdebatan
itu sudah berlangsung bermenit-menit, bahkan kedua orangtuanya selaku pemimpin
perusahaan keluarga juga tidak mengeluarkan suara.
Beda sekali dengan Bisma dan kedua orangtuanya,
nenek-kakeknya, pihak perwakilan Keluarga Benicia, serta ibunda Rafael, mereka
saling bersaing dengan pendapat yang seolah paling bagus di antara pendapat
yang lain. Suara-suara itu mempunyai maksud; apa yang mereka inginkan harus
segera dilaksanakan oleh pihak yang menjadi sasaran babak-belur; Rafael.
Rangga memutar bola matanya, bermaksud untuk melihat
keadaan perempuan yang sedang diungkit-ungkit agar segera
dipertanggung-jawabkan oleh sepupunya sendiri.
Orang yang Rangga cari berada di soffa yang
bersebrangan dengannya. Dia duduk bersama beberapa anggota keluarganya yang
sudah mencak-mencak sejak tadi. Hanya keluarganya, karena perempuan itu tidak
berani memandang ke arah manapun. Dia tetap menundukkan wajah.
Hati Rangga dicubit kencang melihat bagaimana posisi
Benicia dalam perdebatan saat ini. Orang yang seharusnya bertanggung-jawab atas
segala yang dialami perempuan itu, justru menolaknya secara mentah-mentah.
Setidaknya menurut Rangga, kalau saja Rafael tidak ingin bersama Benicia,
sepupunya itu bisa sedikit saja memperhatikan putranya; Fasha.
Rangga bisa merasakan pedihnya hidup yang dijalani
Benicia, seorang orangtua tunggal.
“Kalian tidak bisa menghakimi putraku!”
Sentakan keras Nila; ibunda Rafael membuat setiap
orang mengalihkan pandangan. Perempuan paruh baya itu sudah beranjak berdiri
dengan jarinya yang menuding, diputar ke arah masing-masing orang yang duduk di
sekitarnya.
“Mamih mohon, kau jangan ikut campur dengan urusan
anakmu! Dia sudah dewasa, Nila! Dia juga berhak melangkah sesuai keinginannya
sendiri.”
Rangga memutar bola matanya ke arah soffa yang
hanya bisa diduduki dua orang, di mana kedua posisi tersebut ditempati oleh
nenek dan kakeknya yang sudah berumur senja. Kedua wajah itu terlihat sekali
sangat lelah, padahal seharusnya mereka tidak boleh berpikir keras semacam
sekarang. Ini adalah urusan anak-anak dan cucu-cucunya.
“Mamih dan Papih memang tidak pernah memihakku!”
“Nila! Duduk!”
Rangga mengetahui suara siapa yang berteriak tegas
barusan. Pemiliknya adalah kakak pertama bagi ibunda Rafael, yang merupakan
ayahnya sendiri. Bola matanya kembali memutar, kali ini memandang bergantian
antara ayahnya dan tantenya yang sedang berkacak pinggang.
“Kau diam saja, Rully! Belum puas kau merebut banyak
harta dari keluarga ini dan memecat putraku dari perusahaan, hah?!”
“Untuk pemecatan anakmu, aku memiliki pertimbangan
sendiri. Duduklah, kita sedang merancang bagaimana konferensi pers besok.”
“Kalau aku tidak mau, kau ingin apa?”
“Nila!”
“Om! Jangan banyak perintah Mamah aku, ya!”
Rangga menelan salivanya kasar. Rafael sudah
mengeluarkan suara menggelegar, padahal sebelum itu dia hanya bersuara datar,
walau sangat jelas kedua rahangnya mengeras penuh emosi.
Rangga hanya bisa berharap bahwa ia tidak terpancing
emosi dalam rapat keluarga yang seharusnya dilewati dengan kepala dingin.
“Om seperti ini karena ibumu keterlaluan, Rafael!”
