Wednesday, November 9, 2016

MINE | BAB 4. About Love and Longing

“Ingat, jangan meninggalkanku saat kau berada di luar.”
Tania menatap pria di sampingnya kesal. “Memangnya kau anak kecil yang harus kutuntun untuk mengunjungi suatu tempat? Kau sudah besar, Rangga!”
“Kau tidak berterima kasih sudah kubantu semalam?”
Tania refleks mengangkat kedua tangannya, lalu membuat dua buah kepalan di depan tubuhnya yang masih terduduk di atas jok mobil mewah Rangga; sang pemilik sekaligus yang mengemudikannya sekarang.
“Kau menuntut balas budi?” Tania menahan kedua rahangnya agar tidak berteriak membalas pertanyaan Rangga, yang lebih mengarah kepada menyindir sesuai kebiasaan pria itu.
Rangga menjilat bibir bawahnya kemudian pandangannya memutar sekilas ke atas. “Hmm— kau ingin membantah? Kalau begitu, kau harus mencium pipiku!”
Pertanyaan demi pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan juga. Tania segera menurunkan kedua tangannya. Dua matanya kini menatap nyalang ke arah Rangga. “Lebih baik aku naik angkutan umum tadi. Sial! Semalam aku bodoh sekali takluk pada rayuanmu.”
Tania mendesah frustasi. Seolah berpeluh, ia mengusap keningnya dengan punggung telapak tangan.
“Bukannya kau sudah takluk padaku?”
Suara bariton bening Rangga yang bernada mengejek tersebut membuat Tania menggenggam tali hobo bag-nya erat. Ia tidak ingin melempar tas miliknya di saat mobil yang dikemudikan Rangga sudah sampai di halaman parkir Tanubrata’s Corporation.
“Aku belum takluk sepenuhnya padamu, Bapak Rangga yang terhormat!”
Rangga berusaha menahan ekspresi wajahnya yang ingin sekali tersenyum lebar. Pagi harinya seolah berwarna lagi, apalagi saat ia dapat melihat gelagat wanita yang disayanginya, walaupun suatu saat nanti hanya mendengar suaranya.
“Kau sudah takluk sepenuhnya. Turunlah, dan tunggu di depan.”
Tania menggeram kesal. Ia segera membuka pintu dan turun dari kendaraan tersebut. Tanpa berbalik, ia membanting pintu itu keras. Masa bodoh bila pintu mobil di belakangnya rusak, pemiliknya memang selalu membuatnya keki dari hari kemarin.
Wanita ini menengok ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan halaman besar yang saat ini ia pijak. Beberapa pegawai datang dari arah timur sambil bersenda gurau tanpa memandang ke arahnya, dan itu berhasil membuat Tania dapat membuang napas lega. Kedua kakinya melangkah ke arah depan mobil Rangga, menunggu pria itu keluar dari dalam mobilnya.
Tak lama, Tania mendengar suara bantingan pelan pintu disusul sebuah suara nyaring yang ia duga sebagai suara pengaman kendaraan yang biasa digunakan oleh banyak pengendara mobil seperti Rangga. Ia tidak menengokkan kepalanya, perdebatan tadi sudah sukses membuatnya keki setengah mati pagi-pagi.
Ia menghirup udara yang terasa cukup segar dengan leluasa. Semalam hujan, lebih tepatnya setengah jam setelah Rangga meninggalkan rumahnya sekitar pukul sebelas malam. Jadi, hawa pagi hari ini tidak panas dan sinar mentari juga tidak terlalu begitu menyorot seperti di hari biasanya.
Tania tersentak saat tubuhnya langsung terseret ke depan, di mana Rangga berjarak satu langkah di depannya. Ia melirik ke bawah. Pergelangan tangan kanannya diperlakukan tidak halus oleh pria itu. Lagi dan lagi, Rangga menunjukkan sifat menyebalkan, dan Tania hanya bisa mengutuk terus-terusan pria itu dalam hati.
“Saat istirahat. Aku ingin makan siang bersamamu Apa kau bisa?”
Tania menolehkan kepalanya. Mendengar pertanyaan Rangga, ia mulai menyamakan langkah pria itu dengan sedikit berlari kecil. “Memang kalau aku bisa, kau ingin makan bersamaku?”
“Kau pikir apa?”
Tania memutar bola matanya saat ia melihat lirikan tidak suka Rangga atas pertanyaannya.
“Ya, sekadar basa-basi. Mungkin,”
Rangga mendesah frustasi. Wanita di sebelahnya selalu saja mengecap semua sifatnya itu buruk sejak dahulu. Ia tahu sewaktu mereka SMA, Rangga memang bukan tipe teman laki-laki yang baik, dan lebih terkesan tidak punya hati. Korban utama sifatnya dahulu adalah Tania; si gadis polos yang mencintainya diam-diam.
Ingin sekali ia menegaskan pada wanita itu bahwa Rangga yang sekarang bukanlah Rangga si lelaki dingin sembilan tahun yang lalu. Pria yang sekarang mencintai wanita itu bukanlah pria yang menggunakan sifat angkuhnya agar dia tidak menyukainya dan pergi menjauhinya.
Rangga yang sekarang adalah sosok pria yang ingin selalu membahagiakan sang pujaan hati.
“Ya sudah, aku basa-basi.”
Penuturan Rangga barusan membuat Tania menipiskan bibirnya. Kedua matanya melirik tajam ke arah Rangga yang tidak mencuri pandang padanya lagi. Raut wajah pria itu terpasang datar, sekaligus cengkramannya yang semakin mengerat saja di bawah sana.
Tania menahan lengannya ketika ia dan Rangga sampai di anak tangga pertama dari bawah, di undakan beranda Tanubrata’s Corporation. Hal itu membuat pergerakan Rangga yang berada di atas satu anak tangga lebih tinggi dari Tania menghentikan langkahnya.
Tubuh Rangga berbalik, memandangi wajah wanita di belakangnya dengan dua alis bertaut. “Ada apa?”
Tania menyentak keras lengan kanannya yang berakibat dengan cengkraman tangan Rangga yang terlepas keras.
“Aku tidak ingin menimbulkan omongan-omongan aneh di kantor ini. Sudah sampai depan, bukan? Jalan masing-masing!”
Ia berbicara dengan nada datar sekaligus mengarahkan pandangan dinginnya. Entahlah, Tania merasa kesal dengan penuturan Rangga setelah ia menjawab ajakan makan siang pria itu.
Apakah dia tahu?
Tania hanya bercanda ketika menyahut ajakan Rangga dengan dugaan basa-basi. Tapi pria itu dengan ketidak-pekaannya malah menganggap hal itu serius. Dia tidak tahu, kalau Tania sebenarnya sudah berharap lebih?
Sebagai seorang manusia dan terutama kaum pria, Rangga tidak terima begitu saja atas sentakan Tania terhadap tangannya. Ia merasa ditolak mentah-mentah.
“Kenapa sejak semalam, kau seolah benar-benar memusuhiku? Apa kehadiranku, mengganggumu?”
Tania menghela napas dalam. Pandangannya kini bersiborok dengan manik mata Rangga yang seolah begitu terhina akan perlakuannya. Sirat mata pria itu menciptakan gelenyar tidak enak merayap dalam dada Tania.
Ia ingin meringis, namun tidak memungkinkan. “Menurutmu?”
“Tidak baik jika pertanyaan dibalas pertanyaan. Kau pasti tahu etika itu jika kau menggunakan ilmu yang kau kejar selama dua belas tahun.”
“Sudahlah. Jangan pernah hadir kembali di depan wajahku!”
“Tidak ada yang berani memerintahku saat aku mengenakan pakaian ini, Tania. Dan kau—seorang pegawai kebersihan memerintahku dengan nada seperti itu?”
Tania ingin meninju Rangga sekarang juga.
Ia menahan dua puluh tujuh gigi di dalam mulutnya untuk bergemeletuk marah. Tania tahu, pekerjaan yang saat ini dipegangnya adalah pekerjaan yang selalu dianggap remeh oleh orang-orang yang biasanya memegang pena dan berhadapan dengan monitor. Namun tanpa mereka dan Rangga sadari; jabatan mereka tidak akan dibilang tinggi kalau tidak ada jabatan yang lebih rendah daripada mereka.
Tania melangkahkan kakinya untuk menaiki satu anak tangga, mensejajarkan tubuhnya untuk berada tepat di hadapan Rangga. Kepalanya sedikit mendongak, membalas wajah angkuh Rangga dengan segenap keberaniannya.
“Aku memang tidak sepertimu dan seperti mereka yang memiliki wawasan luas dan materi yang berkecukupan. Asal kau tahu dan harus kau sadari, di dalam hidupmu yang terlihat sempurna itu, kau menghancurkan banyak orang-orang rendah. Perempuan di depanmu, adalah korban keangkuhanmu dan keluargamu yang tidak punya hati. Permisi.”
Tania berbalik, melanjutkan langkahnya seorang diri untuk menaiki dua anak tangga sisanya lalu melangkah cepat ke dalam lantai pertama perusahaan tempatnya bekerja.
Lupakan Rangga! Pria itu memang belum merubah keangkuhannya sejak dahulu. Dia sering menganggap rendah orang-orang yang berada jauh di bawahnya, terutama ia yang menjadi target utama bualan pria itu.
Melewati area resepsionis, Tania mendapati Ratih tengah mengepel lantai di sana dengan alat pel yang biasa ia gunakan juga saat bekerja. Tania tersenyum dan menyapa rekan satu pekerjaannya.
“Ibu Ratih, jangan serius-serius! Masih pagi,"
Merasa ada yang berbicara dengannya, perempuan berumur empat puluh itu mendongakkan wajahnya. “Tania? Berangkat agak siang? Tumben sekali hampir jam delapan baru sampai.”
Tania kembali tersenyum. “Iya, ada urusan tadi di rumah. Mari, Bu.”
Ratih hanya mengangguk dan kembali melaksanakan kewajibannya. Tania melangkah kembali melewati sisi kanan lantai utama untuk sampai di ruangan khusus pekerja kebersihan yang berada di ujung kanan, bagian belakang bangunan perusahaan yang berlantai tiga puluh ini.
Tania menghela napas pelan. Jiwanya seolah masih tertinggal akibat perdebatan tadi. Ia mengingat ucapannya di mana ia ingin Rangga tidak boleh hadir kembali di depan wajahnya. Lantas, apa arti dari delapan tahun ia menunggu dan mengumpankan dirinya di dalam sarang macan selama ini?
Memikirkan Rangga, kepalanya refleks menengok ke belakang, ingin mengetahui sampai di mana langkah pria itu, ataukah dia sudah masuk ke dalam lift yang baru saja ia lewati.
“Eh!”
Belum saja Tania menengok sempurna, ia kembali merasakan sebuah tarikan di tempat yang sama. Tania segera menoleh ke arah pemilik tarikan kencang di tangan kanannya.
Rangga lagi.
Pria itu membawanya dalam sebuah koridor sepi yang menghubungkan antara lobby Tanubrata’s Corporation dengan ruang pegawai kebersihan serta toilet yang berada cukup di ujung koridor. Tania disudutkan di dinding sebelah kanan, kemudian pria itu mengukung tubuhnya dengan meletakkan masing-masing tangannya di dua sisi kepala Tania.
Tubuh keduanya hampir tidak berjarak.
“Aku tidak pernah memandangmu sebagai suatu yang rendah. Bahkan, aku meletakkanmu sebagai sesuatu yang tinggi, di mana aku takut terjatuh dan di saat itu pula aku tidak bisa lagi berusaha menggapaimu.”
Rangga menunduk. Ia mendekatkan wajahnya sampai berada tepat di depan wajah Tania yang berekspresi tegang. Ia merasa tidak nyaman dengan raut wajah itu. Telapak tangan kanannya yang menempel pada dinding kini Rangga pindahkan untuk memegang pipi tirus milik wanita yang sekarang benar-benar di depan wajahnya.
“Ka—kau, ingin apa?”
Tania menahan telapak tangan itu yang justru malah membuat kelima jemari tangan kirinya memegang kelima jari tangan kanan Rangga.
Rangga menghela napas cukup berat. Kehangatan akibat sentuhan kulit itu benar-benar mengalihkan kewarasannya sekarang.
Rangga menggigit bibir bawah. “Maaf, tadi aku terbawa emosi.”
Ia menarik jemari-jemari Tania yang menggenggam jemarinya, meletakkan tangan itu untuk berada di samping tubuh pemiliknya.