“Benarkah? Bukannya Om yang keterlaluan? Om sudah
menghancurkan keluarga ini! Lagian untuk urusan besok, aku tidak ikut terlibat
di dalam masalahnya. Itu ulah anak Om sendiri!”
“Tapi kau dalang di balik semuanya, Rafael! Kau harus
sadar!”
Bisma sudah berdiri tegak dengan jari telunjuk
menuding pada Rafael yang masih duduk santai bersilang kaki. Kedua mata
bulatnya semakin membulat tajam dan memerah. Bisma terlihat siap menelan Rafael
hidup-hidup.
“Aku tidak melakukan apa-apa! Kau dan Tania yang
melakukannya!”
“Semua ide licik itu darimu!”
“Aku hanya memberi ide, kenapa kau ingin
melakukannya?”
“Kau mengancamku, keparat!”
“Sudahlah, Rafael! Kau jangan menjadikan anak Om Karya
sebagai pelarian kesalahanmu! Mengaku saja, kau takut melakukannya sendiri.”
“Aku tidak takut! Untuk masalah seremeh itu, aku tidak
ingin mengotorkan tanganku sendiri!”
“Kalau masalah itu seremeh yang kau bayangkan, berarti
otakmu bodoh, Raf! Kau yang mensiasati segalanya, berarti idemu jauh di bawah
rata-rata!”
“Bisma, kalau ideku jauh di bawah rata-rata, mengapa
nama Rangga begitu tercoreng di media? Kenapa juga rapat keluarga bisa
dilakukan sekarang?”
“Kau—”
“RAFAEL!”
Sebuah suara teriak terdengar dari arah soffa
yang diduduki kakek-nenek yang berumur senja. Semua kepala menoleh, menatap
siapa yang berteriak dengan tatapan berbagai macam.
Daniel—Kakek Rangga—terlihat mengambil napas pendek
secara berulang. Mata elangnya menajam, di mana mata tersebut turun-temurun
dimiliki sampai ke anak-cucunya.
Aroma mengintimidasi terasa di atas kulit, menyusuri
rambut-rambut halus yang perlahan berdiri karena aura mencekam.
“Kau suka ataupun tidak, keluargamu setuju ataupun
tidak, kau harus menikahi Benicia! Jhoni, kuharap diam-mu daritadi adalah
setuju. Satu lagi, kendalikan keegoisan putriku yang juga istrimu! Ajari
caranya bertanggung-jawab pada cucuku Rafael! Mereka sepasang ibu dan anak yang
berpikiran pendek!”
“Opa!”
“Papih!”
“Baiklah, Papih. Jhoni akan lakukan amanah Papih.”
“Papah! Apa maksud, Papah? Rafael tidak ingin menikahi
Benicia!”
“Rafael! Kau laki-laki yang seharusnya gentleman
dan bertanggung-jawab! Sejak kau kecil, Papah tidak pernah mengajarkanmu
sepicik itu!”
“Papah—“
“Kau masih menganggapku ayahmu, bukan?!”
“Jhoni! Aku tidak setuju dengan keputusanmu!”
“Nila, sudah cukup kau terus mengukung Rafael dalam
kemauanmu! Kau hasut terus anak kita dengan pikiran-pikiran sempitmu! Kalau kau
masih menganggapku suamimu, kau harus patuh dengan keputusanku!”
Rangga melihat wajah penuh amarah tertahan yang
ditunjukkan oleh Rafael dan Tantenya setelah mendengar sentakan emosional dari
Jhoni. Dilihat dari setiap inch wajah pamannya, Rangga bisa melihat
emosinya sangat kentara besar, namun berusaha ditahan oleh pamannya itu.
Satu kalimat yang muncul dalam benak Rangga setelah
melihat tanggapan Jhoni; Paman berbeda dari Rafael dan Tante Nila.
“Rangga! Kau senang membuatku hancur, heh?! Ini, kan
tindakan balas dendam yang kau lakukan atas semua yang kuperbuat pada Tania?
KAU SUDAH PUAS?!”