Setelah itu, Rangga kembali menggerakkan tangannya. Telapak tangan itu mendarat di atas kulit halus pipi wanita si pemilik mata hujan yang selalu menggoda untuk ia kecup.
Rangga ingin sekali wajah itu bisa ia lihat selalu. Selamanya.
“Aku akui bahwa aku adalah seorang manusia yang belum bisa melenyapkan keangkuhanku. Aku ingin kau dengarkan kejujuranku,"
Rangga memandangi intens Tania sambil menarik senyum simpul.
"Jika aku benar-benar mencintai seseorang itu sampai jatuh-bangun, maka dunia yang penuh dengan kata-kata sekalipun bisu dan aku akan menulikan indrawiku.”
Rangga mendekatkan wajahnya, menempelkan keningnya dengan kening Tania yang sejak tadi mengerut karena perlakuannya saat ini.
“Yang aku tahu, aku mencintaimu. Jika kau adalah hutan, maka aku sangat ingin tersesat di dalamnya.”
Ia membuang pelan napas dari bibirnya yang terbuka. “Aku ingin hanya kau yang menuntunku untuk kembali dalam dekapanmu setiap saat, sekalipun saat akhirnya dunia sudah menemukan titik ujungnya.”
Rangga memejamkan matanya. Ia merasa sangat nyaman. Tidak ada yang lebih menenangkan saat kau berada di dekat orang kau cintai habis-habisan.
Tania ikut memejamkan kedua matanya. Merasakan desahan napas teratur yang keluar pelan dari dua cuping hidung Rangga juga dua bibir pria itu yang terbuka, ia bisa merasakan kedamaian yang belum pernah ia dapatkan dari seorang pun selama hidupnya.
Tania ingin menikmati saat-saat seperti ini lebih lama lagi.
Tolong hentikan waktu, sebentar saja.
“Maaf aku datang terlambat.”
Rangga kembali membuka suara. Tania membuka pejaman matanya. Dua pasang mata itu langsung saja menyusuri satu tali transparan kasat mata yang tidak bisa diputuskan begitu saja. Dalam tali itu, terdapat banyak aliran astral tentang berbagai hal yang tidak bisa diungkapkan melalui ucapan. Hanya melalui alat indrawi ini, keduanya belajar saling mengerti apa yang diinginkan satu sama lain.
“Berapa banyak klise hidupku yang sudah kau lewatkan tanpa kehadiranmu?”
Pertanyaan itu dengan pelan dan lembut keluar dari bibir Tania yang sejak tadi terkatup rapat.
“Aku akan meluruskan semuanya. Tetaplah di sampingku, Tan.”
“Apa yang bisa kau yakinkan padaku agar aku tetap di sampingmu?”
Rangga mengulum senyum tipisnya. “Belum ada yang bisa aku yakinkan. Aku hanya berharap ikatan batin masing-masing di antara kita selalu ada.”
“Aku merindukanmu, Ga. Jangan pernah menghilang lagi.”
Kedua mata Tania berkaca. Dua kalimat itu benar-benar berasal dari dalam hati nuraninya. Telapak tangan yang tadi menggenggam jemari Rangga, sekarang ia angkat menuju sisi kiri rahang kokoh milik pria di depannya.
Tania mengusapnya pelan. “Aku terlalu mencintaimu.”
Belum saja dua bibirnya terkatup, Tania segera membulatkan mata saat Rangga semakin mendekatkan wajah milik pria itu ke arahnya. Napasnya hampir tercekat saat ujung hidungnya terasa menyentuh ujung hidung Rangga. Buru-buru Tania memejamkan erat kedua matanya.
Sepersekian detik kemudian, Tania merasakan bahwa kedua bibirnya tidak menyentuh seperti apa yang ia bayangkan. Benda kenyal dan basah itu tidak menekan permukaan bibirnya, sekadar untuk menempel atau bahkan membuat letupan-letupan kecil akibat kalimat-kalimat cintanya barusan, yangmana menjawab semua pertanyaan pria itu semalam tentang bagaimana perasaannya saat ini.
Rangga mengecup sudut bibirnya, dan itu berlangsung cukup lama.
Tania kembali memejamkan kedua matanya. Sanubarinya mengatakan bahwa hanya Rangga yang berhasil mengobrak-abrik semua sisi jiwanya, termasuk kehancuran hidupnya yang juga berawal dari pria di depannya.
“Wow! Kalian ingin berbuat mesum di kantor ini, hah?”
Kedua wajah yang beberapa detik lalu sudah menempel ketat itu perlahan menjauh. Pemilik masing-masing wajah segera membuka pejaman mereka. Saat keduanya dapat melihat secara sempurna, mereka hanya mampu berkedip.
Rangga dan Tania memutar tubuh sampai keduanya sekarang berhadapan dengan seorang pemuda yang menjadi pemilik suara mencemooh barusan.
“Apa urusanmu? Tempat ini juga milikku!” Rangga membalasnya dengan nada dingin.
Pemuda berwajah oriental yang berjarak sekitar lima meter dari hadapan Rangga dan Tania tertawa sinis. Pandangannya kini menyilat tidak suka ke arah sepasang insan di depannya. “Ini wilayah teritorialku.”
Rangga tidak ingin meladeni ucapan pemuda itu. Sedikit menundukkan wajah, Rangga mendekatkan bibirnya ke arah Tania. “Tan, masuklah ke ruanganmu. Bersiaplah untuk bekerja seperti biasanya.”
Tania menoleh. Wajah pria di sampingnya sudah kembali tegak menantang ke arah pemuda yang berada di hadapan keduanya.
“Tapi kau berjanji tidak akan adu tinju dengan Rafael, ya?”
Rangga memasukkan telapak tangan kirinya ke dalam saku celana yang searah dengan posisi lengannya. Pandangannya masih lurus ke depan, membalas sengit tatapan penuh intimidasi Rafael; sepupunya.
“Iya, aku turuti perintahmu. Cepat!”
Tania mengangguk kecil lalu membalikkan tubuh.
“Tania! Pimpinanmu di sini adalah aku, bukan Rangga! Kau ingin kuhancurkan lagi? Bagian mana darimu yang belum aku hancurkan?”
Suara kering milik Rafael tersebut membuat Tania mengurungkan niatnya untuk melangkah. Ia kembali berbalik dan memandang Rafael tanpa ekspresi. Tania hanya tahu, bahwa Rafael tidak pernah main-main dengan ancamannya.
“Semuanya sudah kau hancurkan, Pak Rafael.” Balas Tania lalu mengambil napas pelan. Kinerja otaknya dengan bodoh langsung memutar berbagai memori kejadian di mana hampir semua bagian kehidupannya sudah sukses dihancurkan pemuda itu.
Rafael tersenyum kecut. “Kalau kau sudah merasa seperti itu, jangan kau begerak untuk meninggalkan posisimu sekarang!”
Rangga mengepalkan erat telapak tangannya sampai buku-buku jemari itu memutih. Ia tidak memandang datar lagi Rafael, tetapi Rangga sudah memberikan pandangan nyalang pada sepupunya itu.
“Sebelum kau semakin menghancurkan Tania, akan kubuat kau lenyap dari dunia ini, Raf. Aku bersumpah!” Desis Rangga.
Rafael tertawa kencang. Pemuda ini memasukkan dua telapak tangannya pada masing-masing saku celananya. Dengan aura mematikan, ia mempersempit jarak di antara ia dan Rangga, manusia yang sangat dibencinya sejak ia kecil.
Rafael berdiri tepat di hadapan Rangga. Postur tubuhnya yang lebih jangkung menjadikan suasana di antara dua pemuda sebaya itu semakin mencekam. Tania hanya bisa menggigit bibir bawahnya kuat, ia tidak tahu harus berbuat apa.
Kepala Tania menunduk. Ia dapat menangkap tangan Rangga di bawah sana sudah mengepal sangat erat. Bersama sisa keberanian yang ada, Tania menggenggam telapak tangan Rangga yang sudah membola. Ia meremasnya pelan, berharap dengan usahanya ini, Tania bisa meredakan sedikit amarah Rangga yang sangat kuat tercium di udara.
“Akan kulenyapkan kalian berdua dari dunia ini. Terutama kau, Rangga! Kau akan merasakan bagaimana caranya mati secara perlahan, sampai akhirnya kau lebih memilih aku untuk mematikanmu.”
Tania melihat kedua rahang Rangga semakin mengetat. Wajah pria yang mengaku sangat mencintainya itu sudah sangat memerah. Dia menatap Rafael penuh kebencian. Tania saja benar-benar merasakan apa arti dari kalimat bulu kuduk meremang.
Ia mengusap kepalan jemari Rangga yang berhasil ia genggam. Usahanya tidak sia-sia, karena telapak tangan Rangga yang terasa panas kini menyelinapkan sela-sela jarinya di antara lima jari tangannya.
Pria itu meremas kuat telapak tangannya.
“Tan, pergilah! Aku butuh waktu berdua dengan Rafael.”
Tania melepas telapak tangannya. Tidak ingin melihat satu sentimeter pun keberadaan Rafael, ia langsung berbalik dan melangkah lebar-lebar pada pintu coklat tertutup yang berada di ujung koridor.
Rangga menatap sepupunya diam. Deru napasnya sudah tidak beraturan, berbeda dengan Rafael yang malah terlihat santai saja sambil menyunggingkan senyum iblisnya. Ia mulai melangkah untuk mempersempit jaraknya dengan anak dari adik kedua ayahnya. Dua tangan Rangga masih mengepal, namun Rangga ingat bahwa ia berjanji pada Tania kalau ia tidak akan meninju Rafael.
“Aku tidak pernah mengerti dendam yang kau acung-acungkan itu sampai sekarang. Kau berlagak manis di awal, tapi sehabis kau mengerjai aku dan yang lain dengan obat sialan itu, siasat setan milikmu semakin saja berkobar, bahkan Tania kau bawa-bawa. Ingat, ini masalah keluarga, Rafael.”
Rafael mengerutkan dahi. “Masalah keluarga? Kurasa ini juga masalah tentang perusahaan.”
Rangga ingin sekali menghabisi wajah tanpa dosa di depannya. Pandangan Rafael seolah tidak mengerti apa-apa, namun pada kenyataannya, pria itulah dalang di balik semua kejadian ini.
“Perusahaan? Kurasa pembagian ini wajar walaupun tidak adil. Siapa suruh di antara kalian tidak ada yang bisa mengambil hati Oma sejak kecil? Usaha tidak jauh daripada hasil, Raf. Itu salah satu kesalahan kalian.”
Rangga menarik satu ujung bibirnya. Sirat tatapannya menyiratkan keremehan ke arah pemuda yang ia rasa sudah memiliki amarah sampai di ubun-ubun. Tak hanya di situ, tanpa Rangga sadari, ternyata ia berhasil mengeluarkan gaya angkuhnya, dan hal itu mampu membuat Rafael meremas jemari-jemarinya semakin kencang.
Rafael memandang benci ke arah Rangga.
“Kau menjauhkan kami dari Oma dan Opa. Sumpah, aku akan menghancurkanmu! Bagaimanapun caranya.” Ia berucap dengan nada bersungguh-sungguh.
Pemuda berwajah tionghoa ini mendekatkan tubuhnya sampai berjarak hanya satu langkah di antara ia dan Rangga. “Sekalipun tidak menyentuhmu, aku akan menghancurkan wanitamu. Aku tidak pernah main-main.”
Kepalan tangan Rangga terangkat cepat dan meninju sudut bibir Rafael sampai pemuda itu terhuyung-huyung. Tinjuan Rangga terlalu mendadak, dan Rafael tidak ada persiapan untuk menahan diri sama sekali.
Rafael menegakkan tubuhnya yang kini mundur sekitar dua langkah. Ia menyentuh sudut bibir kirinya, meringis. Rafael merasakan perih sekaligus bau anyir bersamaan di sana.
“Aku akan tidak segan-segan membuat keluargamu miskin dan keluar dari daftar Keluarga Soekarta jika kau menyentuh Tania dan membuat dia hancur.” Rangga menunjuk Rafael dengan pandangan kejam.
Ia mulai melangkah, kembali berada di depan Rafael yang sudah memandanginya semakin sengit. “Aku juga tidak pernah main-main. Darah dibalas darah. Hancur dibalas hancur. Dengan menjentikkan jari, kekuasaanku di keluarga ini bisa menjatuhkan keluargamu sampai di titik terendah.”
Rangga menampilkan senyum miringnya. Sengaja, ia menabrakkan bahu kiri Rafael dan berjalan membelakangi pemuda itu beberapa langkah. “Aku tidak perduli bahwa kau sepupuku dan orang tuamu adalah paman dan tanteku.”
Rafael membalikkan tubuhnya, memandangi punggung Rangga dengan pandangan nyalang memancarkan aura membunuh. “Tania adalah sumber kehancuranmu, bukan?”
“Oh, ya? Kau bisa tahu di saat aku tidak menyimpulkan apa-apa.”
Rangga melanjutkan langkahnya untuk mendekati lift yang berada di sisi kiri posisinya sekarang. Masih jauh memang, tetapi ia tidak akan sudi lagi jika dekat-dekat dengan Rafael; anggota keluarganya yang berkhianat.


###


Tania tengah menikmati nasi bungkus yang ia alasi dengan piring ceper plastik milik ruangan pekerja kebersihan Tanubrata’s Corporation. Tak hanya ia yang sedang menghabiskan waktu makan siang kali ini di dalam kantor, tetapi ada Morgan dan Ilham juga yang berada di depannya. Ketiga orang tersebut duduk di meja persegi panjang yang berada di tengah ruangan.
“Tan, aku dengar rapat kedua ini juga dipimpin oleh General Manager, lagi?” Ilham memandangi rekan wanita di depannya sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Tania menaruh sendok di atas nasinya lalu mengambil gelas yang berada di sebelah piringnya. “Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu.”
“Ah, kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”
Tania beralih memandang Morgan yang tengah menaik-turunkan sebelah alisnya. Ia merengut heran, raut wajah pemuda berparas tampan itu sungguh misterius. “Aku benar-benar tidak tahu. Memang ada apa?” Tanyanya to the point.
“Hmm... Bagaimana, Ham?”
Morgan memutar bola matanya pada Ilham, dan Tania juga kembali beralih memandang Ilham. Keningnya semakin berkerut saat menangkap tatapan humor yang dilemparkan Ilham untuknya.
“Sepupu Pak Rafael yang waktu itu kau ceritakan... Orang yang mencium kau tadi pagi di koridor, bukan?”
Tania terbatuk-batuk akibat air putih yang sudah mengalir di tenggorokannya. Air itu hampir ingin tersembur keluar karena ledakan terkejut yang dimotorik oleh sumsum tulang belakangnya. Ia berusaha menelan kasar air putih itu dengan dua mata berair.
“Ka—kau tahu darimana?”
“Aaaa—kau kaget, ya? Benar berarti kalau kalian bercumbu tadi pagi, heh?”
Morning kiss, Gan. Aw!”
Tania melempar sendok yang berada di atas piringnya. Indra penglihatannya memandang Ilham dengan mata melotot tajam. “Jangan asal bicara! Aku dan dia tidak bercumbu. Kami hanya—“
“Kami?”
Morgan menyipitkan matanya. Tania melirik Morgan dengan kedua bibir yang bergetar. “Hmm, maksudku—aku dan dia—“
“Kalian kembali berhubungan?”
“Tidak!”
Tania memandang tajam Ilham yang baru saja menyela ucapannya. “Aku dan dia tidak ada apa-apa. Tadi hanya ada drama kecil saja. Iya, masalah kecil. Hehe,”
Ia meringis lalu beranjak berdiri. Akibat lemparan sendoknya barusan, Tania harus mengambil kembali alat makan itu kemudian menuju rak kecil di sebelah dispenser untuk menggantinya dengan yang baru.
“Lantas, ciuman itu? Kau berikan cuma-cuma?” Morgan memutar kepalanya, mengamati Tania tengah menaruh sendok yang tadi diberikan Ilham atas pelemparan barusan ke dalam tempat cuci piring.
“Aku tidak memberikan ciuman. Dia yang tiba-tiba menciumku.”
“Benar juga. Kami melihat adegan-adegan itu sebelum aku dan Morgan kembali duduk dan mengurungkan niat keluar dari ruangan ini.”
“Oh! Pantas saat aku masuk, kalian sedang duduk, ya?”
“Iya, dan kau menahan kami agar tidak keluar. Padahal kukira, adegan Drama Korea itu sudah selesai.”
“Bukan seperti itu. Tadi ada insiden kecil yang membuatku tidak mengizinkan kalian keluar mendahului aku.”
“Insiden apa lagi?”
Bunyi ketukan pintu terdengar seolah menjawab pertanyaan Morgan yang mengarah pada perdebatan ia, Rangga, dan Rafael pagi tadi. Tania sedikit menghela napas lega, setidaknya ia tidak perlu menceritakan bahwa ia dan Rangga kepergok Rafael dan pimpinan perusahaan ini kembali mengeluarkan kalimat-kalimat ancamannya.
Ilham beranjak berdiri lalu menjengit daun pintu dan menariknya saat sudah sampai di hadapan benda tersebut.
Hal pertama yang dilihat pemuda berumur dua puluh empat tahun itu adalah seorang perempuan berpakaian elegan yang dipandangnya dengan pandangan heran.
“Ada apa?”
“Apakah Tania berada di dalam?”
Ilham melirik sedikit ke dalam ruangan. Perempuan di depannya adalah Maurin, sekretaris pimpinan perusahaan yang sangat ia benci karena dengan sekehendaknya, dia memperlakukan rekan sejawatnya bagaikan terdakwa yang sangat bersalah.
Ia ragu untuk memberitahukan bahwa sebenarnya ada Tania di dalam, namun Ilham tidak ingin beberapa kejadian lampau itu kembali hadir di depan kepalanya sendiri. Ia tidak tega jika ia berucap sejujurnya. Tapi, ia tidak bisa berbohong. Posisi pekerjaannya akan terancam.
“Ad—ada.”
“Bilang padanya, Pak Rafael menunggu dia di ruangannya. Pesan Pak Rafael, dia tidak ingin terlalu lama menunggu. Terima kasih, Ham.”
Ilham melihat segurat senyum simpul tercipta di wajah khas Manado milik Maurin. Ia membalasnya dengan senyum tipis kemudian langsung menutup pintu.
Tubuhnya berbalik, ia bisa menangkap bahwa Morgan dan Tania sudah kembali melanjutkan makan mereka. Ia menghela napas dalam, perintah otaknya mengatakan bahwa ia harus duduk terlebih dahulu di sebelah Morgan.
“Tan,”
Ilham memangil nama wanita di depannya pelan.
“Ya?”
Tania melirik Ilham sekilas sebelum kembali memandangi nasi bungkusnya dan menyendokkan sesuap nasi beserta lauk-pauknya ke dalam mulut.
Ilham belum menyentuh makanannya. Ia lebih memilih memandangi wajah Tania yang sekarang masih terlihat baik-baik saja “Tadi Maurin yang mengetuk pintu, dia bilang kau dipanggil Rafael ke ruangannya. Jangan lama dan keparat itu tidak ingin lama menunggu.”
Ilham bisa melihat Tania segera menghentikan aktivitas makannya. Mulut yang terlihat aktif mengunyah itu terdiam. Tatapan wanita itu mengarah kosong pada Ilham, yang justru menciptakan banyak rasa waspada di dirinya. Ia berkedip, dan di setiap kedipannya itu, rasa-rasa ingin melarang Tania pergi dari tempat ini semakin menguak.
“Dia memanggilku karena kejadian tadi pagi?”
Ilham tidak mengerti maksud pertanyaan Tania yang mengarah pada ia dan Morgan, atau pada diri wanita itu sendiri. Sinar manik mata Tania tidak bisa ditebak saat ini. Raut wajah itu sudah terlihat berbeda, tidak seperti sebelum kedatangan Maurin yang membawa informasi tersebut.
“Kau ingin aku dan Ilham mengintai kalian, seperti terakhir dia berbuat kasar padamu?” Ilham menoleh pada Morgan yang sudah tidak memegang sendoknya. Pandangan sahabatnya itu mengarah pada Tania saat meminta pendapat atas sarannya barusan.
Ilham mengalihkan pandangannya dan kembali memandangi Tania. “Kami siap. Bahkan kau ingin ataupun tidak, kita berdua tetap mengintaimu. Menurutku, lekaslah kau menemui keparat itu. Kita berdua akan menyusulmu sebentar lagi.”
Tania menghela napas pelan. Ia beranjak berdiri kemudian memandangi dua sahabatnya sendu. “Aku takut.”
Ia tidak bisa membohongi perasaannya kalau jantungnya sekarang berdegup kencang untuk menemui Rafael. Seperti kejadian-kejadian sebelumnya, perdebatan itu diikuti oleh ibunya Rafael. Dan ujung dari perdebatan itu, sering kali ia mendapat tamparan dari wanita paruh baya itu. Perlakuan tersebut hanya perbuatan minimal yang dilakukan, karena biasanya ia akan mendapat dorongan dan tarikan rambut yang amat memerihkan.
“Berdoa saja semoga tidak terjadi apa-apa. Semangat! Semua akan indah pada waktunya, Tan.” Ilham menarik dua ujung bibirnya ke atas.
“Aku akan menunggu kapan keindahan itu datang.”
Tania menggeser ke belakang kursi yang ia duduki kemudian melangkah mendekati pintu. Ia menjengit daun pintu dan menariknya.
Saat tarikan pintu ia lakukan, maka situasi hatinya harus siap lahir dan batin untuk menemui pemuda segala sumber kehancurannya selama ini.


***


Tania membuka pintu kaca di depannya. Hal pertama yang dapat ia rasakan adalah hawa pendingin ruangan yang begitu diatur menyengat kulit sampai membuat bulu kuduknya berdiri.
Suhu udara di dalam sungguh spontan meningkat.
Selanjutnya, Tania dapat melihat seorang laki-laki sedang berdiri menghadap ke arah jendela besar di dinding depan. Lelaki itu terlihat memasukkan dua telapak tangannya pada masing-masing saku celana bahan hitam yang dikenakannya.
Tania menghela napas pelan. Kedua kakinya kini melangkah mendekati posisi lelaki itu. Jaraknya hanya beberapa langkah di belakang, ia kembali menghela napas. “Ada apa kau memanggilku?”
Lelaki itu membalikkan tubuhnya. Ketika posisinya sudah berhadapan, Tania dapat melihat pandangan kebencian yang keluar dari manik mata lelaki tersebut. “Menurutmu, aku memanggilmu karena apa?”
Senyuman sinis yang mulai dikeluarkan lelaki itu—Rafael—membuat Tania menatap datar wajah tersebut, tidak terlihat terpancing amarah sedikitpun. “Aku tidak pernah mengerti apa maksudmu ikut campur masalah hidupku. Aku bukan keluargamu, aku mengenalmu saat SMA, dan aku tidak mengenal dekat dirimu. Tapi, apa maksud dendam kesumatmu itu padaku?”
“Sudah beberapa kali kau menanyakan hal itu, dan aku tidak akan menjawabnya lagi. Itu akan menghabiskan waktuku.”
“Lalu, kau memanggilku kemari, pun itu menghabiskan waktumu.”
Rafael tertawa sinis. Ia melangkah ke arah Tania dengan langkahnya yang begitu terlihat memukau. Tania mengakuinya.
Ketika Rafael berjalan, ada suatu hal yang dapat memikat mata secara mendadak. Entah hal apa, yang pasti langkah demi langkah yang digerakkan pemuda itu selalu membuat banyak orang terpaku melihatnya.
“Sepertinya tidak.”
Rafael meraih dua rahang Tania dalam satu tangkupan telapak tangan. Ia menarik dua rahang itu ke atas, menghadapkan wajah kesakitan yang justru membuat hatinya kini bersorak bahagia. Rafael senang melihat wajah Tania begitu kesakitan akibat ulahnya.
“Ah, ya! Lelaki yang berhasil merampas keperawanan-mu, dia mengancam pencopotan jabatanku dan menghapus nama keluargaku dari daftar Keluarga Soekarta. Hmm—“
Selagi lelaki itu bergumam, Tania hanya mampu memejamkan kedua matanya. Bagaikan ingin dilepas paksa, tulang-tulangnya itu terasa amat sakit saat dicengkram kuat Rafael. Ia terus berdoa agar waktu secepatnya berlalu dan Rafael keluar dari ruangan ini untuk mengakhiri penyiksaannya.
“Apa kuhabisi saja kau sebelum sepupuku yang sialan itu menjalankan aksinya? Kurasa...”
Rafael menaikkan telapak tangan kirinya yang bebas. Ia meletakkan ujung telunjuknya menyusuri wajah Tania dari kening menuju tulang hidung Tania. “Kau adalah sumber kehancurannya. Sebelum aku menjadi miskin mendadak, menghancurkannya adalah siasat yang tepat.”