Rafael beranjak berdiri, memandang tajam ke arah
Rangga yang sudah menegakkan tubuhnya yang duduk. Pandangan Rangga bertemu
dengan bola mata Rafael yang sangat memerah, menunjukkan seolah ia yang paling
bersalah atas tudingan-tudingan yang dilontarkan oleh anggota keluarganya yang
lain.
“Orang bersalah biasanya akan marah jika ketahuan
belangnya. Kau harus menanggung resiko perbuatanmu! Aku saja tidak semurka itu,
padahal kau sudah menjelek-jelekkan namaku di depan orang-orang yang
mengenalku. Gunakan otakmu, Rafael!”
“KAU!!”
Tidak disangka, Rafael segera berlari untuk mencapai
Rangga. Ia tarik kerah kemeja Rangga dengan sangat kuat. Akibat tarikan
tersebut, Rafael mampu mengangkat tubuh Rangga sampai tegak berdiri di
hadapannya.
“Aku bersumpah! Aku akan menghabisimu dengan caraku
sendiri!”
“RAFAEL! KAU INGIN APAKAN ANAK TANTE?!!”
Rangga tidak takut akan apa yang Rafael tengah lakukan
padanya, sekalipun di detik selanjutnya Rafael akan meninjunya keras. Namun
melihat ibundanya yang beranjak berdiri dan berusaha melepas cekalan Rafael di
leher kemejanya, Rangga dilanda khawatir. Ia takut ibunya akan terkena imbas
amukan Rafael.
Rangga berusaha melepas cekalan erat Rafael sambil
melemparkan pandangan membunuh. “Selesaikan di luar rumah kalau kau ingin
kubuat babak-belur!” Desis Rangga.
Ia melemparkan senyuman miringnya di depan wajah
Rafael yang semakin terbakar amarah.
“Kau menantangku?” Sahut Rafael penuh penekanan.
“RANGGA! RAFAEL!”
Yudith—ibunda Rangga—semakin berusaha melepas
cengkraman jemari Rafael di pakaian anaknya. “APA KALIAN TIDAK INGIN MEMISAHKAN
MEREKA?!” Teriak Yudith sambil memandangi suami dan sanak saudaranya.
Rangga melepas paksa cengkraman Rafael sampai tangan
kokoh itu terhempas dari kemeja yang ia kenakan.
Ia segera menghampiri ibunya lalu merangkul kedua bahu
Yudith. Rangga membawa ibunya kembali duduk di posisinya. “Rangga tidak apa-apa,
Mih. Jangan menangis, ya?”
Rangga tersenyum. Ia menghapus bulir-bulir air mata
yang turun dari kedua mata perempuan yang sudah mengandungnya selama sembilan
bulan. Perempuan tersebut lalu melahirkannya dengan bertaruh nyawa. Dialah
Yudith, ibu kandungnya.
“Kalau Mamih menangis, Rangga ikut sedih. Percaya sama
Rangga, ya?”
“Tapi kau sudah diancam seperti itu, Ga. Mamih takut.”
“Drama sekali!”
Umpatan Rafael berhasil membuat Rangga melunturkan
tangan Yudith dari salah satu pipinya. Ia kembali berdiri tegak lalu memandang
Rafael dengan pandangan dingin.
“Hatimu memang sudah ditutupi aura hitam, tidak bisa
membedakan di mana drama dan di mana kenyataan.”
Rafael tidak membalas perkataan Rangga. Ia
menyunggingkan senyum sinisnya.
“Kalau kau tidak mau menikahi Benicia, biar aku saja
yang menikahinya.” Rangga menatap tegas ke arah Rafael yang langsung
membulatkan kedua matanya.
Ia rasa, tidak hanya lelaki di depannya yang terkejut,
karena Rangga bisa merasakan setelah ucapannya terlontar, hawa magis segera
mengisi ruangan sampai berhasil menyentak pori-pori kulit.
“Aku serius.” Tambahnya.