Di saat Rafael mengakhiri kalimatnya, di saat itu pula Tania merasakan tarikan di rahangnya semakin kencang. Ia semakin memejamkan erat kedua matanya.
“Apa yang kau lakukan di dunia ini, tidak akan bisa hilang sepenuhnya dari akibat.” Desis Tania karena bibirnya hampir tertutup rapat sebab cengkraman tersebut.
“Benarkah? Lalu, kenapa Rangga tidak mendapat akibat atas kerakusannya merebut kasih sayang nenek dan kakek kami? Kenapa Soekarta’s Company tidak bangkrut saja, biar kami semua yang merasa diasingkan bisa mendapat keadilan?!”
Tania membuka pejaman matanya dengan susah payah. Wajah penuh kebencian sekaligus kekecewaan yang mendalam, pemandangan itu yang bisa Tania lihat pertama kali saat membuka indrawinya.
“Kurasa itu hanya perasaan iri yang kau agung-agungkan sejak lama. Tidak ada seorang nenek dan kakek yang tidak sayang pada cucu-cucunya.”
“Jangan ‘sok tahu!” Rafael semakin menarik ke atas cengkramannya. “Kenyataan itu terjadi. Kau membelanya, kau senang Rangga sudah dapat kau lihat lagi? Apa dia akan melindungimu dariku?”
Tania membuka pejamannya. “Kau juga pura-pura tahu selama ini.”
“Kau mulai berani, hah?”
Rafael semakin saja menarik cengkramannya, sampai-sampai wajah Tania begitu terangkat dan kedua kaki Tania sudah berjinjit tinggi.
“Aku tidak pernah takut padamu, Rafael.”
Hal selanjutnya yang Tania rasakan adalah sebuah angin menyakitkan yang menyusuri pori-pori kulitnya.
Tubuh yang tidak berdaya itu terhuyung ke kanan dan ke kiri sebelum terbentur keras di atas lantai. Ia merasakan perih di sikut tangan kanan dan tangan kirinya. Tania menduga, pasti ada luka di sana akibat ia menyangga posisi jatuhnya supaya tidak kepala yang pertama membentur lantai.
Tania menegakkan tubuhnya yang terjatuh setengah berbaring. Kepalanya beralih memandangi dua sikut tangannya secara masing-masing. Di tempat yang sakit tersebut, ia dapat menangkap sekumpulan darah yang berada di atas sobekan kulitnya akibat tergesek dengan lantai di bawahnya.
Tania mendongakkan wajah, kedua matanya memandang sendu ke arah Rafael yang tengah memandanginya dalam diam. Ia meringis pelan sebelum berusaha beranjak berdiri.
“Apa kau puas melihat setiap darah yang keluar akibat perbuatanmu? Sampai kapan, Raf? Aku yakin kau punya setitik saja jiwa malaikat di hatimu.”
Rafael masih saja terdiam, walaupun bola matanya selalu mengikuti setiap pergerakan yang Tania lakukan.
Ia beranjak berdiri tegak, tanpa menghiraukan rasa sakit yang kini mendera dua sikutnya ketika sepasang lengannya berposisi lurus di dua sisi tubuhnya.
“Aku tidak membela Rangga, dan aku tidak pernah tahu masalah yang mendera keluarga kalian. Aku hanya tidak menyangka bahwa kau yang kukenal baik, justru menjerumuskan hidupku sampai sekacau ini.”
Tania menghela napas dalam. Amarah yang mencekam di dalam hatinya selama ini sedikit luluh-lantah.
“Obat perangsang yang kau gunakan sewaktu kelulusan itu adalah awal dari kehancuranku. Tidak ada seorang wanita yang rela begitu saja saat-saat pertamanya direnggut paksa oleh sebuah kejadian yang tidak diinginkan, sekalipun dia wanita nakal. Aku akui, tidak hanya aku saja perempuan yang dirugikan saat itu. Tapi ada Thella, Dina, dan perempuan yang selalu kau anggap tidak ada; Benicia pun kau libatkan di sana,”
“Jangan pernah menyebut nama perempuan itu!” Rafael menajamkan pandangan, lebih mengerikan daripada sebelum-sebelumnya. Suaranya bergelegar bagaikan petir di siang bolong.
Bukannya takut, Tania justru menyunggingkan senyum iblisnya. “Kenapa, kau? Apa karena Benicia—“
“JANGAN PERNAH MENYEBUT NAMA PEREMPUAN ITU DI DEPANKU!”
Tania sedikit berjengit mendengar teriakan Rafael yang lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Ibarat bola mata itu adalah sebuah benda, mungkin benda itu sudah jatuh dan bergelinding menyusuri lantai. Ia tidak mengerti kenapa Rafael bisa sangat emosional ketika ia menyebutkan nama itu pertama kalinya selama ia berdebat dengan Rafael.
Tania kembali menampilkan senyumnya yang hanya tertarik di satu ujung bibir. Ia mendorong kakinya untuk melangkah satu kali agar jaraknya lebih dekat dengan Rafael. Kepalanya mendongak, berusaha adu wajah dengan lelaki di depannya.
“Rangga juga bisa marah sepertimu barusan jika ia melihat perlakuan kasarmu padaku selama ini, Raf. Aku yakin sebenarnya kau takut jatuh miskin, bukan? Dan kau sangat iri dengan pembagian warisan yang tidak jatuh sebanyak Keluarga Rangga. Kau harus tahu, mungkin ada maksud lain di balik nenek dan kakekmu melakukan hal ini. Bersyukurlah aturan, karena—“
“Jangan menceramahiku!”
Suara pintu terbuka membuat keduanya sama-sama mengalihkan tatapan mereka.
Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan dengan begitu anggunnya. Rias wajah natural yang menemani kesan estetika pahatan Sang Maha Pencipta yang indah itu sedikit menutupi usianya yang mulai menua.
Tania membuang napas pelan melihat siapa orang yang mulai mendekat ke arahnya. Pandangan orang tersebut begitu mematikan, dan itu ditunjukkan kepadanya. Ia hanya bisa menetralkan degup jantungnya yang sangat membuatnya tak nyaman.
“Hebat! Kau berani sekali berbicara seperti itu di hadapan putraku, Tania?!”
Selanjutnya yang ia rasakan adalah tarikan kencang di ujung rambutnya yang dikuncir kuda. Tania memejamkan kedua matanya. Ia harus menahan perih karena pori-pori kulit kepalanya bagaikan ingin dilepas paksa dari batok kepala.
“Aku hanya takut pada Allah ta'ala.”
“Dasar orang miskin!”
Tania kembali merasakan tubuhnya terhempas di tempat yang sama seperti Rafael tadi melepas cengkramannya. Namun sekarang ia tidak terjatuh, ia segera memegang pinggiran meja kebesaran Rafael yang berada di sebelah kirinya.
Ia menunduk. Akibat terhuyung tadi, kepalanya tiba-tiba terasa pusing.
“Aku memang orang miskin,” Tania mendongakkan wajahnya. Pandangannya yang sendu saat berdebat dengan Rafael kini berganti menjadi tatapan tak kalah mematikannya daripada wanita paruh baya di depannya.
“Tapi aku masih bisa berpikiran positif dalam menghadapi setiap masalah. Ketika aku terpuruk, aku tidak menggunakan segala cara untuk membalas dendam ataupun sekadar merebut apa hak yang harusnya kumiliki. Kalian diberi takdir menjadi orang kaya dan berpendidikan luas, harusnya kalian belajar apa maksud dari kata menghargai sesama.”
“Kau meremehkan kami?” Tuding wanita paruh baya itu—ibunya Rafael—dengan aura mencekam.
“Jika pantas disebut meremehkan, aku lebih suka menyebutnya itu fakta yang harus anda sadari.”
Suara tamparan dua kali menggema di setiap sudut ruangan yang kini terasa panas, mengalahkan pendingin ruangan yang sudah diatur sebegitu rendah suhunya.
Tania memejamkan erat kedua matanya. Sekarang tidak hanya dua sikutnya yang terasa amat perih, namun juga dua sudut bibirnya yang sekarang berkedut-kedut menyakitkan. Dua tangannya terangkat pelan, ia memegang masing-masing luka sobek yang sepertinya tercipta di atas kulit untuk kedua kalinya di waktu yang tidak terlalu lama.
“Anakku, apa kau ingin menghabisi dia sekarang saja? Mumpung pria yang membelanya mati-matian dengan mengancam keluarga kita, sedang berada di tempat ini juga."
Rafael membalas tatapan ibunya dengan lirikan, sebelum memandangi Tania yang tengah menegakkan tubuh untuk berdiri tegak.
“Tidak usah, Mam. Tidak perlu menghabisinya sampai membuat ia mati. Cukup membuatnya sakit dan sakit sepuas kita, perlahan juga dia akan mati tanpa harus mengotori tanganku dan Mamah.”
Tania menggelengkan kepalanya tidak percaya. Selalu seperti ini dari kejadian ke kejadian berikutnya, dan dari waktu ke waktu sampai sudah hampir delapan tahun keluarga itu menyiksanya di sini, di tempat yang selalu sama.
Ia berbalik. Kedua kakinya dengan lebar-lebar mulai melangkah mendekati pintu kaca yang sekarang berada beberapa meter di hadapannya. Tania tidak peduli lagi dengan lontaran-lontaran penuh memojokkan yang saat ini lebih banyak disuarakan oleh ibu dari Rafael; biang masalah hidupnya selama delapan tahun belakangan ini. Berawal dari rencana sialan Rafael sampai Rangga berhasil merenggut harta paling berharganya sebagai perempuan.
Tania menarik gagang pintu berwarna putih perak yang berbentuk silinder cukup panjang. Saat pintu itu terbuka, Tania dapat menangkap keberadaan Ilham dan Morgan yang tengah berbincang di meja kebesaran milik Maurin dengan raut wajah serius.
Tanpa berbalik, Tania menutup pintu itu dan melangkah ke arah dua pemuda yang ternyata benar menungguinya di depan ruangan Rafael.
Belum ia bersuara memanggil nama salah satu dari dua pemuda itu, kepala Morgan sudah bergerak ke arahnya. Ia hanya bisa menampilkan senyum tipisnya menutupi semua kesakitan yang ia rasakan sekarang, walaupun kesakitan itu tidak bisa ditutupi karena memiliki bekas di atas kulitnya.
“Astaga, Tania.. Kau sampai seperti ini?”
Morgan segera berlari menghampiri Tania dengan tergesa-gesa. Kedua tangannya memegang bahu wanita itu sampai dia berhenti melangkah. Ia membolak-balikkan tubuh Tania ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan tubuh Tania yang lain.
“Bibir dan tanganmu berdarah. Persetan! Cepat, aku dan Ilham obati sekarang.”
Tania hanya membisu ketika rangkulan Morgan terasa di atas kedua bahunya. Satu tangan yang kokoh itu menyalurkan suatu penompang jiwanya yang kini mulai meluruh ke dasar bumi. Ia tidak pernah tahu sampai kapan ia harus seperti ini, dan ia juga tidak akan selalu dilindungi oleh sahabat-sahabatnya. Ada kalanya semuanya berakhir, Tania belum siap untuk menghadapinya seorang diri.
“Maurin, apa aku boleh membunuh majikanmu sekarang juga?” Ilham memandangi kondisi Tania dengan pandangan kilat amarah. Kepalanya memutar ke arah Maurin yang sudah berdiri sejak melihat Tania keluar dari ruangan Rafael.
“Kalau saja tidak ada hukum tentang seseorang yang membunuh orang lain, aku sangat bersedia membantumu, Ham.”
“Bagus!”
Ilham memapah Tania di sisi kiri saat tubuh wanita itu sudah sampai di sebelahnya. Ia merangkul lengan kiri Tania untuk membawanya agar bisa tetap berjalan tegak.
“Tania, maaf aku tidak bisa membantumu dahulu. Aku harus menemani Rafael untuk rapat lanjutan. Kalau sudah selesai, aku akan menemuimu.”
“Terima kasih, Rin.”
Tania mulai dipapah dua teman di sampingnya menuju lift karena ruangan pegawai kebersihan berada di lantai dasar, sedangkan sekarang mereka berada di lantai enam. Situasi sekitar masih sepi, karena waktu istirahat pegawai masih tersisa setengah jam lagi. Jadi Tania tidak perlu menundukkan wajahnya untuk menghilangkan pengamatan orang tentang kondisi berdarah-darahnya seperti saat ini.
Ketiganya masuk ke dalam lift yang bermodel kamar. Morgan yang berada di sisi kanan menekan tombol bergambar panah ke bawah kemudian menekan tombol bertuliskan angka satu. Pintu lift segera tertutup dan ketiganya hanya terdiam tanpa membicarakan apa yang baru saja terjadi.
Saat pintu lift terbuka, Morgan dan Ilham tetap setia memapah Tania untuk mengantar wanita itu sampai di ruang kerja mereka. Ketiganya berbelok ke kanan saat keluar melewati pintu lift.
“Gan, Ham, sudahlah. Aku bisa berjalan sendiri. Lukaku tidak terlalu parah.”
“Wajahmu pucat, Tania.” Morgan menimpalinya, mengindahkan permintaan Tania.
“Tapi, Gan—“
“Jangan cerewet, Tania! Kita berdua melakukan ini, pun demi kebaikanmu. Bagaimana kalau kau tiba-tiba pingsan?” Kini giliran Ilham yang menyela ucapan Tania.
“Ilham dengar, aku tidak akan ping—“
“Tania!”
Tania menghentikan langkahnya. Ia melepas rangkulan Morgan di bahunya juga rangkulan Ilham di tangan kirinya sebelum berbalik untuk menatap seseorang yang memanggil namanya.
Ia berbalik diikuti Ilham dan Morgan sepersekian detik kemudian. Ketika ia selesai berbalik, secepat itu pula ia merasakan dua telapak tangan kini memegang lengan atasnya dan menggerakkan pelan masing-masing lengannya.
Seseorang yang memanggil namanya barusan sudah mengamati kondisinya dengan napas yang terdengar sekali memburu.
Astaghfirullahal’adzim! Kenapa sikutmu berdarah, Tania? Wajahmu—“
Tania meringis sakit ketika merasakan dua telapak tangan yang berukuran besar itu menggerakkan sedikit kedua pipinya ke kanan dan ke kiri. “Berdarah, bengkak. Siapa yang melakukan ini?”
“Sudahlah, lebih baik kau lanjutkan pekerjaanmu. Aku ingin mengobati ini.”
Tania ingin mengangkat dua telapak tangannya untuk menepis dua telapak tangan Rangga–seseorang itu—kalau pria itu tidak menimpali ucapannya secepat kilat. “Aku bisa menghentikan rapat itu jika kau tidak menjawab pertanyaanku barusan. Apa Rafael yang membuatmu seperti ini?”
“Memang Rafael.” Ilham menjawabnya datar.
Rangga mengalihkan pandangannya pada wajah Ilham yang terpasang kurang mengenakkan padanya. “Kalian tahu, kenapa kalian tidak menengahinya?”
Ilham menyemburkan tawa renyahnya. Sungguh, ini pertanyaan yang sangat lucu. “Kalau sejak lama aku bisa menengahi mereka, mungkin aku sudah menancapkan pisau atau bahkan menodongkan pistol pada keparat itu.”
“Ilham! Sopanlah, dia pimpinan besar.” Morgan menyadarkan Ilham dengan melirik sinis pemuda itu sambil menyenggol sikutnya pelan.
“Tidak apa-apa. Kurasa, teman Tania, teman kita juga.”
Ilham dan Morgan mengalihkan pandangan mereka ke belakang tubuh Rangga saat keduanya menyadari bukan pria kesayangan Tania yang menyambar ucapan Morgan. Dahi keduanya berkerut, mereka menangkap sepasang insan yang berdiri tiga langkah di belakang Rangga. Pakaian mereka sejenis dengan pakaian yang dikenakan Rangga sekarang.
Tidak hanya mereka, Tania pun sama mengalihkan pandangannya dari wajah Rangga dengan sedikit menongolkan kepalanya dari samping kanan tubuh Rangga. Dua matanya membulat saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut sekaligus melihat satu orang perempuan di sebelahnya.
“Reza? Thella?”
Seorang perempuan yang Tania panggil Thella melambaikan tangannya. “Hai, Tania! Apa kabar?”
Tania menampilkan senyum lebarnya. Refleks, ia mendorong pelan tubuh Rangga ke samping kiri.
Rangga melepas dua telapak tangannya dan memindahkan posisi tubuh menjadi berada di samping kiri Ilham dan Morgan yang terdiam.
“Baik. Kau bagaimana? Ah, kau semakin gemuk, ya?”
Thella tersenyum. Perempuan ini mempersempit jaraknya di antara ia dan Tania kemudian memeluk wanita itu erat. “Aku baik. Tidak ada yang berubah darimu ya, Tania? Masih saja terlihat selalu ceria.”
Tania tertawa lalu melepas pelukan tersebut. “Ah, bisa saja! Bagaimana anak kalian? Sudah besar, ya?” Ia melirik ke arah Reza kemudian kembali memandang penuh Thella dengan senyumnya yang masih mengembang.
“Kau harus berkunjung ke rumah kami, Tania! Dan lihat, betapa tampannya dia sama sepertiku.” Reza menepuk dadanya bangga.
Tania mengerutkan keningnya bersama bola mata humor. “Aku akan membuktikannya. Kalau dia benar tampan, jaga dia. Aku takut kalau aku tertarik dan menjadikan dia kekasihku.”
Reza membulatkan kedua matanya terkejut. “Dasar gila!” Desisnya.
“Sudah-sudah. Rangga, bawa Tania dan obati dia. Aku dan Reza tinggal ke ruang rapat, ya?” Thella tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya.
“Baiklah. Jika rapat ingin dimulai, hubungi aku. Jangan bilang pada siapapun kalau aku berada di Ruang OB, pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan dan Rafael akan kembali beropini sejahat-jahatnya.”
“Ya, kau tenang saja, Ga. Kalau begitu, aku dan Thella tinggal, ya.”
Tania kembali melangkah pelan ke arah Ilham, Morgan, dan Rangga.
“Kau bisa ke atas saja, Rangga. Ada Ilham dan Morgan yang akan membantuku.”
“Aku ingin membantumu.”
“Selalu keras kepala.”
“Apa kau ingin kita berdua membantumu berjalan, lagi?” Morgan menengahi perdebatan kecil yang mulai tercipta di antara Rangga dan Tania. Kepalanya sedikit menggeleng, ia baru saat ini melihat Tania yang benar-benar memasang wajah menjengkelkan.
“Tidak usah, biar aku yang membantunya.”
Morgan mengangguk diikuti Ilham. Kedua orang itu berjalan terlebih dahulu menuju koridor yang mengarah pada toilet dan ruang pekerja kebersihan yang hanya berjarak beberapa meter lagi.
Rangga mendekati Tania dan mulai memeluk erat pinggang Tania. Wanita itu hanya menghela napas pelan kemudian dengan terpaksa ia mengikuti keinginan pria di sampingnya.
Saat sampai di dalam ruangan, Rangga melirik ke seisi ruang yang sedang dipijaknya sambil tetap menuntun Tania untuk duduk di kursi terdekat. Ia mendudukkan pelan Tania di atas kursi yang tersedia, sebelum Rangga duduk di sebelahnya.
Kepalanya memutar ke berbagai sudut ruangan. “Peralatan di sini lengkap?”
Tania melirik heran ke arah Rangga. “Maksudmu?”
“Bukan apa-apa. Jika ada yang kurang, aku bisa menuntut perlengkapan ruangan dan peralatan kerja pada manajer kalian. Kalau perlu, langsung pada Rafael.”
“Ini P3K-nya, Pak Rangga.”
Rangga menolehkan kepalanya ke arah depan, dan ia dapat melihat satu kotak kecil berwarna putih transparan kini terlujur dari tangan seorang pemuda yang baru saja ia ketahui bernama Morgan.
“Terima kasih. Tapi, apa ada air es di sini?”
Ilham yang tengah menyeduh dua cangkir teh di pantry, menengokkan kepalanya. “Mungkin kau bisa mengajukan lemari pendingin, Rangga. Banyak keluhan pegawai yang ingin menitipkan makanan atau minuman dingin di sini.”
“Ilham, dia pimpinan kita. Tambahkan kata ‘Pak’ setiap memanggil beliau.” Morgan kembali melirik sinis Ilham sambil berbicara dengan nada rendah.
“Aku rasa umurnya hanya berbeda satu tahun lebih tua denganku, dan dia bukannya seumuran dengan Tania? Ibarat sekolah, dia hanya kakak kelas yang berbeda satu tingkat di atasku.”
“Ilham!”
“Ah, tidak apa-apa, Morgan. Aku juga tidak suka yang terlalu formal, dan memang kita semua seumuran, bukan?”
“Rangga saja mengizinkan. Morgan, jangan memarahi adik kecilmu ini lagi, heh?!” Ilham memandang geli ke arah Morgan yang duduk di depan Rangga dan Tania, walaupun terhalang meja berbentuk persegi panjang di sana.
“Oh iya, ini ada air es-nya. Kebetulan sekali tadi kami bertiga membeli es batu di Kantin. Sebentar, teh untuk kalian akan aku antar." Ilham berucap sambil menaruh satu baskom kecil air yang sudah dimasuki sebuah balok es yang kecil beserta satu bungkus tissue berisi 250 lembar.
“Luruskan tangan kananmu.” Rangga mengintrupsi dengan menjulurkan telapak tangan kirinya, sedangkan telapak tangan kanannya bergerak mengambil beberapa lembar tissue dari tempatnya.
Tania menggerakkan lengannya, dan Rangga langsung meraih lengan bawah Tania lalu sedikit memutarnya supaya dia bisa mengobati luka yang berada di sikut Tania.
Rangga mulai membuat lipatan kotak yang tebal pada lima lembar tissue yang berada di tangannya. Selanjutnya, ia mencelupkan benda tersebut ke dalam air es yang sudah mulai menyalurkan kalor leburnya pada air yang bersuhu normal. Setelah itu, ia mulai meletakkan lembaran yang sudah bertumpuk menjadi satu karena tissue-tissue tersebut sudah menyerap air ke arah luka yang berada di kulit Tania.
“Aish! Pelan, Ga. Perih.”
Rangga mengalihkan pandangannya pada wajah Tania yang menampakkan raut wajah kesakitan sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya, membersihkan luka tersebut. “Tahanlah, kau bukan anak kecil lagi. Kau juga bukan perempuan manja.”
Tania mencebikkan bibirnya kesal. “Iya, Baginda.”
Rangga menekan luka Tania sampai wanita itu meringis kencang. “Jangan pernah memanggilku dengan nama apapun selain bagian dari nama lengkapku!” Tegasnya, kemudian Rangga mengganti lembaran yang sudah penuh dengan darah tersebut dengan lembaran padat yang baru atas pemberian Morgan yang membantunya tanpa ia perintah.
Rangga tersenyum tipis bertanda terima kasih, dan Morgan hanya membalasnya dengan anggukan.
“Kau seperti raja yang biasa aku baca di buku cerita dongeng, sukanya memerintah dan memerintah, lalu tidak ingin menerima penolakan.” Tania bersungut sambil memandangi aktivitas yang Rangga lakukan.
“Diamlah.” Sahut Rangga dengan nada rendah.
“Oh iya, Tania! Kau diam saja di sini, biar aku dan Morgan yang membagi tugas untuk menggantikan pekerjaanmu untuk sisa hari ini.” Ilham bersuara. Ia sudah duduk di sebelah Morgan sambil melipat kedua tangannya di atas meja.
Tania mengalihkan pandangannya. “Tidak usah. Kau ingin aku dipergoki Rafael seperti terakhir dia membuat luka pada lututku sebulan yang lalu? Dia meneriaki namaku tanpa tahu malunya.”
“Sekarang kondisinya berbeda, ada rapat dan kemungkinan sampai sore. Benar tidak dugaanku, Ga?” Tanya Morgan kemudian beralih memandangi Rangga yang duduk menyamping sebab mengobati luka di kedua tangan Tania.
“Iya, kemungkinan seperti hari kemarin.” Ujar Rangga yang mulai menetesi luka itu dengan obat merah yang ia pegang di tangan kanannya. Terdengar Tania sedikit meringis pelan.
“Tidak usah takut kalau begitu, Tan.” Tutur Ilham.
“Ikuti perintahku! Kalau dia kembali melukaimu seperti ini, tendang saja selangkangannya.”
Ilham dan Morgan seketika tertawa renyah, ditambah melihat ekspresi Rangga yang tetap terlihat polos.
“Aku setuju dengan perintah Rangga. Lakukanlah mulai sekarang, Tan!” Morgan menyahut dengan sisa tawa yang masih terdengar keras.
“Ya! Kau gila, Rangga!”
Rangga menghentikan aktivitasnya mengobati luka di sikut tangan kiri Tania. Ia memandangi wajah Tania dengan dahi berkerut. “Kenapa kau tidak setuju sedangkan kedua sahabatmu saja sudah tertawa keras?”