“Rangga menikahi Benicia. Berarti—aku bisa lebih
leluasa untuk memperlakukan Tania sesuka yang aku rencanakan.”
“Apa kau bilang?!”
Rangga merasakan sebuah tabuan genderang emosional
yang langsung mencapai level tertinggi di dalam hatinya. Rafael mengucapkan
ancaman tersebut dengan suara yang tidak main-main. Dan di posisi Rangga, ia
juga merasa kalau amarahnya tidak dapat ia tahan lagi.
Pikiran Rangga kini berkecamuk, otaknya terus
mempertanyakan bagaimana kondisi wanita yang namanya baru saja disebut Rafael
dengan nada mematikan.
Tania baik-baik saja, kan?
“Menghancurkan Tania sesukaku! Apa urusanmu? Kau
harusnya mengurus Benicia saja, biar aku yang mengurus Tania mulai sekarang.”
“Rafael! Sekalipun Rangga tidak mengurusnya lagi, aku
yang akan melindunginya. Kau jangan pernah menyentuhnya lagi, sialan!”
Bisma sudah berdiri tegak saat bentakannya menggelegar
ke setiap sudut ruangan. Telunjuk Bisma bahkan sudah menuding ke arah Rafael.
Rafael menyunggingkan senyum separuhnya bersama aura
iblis sejati yang melingkupinya. Kepala pemuda ini menengok beberapa derajat ke
arah Bisma.
“Ouh! Sepertinya wanita itu dilindungi oleh dua pria yang
sama-sama mencintainya. Tapi kasihan sekali kau, Bisma. Cintamu ditolak
mentah-mentah hanya karena pria di depanku, yang justru lebih memilih wanita
beranak satu.”
“SETAN KAU, RAFAEL! AKU MELINDUNGINYA KARENA DIA PATUT
DILINDUNGI!”
“Bisma!”
“Lepaskan aku, Ayah! Aku ingin meninju dia sampai
mampus!”
“Rafael! Cukup! Kau jangan mempermalukan aku sebagai
Papahmu! Aku selalu mendidikmu bukan untuk seperti sekarang!”
“Papah, diamlah! Rafael sedang berurusan dengan dia,”
Rafael menyentuhkan salah satu telapak tangannya di
atas tulang selangka Rangga. Seolah membersihkan sesuatu dari sana, telapak
tangan Rafael mengibas-kibas, seolah menyapu di atas kain kemeja Rangga selama
beberapa detik.
Ia memandang Rangga nyeleneh. “Tania di
tanganku mulai sekarang.”
BUGH!
“Kita selesaikan di luar!”
Rangga mencengkram keras pakaian Rafael di bagian
dada. Dalam keadaan tertarik, Tubuh Rafael terseret begitu kencang mengikuti
tarikan Rangga yang begitu kuat pada pakaiannya.
Baru beberapa langkah, Rafael segera menghempaskan
tangan Rangga agar cengkramannya terlepas. Tubuh Rangga segera berbalik dan
mendorong tubuh Rafael sambil melepas tarikannya dari pakaian sepupunya itu.
“Kau bilang sekali lagi kalau Tania berada di
tanganmu.” Tutur Rangga datar. Masing-masing tangannya sudah berada di setiap
sisi kanan dan sisi kiri tubuhnya.
“Untuk apa? Apa ucapanku tadi belum jelas? Kau tuli?”
Balas Rafael dengan nada mengejek.
Rangga segera berlari menuju tubuh Rafael yang sempat
menjauh karena dorongannya. Dengan amarah yang sudah memuncak sampai di kepala,
Rangga segera melayangkan beberapa tinjuan di wajah dan badan Rafael.
BUGH!
“Kalau kau masih ingin bekerja di perusahaan, jangan
lukai Tania!”
BUGH!
“Kalau kau ingin tidak jatuh miskin, jangan membuat
Tania menangis setetes air mata, pun!”
BUGH! BUGH!
“Kalau kau masih ingin hidup, JANGAN SENTUH TANIA!”
“Rangga! Sudah!”