“Mereka memang gila!”
“Aku serius menyuruhmu untuk menendangnya. Biar tidak ada lagi generasi iblis di keluarga kami. Percuma bila kami ada generasi penerus, namun seperti Rafael. Hanya akan menjadi sampah di bumi ini.”
“Kau benar, Rangga!”
“Ide brilliant!”

Morgan dan Ilham tetap saja melanjutkan tawa mereka, berbeda dengan Tania yang sudah merengut sebal dan Rangga yang dengan polosnya tetap mengobati luka Tania dalam diam.





###

MINE | BAB 3. Without You Know

Author Point Of View



Tania mengalihkan pandangannya ketika menangkap suara gaduh yang bersumber dari arah pintu ruangan. Kedua matanya sekarang menyipit, Ia melihat beberapa orang masuk ke dalam restaurant ini.
“Apa itu rombongan perusahaan keluargamu?”
Tania bertanya tanpa melirik. Tubuhnya terlalu kaku digerakkan ke arah Bisma. Ia lebih menantikan sebuah wajah laki-laki yang selama ini menjadi alasannya untuk berada dalam tekanan Rafael.
“Jangan mencirikan kalau kau berada di sini dan mengintai mereka, Tania. Kau bisa dianggap musuh dan ditarik pengawal Rafael keluar dari restaurant ini.”
Sepasang alis Tania menyatu. Perkataan Bisma barusan berhasil membuat Tania menolehkan kepalanya ke arah lelaki itu. “Aku tidak mengintai Rafael.”
“Aku tahu. Kau mengintai Rangga, bukan?”
Bisma menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Kedua matanya menangkap raut tak suka dari wajah wanita di depannya.
“Aku tidak mengintai Rangga. Aku hanya ingin tahu dia yang sekarang.”
“Dia sama saja seperti yang terakhir kau lihat, Tania.”
“Apa jabatan dia di perusahaan keluargamu?”
Bisma mengerutkan dahi, dan ekspresi itu dapat Tania lihat karena ia masih memandangi lelaki di depannya.
“Kenapa kau menanyakan itu?”
Tania menaikkan kedua alisnya. Ia kembali memandang ke arah beberapa orang yang mulai menduduki kursi di setiap sisi meja panjang di tengah ruangan.
 “Aku hanya bertanya. Tinggal jawab saja, apa susahnya?
“Apa kau ingin agresif mendekati Rangga ketika tahu jabatan yang saat ini dipegangnya?”
Bisma balik bertanya dengan nada yang tidak enak didengar.
Tania menatap Bisma sangsi. Ia bisa menduga maksud dari ucapan lelaki itu, di mana dia menyamakan Tania dengan wanita-wanita super materialistis di zaman sekarang.
Bisma memang memuakkan malam ini!
“Kau pikir ketika aku bersedia menunggunya, dia sudah seperti sekarang? Waktu itu dia hanya seorang mahasiswa baru, Bis."
Tania mengalihkan pandangannya, dan di saat itu pula Tania dapat menangkap pergerakan Rafael sedang tersenyum ramah sambil berbincang dengan seorang pria paruh baya di sebelah pemuda itu. Mereka berdua masuk setelah dua orang pria bertubuh besar terlebih dahulu melangkah di depan mereka.
Satu detik kemudian, Tania bisa menangkap pergerakan seorang laki-laki yang begitu percaya dirinya memasuki ruangan besar ini seorang diri. Laki-laki itu memasukkan dua telapak tangannya pada masing-masing saku celananya yang Tania duga berbahan katun.
Tidak ada senyum, hanya raut wajah tanpa ekspresi yang tersaji sampai laki-laki itu duduk di kursi yang berhadapan dengan Rafael.
Apa dugaanku benar, Rangga adalah sosok pemuda yang disorot media Indonesia, karena dia menjadi tim relawan dalam erupsi gunung berapi di Jawa Timur dua tahun lalu? Di sana dia menyumbangkan dana bantuan yang besar dan mulai saat itu banyak yang mengidolakannya. Satu lagi— apa Rangga merupakan sosok General Manager yang menggantikan ayahnya untuk rapat tahunan kali ini, Bis?”
Tiga pertanyaan yang merujuk padanya itu membuat Bisma menghela napas pelan. Tidak bisa dipungkiri, kedua mata wanita di hadapannya benar-benar tidak bergerak sama sekali. Bisma yakin, Tania sudah mendapat apa yang ingin wanita itu lihat sejak tadi.
Bisma tidak bisa mengamati apa yang dilihat Tania sekarang. Ia sengaja duduk membelakangi target pengamatan Tania. Kalau Bisma duduk menghadap ke arah mereka, pasti ia akan diperintah bergabung dan meninggalkan Tania sendiri di meja ini.
“Iya, untuk semua pertanyaanmu.” Sahut Bisma pelan.
Lelaki ini tidak bisa menampik perasaannya yang mendadak disusupi berton-ton es saat ia mendapati kedua mata Tania mulai berkaca-kaca.
Selama ini ia berusaha mengerti apa yang dirasakan wanita itu. Walaupun Bisma tahu, ia tidak akan pernah lebih mengerti daripada perasaan wanita itu sendiri. Karena hal itu, Bisma tidak pernah ingin ada setetes pun air mata jatuh menuruni pipi wanita yang sangat disayanginya, wanita di hadapannya.
Apakah Bisma mencintai Tania?
Ia mengangkat sebelah tangannya. Lalu dengan perlahan, Bisma meraih dagu Tania dan mengarahkan wajah itu untuk bisa ia lihat sepenuhnya.
Tidak ada kata bahagia saat menatap wajah Tania yang menyiratkan perasaan tecabik-cabik. Dan Bisma, tidak bisa berbuat apa-apa.
Kau terlihat sangat kecewa, Tania.”
Bisma mengusap sebelah pipi tembam Tania dengan satu ibu jarinya. “Aku tahu kau kuat. Bertahanlah dan hadapi apa yang akan menjadi tantanganmu seperti biasanya.”
Tania membuka bibirnya tanpa suara, bermaksud mengucapkan sesuatu. Namun ia tidak bisa, otak dan hatinya tidak berjalan searah.
Hatinya berkata bahwa ia amat merindukan laki-laki yang kini duduk menghadap ke arahnya, walaupun posisi mereka sedikit jauh. Tetapi otaknya bersuara lain, ia berpikir bahwa Rangga terlihat tidak mempedulikannya lagi. Buktinya, dua kali Rangga ke Indonesia dan bahkan saat menjadi relawan selama beberapa minggu, lelaki itu tidak sekali saja menghubunginya.
Padahal Tania yakin, Rangga memiliki nomor ponselnya, dan ia juga tahu bahwa beberapa akun media sosial miliknya masih berteman dengan akun milik lelaki itu.
“Apa ini tanda bahwa aku harus mundur perlahan, Bis?”
Tania menarik kecil kedua ujung bibirnya. Bukan senyum sumringah, ini adalah senyum meratapi nasib.
Pandangan Tania mulai buram.
Sebuah usapan yang kini terasa di pipi kanannya menjadi penghilang keburaman itu. Tania sekarang bisa menatap wajah Bisma yang tidak tersenyum sama sekali, namun usapan itu menyalurkan sebuah kehangatan yang memeluk hatinya yang kini mengerut sakit.
Tetesan demi tetesan air kini Tania rasakan menuruni kedua pipinya, dan dengan sigap juga Bisma kembali menghapus air mata itu seperti yang biasa lelaki itu lakukan sejak ia ditinggal oleh seorang pemuda bernama Rangga Dewamoela Soekarta.
Delapan tahun. Selama itu, Tania juga tidak pernah menyangka.
“Jangan menangis. Dia akan marah padaku jika melihat kau menangis di depanku, Tania. Tahan air matamu, kau akan menunjukkan kelemahan yang semakin membuat Rafael menang di atasmu.”
“Rangga tidak akan melihatku. Dia berubah, Bisma.. Dia sudah berubah seperti semula. Rangga tidak akan pernah menganggapku ada seperti waktu itu.”
“Tapi aku sangat yakin dia menyadari keberadaanmu sekarang.”
Tania menggigit kuat bibir bawahnya. Ia ingin menangis kencang dan berteriak sesukanya di detik ini juga. Ia ingin terisak kuat dan tertidur di atas tempat tidurnya.
“Izinkan aku untuk kembali menghapus air mata di kedua pipimu, Tan.”
Tania tidak menjawab apa-apa.
Bisma dengan telaten menghapus air mata Tania yang terus saja menuruni kedua mata wanita itu. Tubuhnya harus menyorong ke depan sampai dadanya menyentuh sisi meja yang berbentuk bundar sempurna.
“Jangan menangis, aku tidak ingin kau menangisi laki-laki yang tidak memberikan kepastian padamu selama ini, Tan.”
Tania memejamkan kedua matanya. Rongga dadanya kini membusung disusul udara yang kini dihirupnya banyak, sebelum ia kembali menghembuskan napasnya secara perlahan.
Kedua kelopak matanya kembali terbuka. “Terima kasih, Bis.” Tuturnya besama senyum tipis yang ia tampilkan.
Bisma menjauhkan kedua telapak tangannya. Ia tersenyum lebih lebar daripada Tania. “Sama-sama.”
Tidak lama, dua pelayan datang menghampiri meja keduanya dan mereka mulai makan bersama. Bisma yang ingin Tania melupakan keberadaan Rangga di tempat ini, mulai membuka obrolan-obrolan ringan untuk mengalihkan sementara pikiran wanita itu. Beruntung sekali, Tania juga menanggapinya seperti biasa mereka berbincang ketika bertemu seperti biasanya.
Sekitar satu setengah jam, mereka baru berniat meninggalkan meja mereka. Hal ini juga sengaja Bisma dan Tania siasatkan agar mereka tidak berbentrokan waktu dengan pihak perusahaan Bisma dan keluarga–terutama Rangga—yang akhirnya sudah pulang sekitar lima belas menit yang lalu.
Setelah Bisma membayar biaya makan mereka berdua, lelaki itu menahan Tania untuk tetap duduk di kursinya. Bunyi ponsel memang terdengar berdering sejak tadi.
Tania segera mengerti.
Tidak sampai satu menit, Bisma kembali mengantongi ponselnya. Tatapannya kini langsung bersiborok dengan mata Tania yang sudah memandangnya bertanya.
“Tan, maaf, aku disuruh pulang sekarang juga. Entahlah ada apa, katanya ada pertemuan keluarga mendadak. Kau tidak apa-apa pulang sendiri?”
Tania sedikit menipiskan bibir bawahnya. Tangan kirinya terangkat untuk melihat pukul berapa saat ini, dan benda itu menunjukkan jarum panjangnya di angka dua belas dan jarum pendeknya di angka delapan.
“Ya sudah. Aku juga bawa motor sendiri. Kau hati-hati, ya!”
Tania mulai beranjak berdiri diikuti Bisma. Keduanya mulai melangkah ke arah pintu restaurant. Wanita di sebelah Bisma melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kau tidak marah, kan?”
Tania menolehkan kepalanya sambil tetap berjalan. “Tidak. Ya sudah, aku duluan, ya!”
“Hati-hati. Setelah sampai di rumah, hubungi aku.”
“Baiklah!”
Bisma dan Tania melanjutkan langkah mereka dengan berlawan arah. Bisma ke arah kiri dan Tania ke arah kanan.
Tania merasakan ponselnya bergetar ketika sebentar lagi akan sampai di samping motornya yang terparkir di bawah sebuah pohon akasia.
Ia segera merogoh saku celananya dan menatap layar ponsel untuk tahu siapa yang menghubunginya.
Si anak menyebalkan yang selalu membuat Tania keki di rumah; Gio Darmawangsa Soebrata, menghubunginya.
“Asalamu'alaikum, kerdil!”
Sapaan pertama Gio yang mampu membuat Tania mendecak kesal.
“Wa’alaikumsalam, kurcaci!"
“Kak, kau bawa uang lebih tidak hari ini?”
“Bawa. Ada apa?”
Belum Tania mendengar jawaban Gio di ujung ponsel, ia mendengar suara klakson dari arah samping kirinya. Tania mengalihkan tatapannya dari speedometer yang ia tatap sejak mengangkat panggilan dari Gio.
Bisma sudah bersiap pergi dari sini.
“Sampai jumpa, Tania!”
“Iya.”
Tania membalas senyum Bisma sebelum mobil itu mulai melaju meninggalkannya seorang diri.