“Biarkan aku menghabisinya! Jangan halangi aku!”
“Rangga!”
Rully dan Daniel segera berlari untuk mengukung tubuh
Rangga yang kembali ingin meninju Rafael. Tubuhnya segera dikungkung dan
ditarik oleh empat tangan sekaligus.
Rafael yang sudah tidak mampu berdiri tegak segera
dibantu berdiri oleh Jhoni dan Karya. Sebelah tangan Rafael memegang perutnya
yang dipukul kencang oleh Rangga sampai terasa cukup sakit. Satu tangannya lagi
memegang tulang pipinya yang terlebih dahulu menjadi sasaran pukulan sepupunya
yang berdiri cukup jauh di depannya.
Di sisi Rangga, pria ini sudah memandang Rafael dengan
tatapan gelap penuh kebencian. “JANGAN MENGUJIKU, RAFAEL! SEDIKIT SAJA KAU
MENYENTUH TANIA, AKU TIDAK SEGAN-SEGAN LAGI MEMBUNUHMU!”
“Aku tidak pernah takut!”
Rafael memberontak kuat sampai pegangan dua orang
paruh baya di tubuhnya terlepas. Sambil memegangi wajah dan perutnya yang luka,
Rafael berjalan tertatih meninggalkan ruang keluarga rumah kakek dan neneknya
dengan luka lebam di sekujur tubuh.
“Aku akan mengikuti Rafael. Aku pamit pulang terlebih
dahulu, Papih, Mamih, semuanya.”
“Aku ikut!”
“Nila, kau wakilkan rapat ini sampai selesai. Aku akan
mengurus Rafael.”
Rangga hanya dapat melirik dari sudut matanya kalau
Paman Jhoni—biasa Rangga sapa—berlari mengejar Rafael yang sudah meninggalkan
ruangan itu beberapa detik yang lalu.
Ia disuruh duduk kembali oleh kakek juga ayahnya,
namun Rangga menolak karena ia haus dan ingin pergi meminum air putih.
Akhirnya, Rangga berjalan lurus sedangkan Rully dan Daniel kembali duduk ke
tempat semula.
Sampai di dapur mewah rumah Keluarga Daniel Soekarta,
ia segera membuka pintu kedua dari satu lemari pendingin yang berada di sebelah
jendela. Dalam genggaman tangannya sudah terpegang satu gelas, dan sekarang
Rangga sedang menuangkan air sampai penuh ke dalam gelas tersebut.
Air dingin mungkin bisa menyegarkan keadaan otaknya
yang panas.
“Rangga?”
Rangga menatap ke arah dinding pembatas antara ruang
makan dan ruang dapur sambil tetap meneguk air. Di sana sudah berdiri Benicia
dengan jemari-jemarinya yang bertautan di depan tubuh.
Ia segera menjauhkan mulutnya dari bibir gelas. “Iya,
ada apa?”
“Maaf. Karena aku, kalian semua menghadapi masalah
serumit ini.”
“Kau tidak salah, Kil. Tenanglah. Kami semua sedang
berusaha untuk hak yang seharusnya kau dapatkan dari keparat itu.”
“Tapi, Ga—“
“Killa, dengarkan aku.”
Rangga menaruh gelasnya di atas kulkas sebelum ia
berjalan menghampiri Benicia yang berada di muka dinding pembatas dua ruangan.
Saat mencapai posisi Benicia, Rangga meletakkan masing-masing telapak tangannya
di atas bahu kanan dan bahu kiri perempuan itu.
“Kalau Dina dan Tania tidak memiliki buah hati setelah
kejadian itu, kau dan Thella berbeda. Reza sudah bertanggung-jawab, kulihat
mereka hidup bahagia. Sekarang giliranmu, Kil. Apalagi anakmu adalah keturunan
Soekarta, kami harus menjaganya dan kau harus mendapatkan hak-mu.”
“Aku tidak berharap macam-macam selama ini, Ga.