“Belikan dua porsi pecel ayam dan dua porsi pecel lele di tempat biasa, ya! Kata ayah, nanti ayah ganti uangnya. Jangan lupa pakai nasi.”
“Empat porsi? Bilang pada ayah, aku sudah makan di luar bersama Bisma.”
“Yeee, aku tidak menghitung porsimu, kerdil! Aku juga bisa menebak kau makan di luar bersama Kak Bisma sampai semalam ini belum pulang juga.”
Tania memajukan bibirnya. Jahat sekali sepupunya itu! Bahkan porsi makan malam keluarga Om Darma yang dipesan tidak menghitung keberadaannya di rumah itu.
“Kau jahat! Tidak mengingatku, heh? Setidaknya kau memesan lima porsi lalu bertanya apakah aku sudah makan atau belum.”
“Aku bukan kekasihmu yang dengan niatnya menanyakanmu apakah kau sudah makan atau belum.”
Kurcaci sialan!
Tania sampai menghentakkan kedua kakinya atas ucapan Gio yang bisa disebut sebuah sindiran.
“Omong-omong, apa dua porsi pecel lele itu untukmu?”
“Ya! Dan jangan banyak tanya, cepatlah sampai rumah. Aku lapar.”
“Bocah kurang ajar! Sampai di rumah, kuberikan lele-mu pada burung merpati peliharaan ayah.”
“Dia tidak suka makan ikan lele. Cepat sampai, kerdil! Wassalamu'alaikum.”
Belum saja Tania menjawab salam, panggilan itu sudah ditutup sepihak oleh sepupunya yang selalu saja membuat Tania kesal setiap hari.
Ia mendengus kasar sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kembali.
Karena telepon sepupunya itu, Tania harus menggunakan helm dan mengemudikan motornya dengan sisa keki di dalam hati. Ia terus menyumpah-serampah Gio yang sudah tinggal satu rumah dengannya sejak ia berumur sebelas tahun.
Tania berdoa, semoga Gio selalu ditolak cintanya oleh banyak gadis yang disukai remaja berumur enam belas tahun itu.


###


Akibat pesanan Gio dan kedua orang tua angkatnya, Tania harus keluar dari dalam tenda penjual berbagai pecel saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tempat langganan keluarga mereka tengah ramai-ramainya malam ini, dan Tania kembali harus menunggu satu jam suntuk demi empat porsi makanan yang tidak ada untuknya sama sekali.
Tania mendekati posisi motornya yang terparkir di samping tenda penjual pecel tersebut. Ia menggantungkan dua kresek hitam berukuran sedang pada sebuah gagang kecil di bawah dashboard.
Saat menggantungkan kresek, Tania menangkap ada hal yang tidak beres dari kondisi ban depan motornya. Ia menegakkan tubuh dan melangkah ke arah depan ban itu.
Tania berjongkok lalu menekan permukaan karet ban tersebut.
“Sial!”
Tania memukul ban motornya sebelum ia berdiri sambil berkacak pinggang. Kedua matanya kini memandang nanar ke arah sekeliling sebelum meratapi ban motornya yang entah kurang angin atau bocor tertancap paku.
Dengan sisa tenaga yang ada, Tania mulai mendorong motornya di sisi jalan besar yang masih ramai dilewati oleh banyak kendaraan. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, berusaha mencari tukang tambal ban yang belum diketahui masih menggelar lapaknya atau tidak. Waktu semakin malam dan Tania tidak yakin ada tukang tambal ban pinggir jalan yang masih buka.
Tania mendorong motornya pelan, ia sudah merasakan pegal di sekujur tubuhnya. Jalan raya yang ia pijak saat ini memang sangat panjang. Tania memperhitungkan sisa panjang jalan dengan posisinya sekarang, dan ia memperoleh hipotesis waktu untuk perjuangannya saat ini.
Lima belas menit lagi.
Ia bersumpah akan menghubungi Om Darma untuk merepotkan ayah angkatnya jika tidak ada tambal ban sampai di penghabisan jalan.
“Apa lebih baik aku menghubungi Bisma saja, ya?” Tania menggumam.
Kecepatannya dalam mendorong motor semakin lama semakin pelan. Pikirannya kini mulai berkelana untuk menghubungi Bisma dan meminta bantuan lelaki itu. Tetapi logikanya berkata bahwa ia tidak ingin mengganggu acara Bisma.
Tania menghentikan aksinya. Ia men-standar motornya lalu mengusap peluh yang menuruni pelipisnya. Membuang napas pelan sambil memandang malang kondisi sekitar yang bisa terjangkau mata, Tania tidak menemukan sama sekali apa yang dicarinya.
Percayalah, mendorong motor selama lima menit saja sudah membuat kepala Tania terasa pusing. Bagaimana dengan satu kilometer yang harus ia tempuh lagi di depan?
Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Sambil duduk di jok motornya, Tania mulai melepas sweater yang dikenakannya. Tubuhnya sudah bermandi keringat, dan ia tidak mungkin gila masih memakai pakaian berkain tebal itu.
Apa tidak ada dewa penolong yang ingin membantunya? Siapa saja. Tania sudah mulai merasa tubuhnya pegal.
Tania beranjak berdiri ketika ingat, ada tukang tambal ban yang biasa buka jika ia pulang sore hari di tikungan jalan.
Perkiraannya, sepuluh menit lagi harus ia perjuangkan untuk membawa motornya pada bengkel di ujung jalan.
Tania ingin saja mendorong kembali kendaraannya kalau tidak ada sebuah mobil yang dengan serampangan berhenti menghalangi jalannya.
Apa tidak ada lahan lain untuk parkir mobil?
Tania ingin saja berteriak protes ketika pintu mobil itu terbuka. Saat wajah pengemudi mobil itu terburu menengok ke arahnya, bibir Tania segera terkatup cepat.
Pengemudi berjenis kelamin laki-laki itu keluar dari mobilnya dan mendekati Tania.
“Benar dugaanku. Kau belum meninggalkan jalan ini, Tania.”
Pria itu meletakkan salah satu telapak tangannya di atas kaca penunjuk kilometer motor Tania lalu menatap wajah itu dalam diam.
Tania bergeming, keberadaan pria yang tiba-tiba hadir di depannya itu membuat sekujur tubuhnya bertambah lemas. Kedua matanya tanpa ia sadari melirik ke bawah, di mana ia bisa menangkap pria itu menggunakan sepatu sneakers putih bergaris biru yang menjadi alas kaki pria itu.
Menelusuri ke atas, pria itu menggunakan celana jeans berwarna biru gelap yang menutupi sampai atas tempurung lutut.  Pria itu juga mengenakan pakaian atas kaos hitam polos dibalut kemeja bermotif kotak warna hitam dan merah.
Sekarang, tatapannya berhasil sampai di wajah pria itu. Parasnya hampir sama saja seperti terakhir ia melihatnya. Hanya bertambah dewasa, itu yang Tania dapatkan.
“Tan, jangan diam saja. Aku Rangga, bukan orang jahat yang biasa modus membantu orang kesusahan di pinggir jalan.”
Hati Tania sudah bebal hari ini. Tidak ada rasa sakit dan bahkan rasa apapun yang muncul di hatinya seperti tadi ia pertama kali melihat sosok Rangga di restaurant.
Tania menghela napas.
Singkirkan tubuhmu! Aku ingin mendorong motorku!” Sentak Tania. Sirat pandangannya yang lemah berbanding terbalik dengan ketegasan suaranya barusan.
Rangga menautkan kedua alisnya heran. “Kau masih keras kepala, heh? Tukang tambal ban di depan sudah tutup, Tania!”
“Darimana kau tahu?"
“Setelah makan malam tadi, aku sempat melewati tempat itu. Dan tidak usah 'sok tidak tahu kalau kau tadi pun tahu aku berada di restaurant yang sama dengan kalian. Aku selalu mengawasimu."
Tania menyipitkan kedua matanya. “Termasuk waktu aku menangis?”
“Semuanya.”
Tania memutar kedua bola matanya malas.
“Dan aku tidak suka saat Bisma menyentuh milikku sesuka hatinya. Hanya pipi dan telapak tangan saja, kan? Dia tidak menyentuh punyaku yang lain?”
Rangga mendekatkan wajahnya, kemudian mensejajarkan untuk berada tepat di depan wajah Tania. Wanita yang sudah dipantaunya sejak tadi petang.
Dua bola mata Tania kembali memutar ke arah Rangga. Tadinya ia ingin memprotes cepat ucapan Rangga barusan. Namun saat ia kembali memandang wajah Rangga, Tania langsung berjengit ketika menyadari hampir tidak ada jarak di antara wajah mereka.
Tania menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia juga harus menetralisir degup jantungnya yang mulai tidak beraturan.
“Kau pikir aku wanita murahan yang dengan bodohnya memberikan tubuhku pada seorang pria yang bukan muhrim? Dan aku bukan milikmu, Rangga!”
Rangga menjauhkan wajahnya.
“Kau milikku, Tania. Agama dan negara akan meresmikannya sebentar lagi. Semoga kita diberi jalan jodoh yang cepat oleh Allah. Berdoalah jika kau menginginkan semua ini, seperti aku yang selalu mendoakan untuk kita berdua, terutama untukmu."
Ingin sekali Tania menyela ucapan Rangga ketika di awal, namun saat lelaki itu menyelesaikan kalimatnya, Tania tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Otak dan hatinya seolah terpaku atas lontaran Rangga barusan. Ditambah senyum tulus lelaki itu di akhir kalimat, Tania merasa sangat berdosa karena selama ini selalu mengutuk Rangga.
Tapi, apakah omongan Rangga benar sesuai kenyataan?
“Sudahlah. Singkirkan mobilmu dan aku ingin mendorong motorku kembali. Waktu sudah semakin malam, Rangga.”
Rangga menghela napas pelan. “Kau ingin mendorong motormu sampai rumah? Di sini jarang ada warung tambal ban 24 jam, Tan. Kau diam sekarang dan aku hubungi satpam perusahaan Rafael untuk mengambil motormu dan menaruhnya di sana.”
“Tapi, Ga—“
“Kau hafal sifatku, bukan? Aku tidak pernah menyukai penolakan, Tania.”
Tania bersedekap dada. Wajahnya yang kesal mendukung indra penglihatannya yang sudah memandang pria itu seakan ingin mengulitinya sekarang juga.
Rangga menempelkan ponsel di telinga kanannya sambil membalas tatapan sengit Tania dengan tatapan tanpa ekspresi. Ia memang sengaja membalas pandangan wanita itu biasa saja, dan akan terus berniat memandang wajah itu sampai Tania sendiri yang memalingkan wajah.
“Bisa dua di antara kalian menuju ke Jalan Dewi Sartika, sekarang?”
“Saya ingin kalian kemari secepatnya! Di sebrang mini market Lisa, kalian bawa motor Tania. Bannya bocor. Besok, sebelum kalian pulang shift malam, bawa ke bengkel dan tambal bannya atau bahkan ganti dengan ban yang baru. Kalian akan saya beri uang tambahan.”
“Jangan lama.”
Rangga menaruh ponselnya kembali di saku celana.
“Beres, kan?” Tanyanya sambil mengangkat kedua bahu.
“Ya— kau pasti selalu menang dalam hal seperti ini.”
Tania mendudukkan tubuhnya di atas jok motor. Kepalanya menoleh ke arah Rangga yang berdiri di depan motor.
Pria itu sudah memandangi wajahnya.
“Kapan kau sampai?”
“Semalam. Kau tahu, semua ini begitu melelahkan. Andai aku bisa mengamuk untuk menolak keputusan waktu itu, aku tidak akan sepusing ini.”
Kedua mata Tania beralih menatap ke arah langit. Tidak terlihat ada bintang di atas. “Jalani saja yang ada. Kau sudah dewasa.”
Rangga menghembuskan napas pelan. Kepalanya mengikuti kemana arah pandang Tania.
Ia terdiam sesaat.
“Tidak selalu kedewasaan itu hadir. Ada kalanya seseorang yang berumur matang juga bisa kekanak-kanakan.”
“Mencobalah selalu dewasa, Ga. Takdirmu mungkin sudah seperti ini.
“Apa kau bisa selalu berpikir dewasa?
Aku juga masih belajar. Tapi aku selalu mencoba dewasa, terutama saat rintangan hidup terus-menerus menyandungku untuk terjatuh dan ingin menjebakku agar aku lebih memilih takluk pada mereka.”
Rangga menurunkan wajahnya. Ia menoleh ke arah Tania. Wajah wanita itu masih mendongak, memperlihatkan tulang rahangnya yang sangat tercetak jelas di bawah kulit putih tersebut. Garis wajah wanita itupun tidak secerah waktu ia terakhir melihatnya.