Menurutku, melihat Fasha tumbuh dan berkembang dengan sangat baik, aku sudah
bahagia. Aku tidak menuntut apapun dari keluarga besar kalian.”
“Tapi, Killa, dia akan meneruskan usaha keluarga kami.
Jauh di luar itu, kau memang harus mendapat pertanggung-jawaban dari Rafael.”
“Rangga,”
“Aku akan menikahimu.”
Tubuh Rangga dan Benicia hanya terpisah jarak satu
langkah saja. Benicia bisa melihat bola mata Rangga yang menatap intens
wajahnya. Namun bukan merasakan jantungnya yang berdegup kencang, justru ia
merasa tidak nyaman akan apa yang sedang Rangga lakukan terhadapnya.
“Hatimu masih untuk Tania, kau tidak bisa
membohongiku.”
“Iya, kah?”
Benicia bisa menghela napas lega setelah Rangga
menjauhkan tubuhnya. Dia mendekati lemari pendingin yang sebelumnya sudah dia
kunjungi. “Aku merasa cuaca hari ini sangat panas.”
Benicia terkekeh mendengar celoteh Rangga. Kedua
matanya memandang geli tingkah Rangga yang kembali membuka lemari pendingin dan
mengambil gelas di atasnya; gelas yang sudah dia gunakan. Rangga mengisi air
dingin ke dalam gelas itu kemudian meminumnya sekali teguk.
“Kau panas mendengar ancaman Rafael.”
“Aku biasa saja, Kil.”
“Kau tidak bisa berbohong, Rangga. Kau terlihat sangat
cemburu.”
“Aku tidak cemburu.”
“Ah, apalagi saat Bisma bilang kalau dia ingin
melindungi Tania. Wajahmu berkata bahwa kau ingin memukul Bisma saat itu juga.”
“Berarti aku masih nostalgia, ya? Ah! Aku harus buka
hati untuk perempuan lain.”
“Rangga, kuyakin kau tidak akan bisa melupakan Tania.”
Rangga memincingkan mata. “Apa maksudmu? Aku yakin aku
bis—“
“Kau sangat mencintainya. Kalau bibirmu tidak bisa
berkata iya, maka matamu yang mengatakannya. Kalau suaramu lantang berucap
tidak, maka hati kecilmu yang lantang berucap iya.”
“Kurasa kau harus menjadi psikolog.”
Benicia tertawa. “Ah! Aku ingin bertanya tentang
rencanamu yang menyeramkan itu, Ga!”
“Rencana yang mana?”
“Rencana yang melibatkan Rafael, Bisma, dan Tania.”
“Oh, rencana itu?” Rangga menatap lurus ke depan.
Kedua matanya menyipit, seperti menerawang dari jauh. “Aku akan
melaksanakannya.”
“Kau, serius? Mak—maksudku,”
“Kenapa? Kau khawatir dengan Rafael-mu? Maaf, tadi aku
sudah meninjunya berkali-kali.”
“Bu—bu—bukan begitu. Tania juga kau libatkan?”
Rangga menyunggingkan salah satu ujung bibirnya. Ia
meremas kuat gelas yang saat ini berada digenggaman tangan kanannya.
“Aku harus memberi pelajaran pada mereka, agar ketiga
orang itu jera.”
###
“Berdasarkan foto-foto yang sudah beredar di media,
saya, Kepala Yayasan Soekarta Company; Daniel Soekarta akan mengonfirmasi
sekali lagi. Foto-foto tersebut memang benar cucu kami; Rangga dan seorang
perempuan itu adalah perempuan yang masih kerabat dekat keluarga kami. Dia
bernama Benicia. Sewaktu itu Rangga sedang mengunjungi apartement Benicia untuk
mengunjungi putra Benicia yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.
Dan perlu saya tekankan, tidak ada hubungan spesial apapun di antara Rangga dan
Benicia. Apa kalian sudah jelas dengan penjelasan saya?”
Banyak orang segera mengacungkan tangan mereka setelah
pertanyaan itu terlontar. Melalui moderator, akhirnya terpilih seorang
perempuan muda yang beranjak berdiri. Dia menerima mikrofon yang diberikan oleh
panitia acara.
“Selamat malam, Pak Daniel dan Keluarga. Saya
perwakilan dari Trend Magazine ingin bertanya. Lantas, mengapa Mas Rangga
menganggap putra saudari Benicia sebagai anaknya? Bukankah yang seperti itu
adalah perlakuan seorang pria yang akan menikahi seorang wanita?”
Sebagian besar para awak media segera bersiap dengan
alat perekam mereka.
Empat orang yang duduk di belakang meja yang penuh
dengan mikrofon tersebut hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu.
Terlihat pria yang berusianya paling muda memberi kode
agar dia saja yang menjawab. Pria itu mendekatkan ujung mikrofon ke depan
bibirnya.
“Terima kasih sudah bertanya. Kami bersahabat sejak
lama, bahkan sedari kita berdua sekolah. Keluarga saya sangat dekat dengan
keluarganya, kami menghabiskan banyak waktu untuk bertukar cerita. Maka dari
itu, saya juga menganggap anaknya seperti anak kandung saya sendiri.”
Setelah pernyataan tersebut selesai dan moderator
menanyakan siapa lagi yang ingin bertanya, para pencari berita kembali mengacungkan
tangan mereka dengan sangat antusias.
“Selamat malam. Saya Ferdi dari Obrolan Serba-Serbi
Selebritis Nasional TV. Sebelumnya, Mas Rangga masih mengingat saya?”
Rangga; pria yang tadi menjawab pertanyaan sebelumnya
tertawa kecil. “Aku sangat ingat! Kau teman sekolahku dan kau teman
organisasiku. Ah, sepertinya kau akan menanyakan pertanyaan yang bombastis.”
Seisi ruangan tertawa.
“Aku ingin kau yang menjawab. Apakah Benicia seorang
single parent? Kalau begitu, apa kau punya rencana untuk menikahinya? Satu lagi
pertanyaanku, bagaimana foto itu bisa tersebar dan siapa yang menyebarkannya?”
“Okay. Jawaban untuk pertanyaan pertama, Benicia
seorang single parent. Jawaban kedua, aku tidak memikirkan apa-apa untuk ke
depannya bersama Benicia. Aku dan dia hanya mengalir, mengikuti waktu dan jalan
Tuhan kepada kita berdua. Kalau bagaimana foto itu bisa tersebar, ya—penjahat
memang lebih pintar, bukan? Aku tidak akan menyebutkan siapa yang menyebarkan
foto-foto itu walaupun pihak kami sudah mengetahuinya. Kami juga harus
merahasiakan identitasnya, kami menghargainya.”
“Oh iya, serahkan nomor ponselmu pada salah satu
panitia. Aku membutuhkan itu, Ferdi.” Sambung Rangga sambil terkekeh. Yang
dipinta hanya mengacungkan ibu jarinya kemudian mencatat intisari jawaban yang
Rangga jabarkan.
Moderator kembali bersuara dan kali ini semakin riuh
suasana ruangan. Sang moderator berucap bahwa ini adalah pertanyaan terakhir
dari sesi terakhir. Seluruh wartawan berlomba-lomba agar bisa terpilih menjadi
penanya paling beruntung dalam acara konferensi pers salah satu keluarga
terpandang se-Nusantara ini.
Terpilih satu penanya dan Rully selaku ayah dari
Rangga menjawabnya dengan begitu santai, ringan, namun sangat lugas dan tegas.
Seorang perempuan mengedipkan kedua matanya pelan.
Jika orang-orang di sekitarnya begitu bernafsu untuk bertanya pada keluarga
kolongmerat itu, maka ia hanya butuh mendengar setiap jawaban yang dikeluarkan
oleh pihak-pihak terkait.
Ia segera mengamati secara fokus bagaimana raut wajah
Rangga sesaat lontaran kesimpulan disampaikan oleh ayahanda Rangga sendiri.
“Jadi, kesimpulan acara ini atas kejadian yang mampu
menimbulkan problematika dalam tubuh keluarga kami, sekaligus mampu sekali
mengundang rasa penasaran banyak pihak, foto tersebut benar adanya tetapi
dugaan-dugaan buruk yang tersebar itu tidak benar. Benicia dan Rangga sudah
memiliki kekasih masing-masing. Mereka sudah punya rencana menikah.”
“Pihak kami berkata jujur apa adanya. Apabila ada di
antara kalian yang tidak percaya, itu hak pribadi. Kami berempat pamit undur
diri. Terima kasih untuk semua pasang mata yang sudah datang dalam konferensi
pers kali ini.”
‘Benicia dan Rangga sudah memiliki kekasih
masing-masing dan mereka sudah punya rencana menikah.’
Sedetik setelah bagian kalimat itu terucap, ia bisa
mengetahui ekspresi apa yang sedang mati-matian Rangga tahan di dalam
pergerakannya. Ia hafal bagaimana sifat pria itu, dan tanggapan wajahnya
membuat ia hanya bisa menghela napas panjang dan menundukkan wajah.
“Rangga akan menikahi siapa?”
Setahunya, seminggu yang lalu Rangga berjanji akan
melamarnya. Namun yang terjadi dalam beberapa waktu dekat ini, pria itu
membohonginya. Beberapa hari yang lalu, ia balas dendam dan hal itu menyakiti
perasaan Rangga. Kemarin, pria itu menganggapnya wanita murahan.
Berarti... Apakah klarifikasi hari ini adalah sebuah
kebohongan publik untuk membersihkan nama Keluarga Soekarta?
Ia tidak tahan terus berada di dalam ruangan ini.
“Fer, Key, aku pulang duluan.”
“Kau ingin pergi kemana?”
Hatinya seperti ditekan sebuah benda berat setelah
menyadari apa saja yang sudah ia lakukan. Tanpa menjawab pertanyaan temannya,
ia segera beranjak berdiri dan melangkah lebar-lebar untuk meninggalkan tempat
yang sesak baginya.
‘Kami juga harus merahasiakan identitasnya, kami
menghargainya.’
Kedua telapak kakinya sudah menginjak trotoar jalan
raya yang masih bising dengan suara kendaraan yang sibuk berlalu-lalang. Ia
segera melepas masker dan topi yang dikenakannya di area wajah, lalu ia
menaruhnya di dalam hobo bag yang tersangkut di atas bahu kirinya.
Salah satu tangan itu menutup bibir, dan satu
tangannya lagi meremas tepian kemeja yang saat ini ia kenakan. Tanpa bisa
dicegah, isakan kini keluar dari mulutnya. Kedua kaki jenjangnya melangkah
lunglai menyusuri paving block yang tertanam di dalam tanah.
Mereka menghargai identitasnya, setelah apa yang sudah
ia lakukan pada keluarga itu.
Ia tidak punya muka lagi jika bertemu dengan
masing-masing anggota Keluarga Rangga.
Bertahan untuk mencintai Rangga adalah suatu pilihan
yang sangat bodoh. Ia terlalu menjijikan setelah apa yang sudah ia perbuat
untuk menjatuhkan Keluarga Besar Soekarta.
Apa yang harus ia harapkan lagi di dalam hidupnya? Ia
merasa bahwa hidupnya seperti tidak ada penompang lagi.
Tiba-tiba, sebuah hantaman keras menyerang tengkuk
leher wanita ini. Pandangannya kabur dan ia tidak bisa berdiri tegak lagi.
Tidak ada yang bisa ia ingat selain perasaan hatinya yang sedang sangat kalut,
serta kesedihannya karena ia begitu ingin mempertahankan Rangga.
Rangga, kau dimana?
Sepersekian detik kemudian, ia tidak sadarkan diri.
To be continued
No comments:
Post a Comment