Ujian hidup berbanding lurus dengan kemampuan. Semua pasti ada jalan keluarnya. Allah tidak akan menguji manusia melebihi batas kemampuan hamba-Nya dalam menyelesaikan.”
“Kalau kau tahu, kenapa kau mengeluh?”
Tania menurunkan dagunya. Sendi putar lehernya bergerak untuk memandang wajah Rangga yang sudah memandanginya dalam. Pusaran mata tajam lelaki itu bukan menghasilkan reaksi nyalinya yang ciut, tetapi Tania merasakan sebuah perasaan cinta yang tidak pernah ia dapatkan dari semua manusia yang pernah ia temui.
“Apa kau merindukanku selama ini?”
Tania mengerutkan kening. "Kenapa kau menanyakan hal itu?"
Apa ada yang salah?"
Tania menggelengkan kepalanya singkat.
"Kau juga terlihat kurus. Bukannya kau hobi makan? Kembalilah berisi, aku lebih menyukai tubuhmu yang gemuk, Tan.”
“Banyak wanita yang ingin kurus sepertiku, Ga.”
“Tapi aku lebih menyukai bentuk tubuhmu saat SMA.”
“Di pertemuan pertama kita setelah delapan tahun kepergianmu, kau terlalu banyak mengeluarkan kata yang buatku tidak terlalu penting.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa selama ini kau merindukanku?”
Tania membentuk sebuah senyum simetris di hadapan wajah Rangga yang kini terlihat sekali menuntut jawaban.
“Hanya doa yang aku panjatkan ketika aku tidak bisa meligatkan rindu di depan orang yang kurindu.”
“Saat kau sudah berada di depannya, apa kau akan menyampaikan kerinduanmu itu?”
Tania menarik satu ujung bibirnya ke atas lalu membuang pandangan ke lain arah. “Ada beberapa alasan yang membuatku tidak bisa mengatakannya.
Apa saja alasan itu?
Tania tidak menggubris pertanyaan Rangga. Ia lebih tertarik saat kedua matanya menangkap sebuah motor bebek menghampiri mereka, dilengkapi dengan dua orang di atasnya yang mengenakan pakaian seragam satpam.
“Mereka datang!” Seru Tania sambil menunjuk sebuah motor yang kini mulai berhenti di belakang motornya. Setelah memarkirkan kendaraan mereka, dua orang itu turun dan langsung berhadapan dengan Rangga yang sudah menampilkan gaya bahasa sebagai seorang pemimpin, itu yang Tania tangkap.
"Dimana, Pak, motor yang harus saya dan Yusuf bawa?"
Rangga langsung melirik ke arah Tania, bermaksud mengintrupsi wanita itu untuk beranjak berdiri dari sana.
Tania mengerti. Ia mengambil dua bungkus kresek hitam yang tergantung di bawah dashboard motornya kemudian beranjak berdiri.
"Tidak hilang, kan motornya?"
Salah satu satpam yang memakai tanda nama bertuliskan Yusuf kini tersenyum santun. "Tidak, Dik Tania. Tenang saja, motormu aman."
"Saya titip ya, Pak. Helmnya juga."
Tania melangkahkan kakinya untuk berdiri di belakang Rangga. Salah satu di antara dua satpam itu mulai menaiki motor Tania lalu mengenakan helm-nya.
Satpam paruh baya bertanda nama 'Sugandi' langsung menyalakan mesin motor Tania.
"Pak! Jangan dibawa jalan! Nanti pelk-nya rusak."
"Bisa, dik, asal pelan-pelan. Dari sini ke kantor, kan dekat."
"Oh iya, Pak Gandi! Ini uangnya."
Rangga mengambil sebuah dompet dari saku belakang celananya. Dari benda berbahan kulit yang berwarna coklat tua itu, Rangga mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. "Ini untuk mengganti ban motor. Sisanya terserah Bapak."
"Ini tidak terlalu banyak, Pak Rangga?"
"Tidak apa-apa. Saya justru berterima kasih karena dibantu."
"Sama-sama, Pak Rangga. Kalau begitu, kami permisi, Pak, Dik Tania."
Rangga membalasnya dengan tersenyum, begitupun Tania yang diiringi dengan anggukan.
"Ayo ke mobil!"
Tania menolehkan kepalanya saat Rangga sudah berbalik dan melangkah untuk masuk ke dalam mobil milik pria itu.
Tania mencebikkan bibir. Kakinya perlahan melangkah, ragu sebenarnya ketika ia memandang badan mobil Rangga yang begitu terlihat mencolok. Ia merasa tidak pantas, apalagi mengingat kondisi tubuhnya yang sudah bermandikan peluh ditemani pakaian seragam kerjanya yang lusuh. Tania menghentikan langkahnya.
Berbeda dengan Rangga yang sekarang diliputi rasa penasaran. Satu menit sudah ia di dalam dan menyalakan mesin mobilnya, tetapi Tania juga belum masuk dan duduk di sampingnya.
Akhirnya, Rangga menekan tombol otomatis pembuka kaca jendela yang berada tepat di sebelah tangan kanannya. Saat kaca itu terbuka, ia memajukan tubuhnya agar bisa melihat ke arah luar.
Rangga mendapatkan tubuh Tania masih berada di samping pintu mobilnya. Dia diam.  Ralat, lebih tepatnya melamun.
"Tan, ayo masuk!"
Tania sendiri terkesiap. Ia tersenyum tipis kemudian mulai membuka pintu. Menahan ragu, Tania menaruh bokongnya untuk duduk di atas jok mobil mewah Rangga yang terasa nyaman sekali saat ia duduki.
Rangga mulai menarik persneling. Pria ini menginjak gas sekaligus remnya sebelum kendaraan itu mulai melaju di atas jalan raya beraspal yang memanjang.
Rangga menoleh ke arah Tania sebentar. Wanita itu sedang menyandarkan punggungnya sambil memandang lurus ke arah jalanan.
Ia kembali menatap ke depan. "Kau kelihatan tegang, Tan. Santai saja, memangnya kau duduk di sebelah hantu?"
Kedua ujung bibir Tania berkedut. "Kau sendiri yang mengatakannya, Rangga."
"Dasar licik."
Tania tertawa. Kepalanya menoleh ke arah Rangga yang tengah fokus menyetir. "Karena idemu, aku besok harus bangun lebih pagi lagi agar tidak telat naik angkot."
Rangga melirik sekilas Tania. "Aku akan menjemputmu besok, karna aku juga masih harus datang lagi ke kantor Rafael. Rapat belum selesai."
"Belum selesai? Berarti aku dan yang lain harus sengsara lagi seperti hari ini?"
Tania menghela napas pendek. Ia sandarkan kepalanya semakin menempel pada badan jok mobil Rangga. Meratapi nasib, tadi siang ia dan keenam rekannya harus menahan sakit di perut karena telat makan, padahal energi mereka sudah terkuras habis sejak pagi.
"Sengsara? Maksudmu?"
"Ah, bukan apa-apa!"
Tania kembali memandang lurus ke depan. Ia merutuki mulutnya yang asal saja mengeluh, tanpa sadar siapa yang mendengar keluhannya.
"Apa lagi yang Rafael lakukan padamu, Tan? Bicaralah dengan jujur."
Mendengar suara Rangga yang mulai dingin, Tania hanya bisa menelan salivanya kasar. Tidak mungkin Tania menceritakan prilaku Rafael padanya selama tujuh tahun Rangga tidak menghubunginya lagi.
Ia masih ingat saat beberapa bulan setelah kepergian Rangga, di mana pria itu masih menghubunginya untuk menanyakan kabar. Ketika ia bercerita bagaimana perbuatan kasar yang dilakukan Rafael atau ibunya saat ia kerja di kantor, keesokan harinya dua orang itu malah semakin menyiksanya. Bahkan tak jarang mereka berdua melakukannya di depan para pegawai saat itu yang hanya memandangnya iba.
Setelah Rafael atau ibunya pergi, para pegawai mulai memapahnya berdiri. Tak jarang mereka membantu Tania membersihkan darah yang ada di wajah atau di tangan dan kakinya.
"Hanya larangan kecil."
"Apa itu larangannya?"
Tania lebih memilih diam. Kepalanya menoleh ke arah kiri, memandangi kondisi jalan dari kaca di sampingnya.
Rangga paling tidak suka  ketika bertanya namun tidak dijawab dengan satu kata pun. Apalagi masalah ini menyangkut tentang kondisi keseharian wanitanya. Perempuan yang sangat dicintainya.
Cinta?
Rangga mematikan mesin mobilnya setelah ia memelankan lajunya di pinggir jalan. Tania yang heran kini menengokkan wajahnya ke segala arah.
Ia segera memandang Rangga bingung. "Kenapa kita berhenti di sini? Kau lupa di mana rumahku?"
Pria di sebelah Tania membuang napas pelan. Tubuhnya kini menghadap ke arah tubuh Tania yang duduk menyerong.
Rangga meraih kedua bahu Tania, menggerakkan tubuh wanita itu untuk berhadapan sepenuhnya.
"Jangan membohongiku. Aku selalu mengawasimu, aku tahu semua yang mereka lakukan padamu. Kasarnya mereka memperlakukanmu, darah yang keluar dari tubuhmu, Rafael yang mengekangmu dan menjelek-jelekkan citramu di semua perusahaan yang ada di kota ini, ancaman dia, apa lagi yang tidak aku ketahui?"
"Peduli apa kau padaku, Ga?"
Tania tersenyum culas, dua matanya menatap Rangga nyalang.
"Aku mempedulikanmu tanpa kau tahu."
"Benarkah? Setelah kau menghilang secara tiba-tiba, lalu kau tidak mengabariku sekali saja saat kau menjadi tim relawan pada bencana alam di Jawa Timur. Dan tiba-tiba kau hadir lagi dan bilang kau peduli padaku tanpa aku sadari? Apa aku harus mempercayai ucapanmu?"
"Jika aku berbohong, pun, itu demi kebaikanmu."
"Kebaikanku?"
Tania hampir histeris membalas pernyataan Rangga.
Secara tak langsung Rangga membuka mulut bahwa ia berbohong selama ini. Dimana letak kebaikannya? Tania merasa kebohongan Rangga itu membuatnya rugi secara batin.
Tania dibuat geram, sebab Rangga tidak melanjutkan debat mereka. Pria itu bergegas mengemudikan mobilnya kembali. Kali ini, Rangga tidak main-main dalam mengemudikan kecepatan kendaraannya. Saat mereka melewati kondisi jalan yang sepi, Rangga membawa mobilnya dalam kecepatan cukup tinggi.
Tania sudah kembali menyandarkan punggungnya. Dua matanya memejam erat. Ia merasakan Rangga mengemudikan mobil dengan mengikuti emosi hati pria itu akibat perdebatan tadi.
Sepuluh menit berlalu. Tanpa bahan obrolan seperti tadi, mereka sampai di halaman kecil milik rumah keluarga paman Tania yang tak berpagar.
Tania menghela napas pelan. Sambil menggenggam erat kantong kresek hitam yang sejak tadi dibawanya, ia sedikit menyorongkan tubuhnya pada Rangga yang tengah mematikan mesin mobilnya.
"Terima kasih sudah mengantarku dan membantuku tadi. Kau ingin mampir?"
Rangga melepas sabuk pengamannya kemudian menolehkan kepala. "Memangnya boleh? Ini sudah jam sepuluh. Aku takut nanti malah mengganggu waktu istirahat keluargamu."
"Tidak mengganggu. Makan malam mereka masih di tanganku. Nih.."
Tania mengangkat dua kantong itu di depan Rangga. "Mereka pasti belum tidur. Apalagi kurcaci, dia akan begadang. Tengah malam nanti ada pertandingan MU, kan?"
"Kurcaci?"
"Gio, maksudku."
Tatapan Rangga seketika berbinar. "Anak itu sudah besar, sekarang? Kelas berapa?"
Berbeda ekspresi dengan Tania, ia malah menampilkan wajah malas-malasan. "Besar tubuhnya saja, tapi kelakuannya amit-amit! Dia kelas sebelas."
"Ya sudah, ayo turun! Aku ingin bertemu Gio."
Tanpa menunggunya, Rangga sudah membuka pintu mobil dan turun dengan begitu gesit.
Tania mendengus kesal. Ia mulai turun dari mobil Rangga dan mendahului langkah pria itu menuju pintu rumahnya yang masih terbuka lebar.
"Assalamu'alaikum."
Tania melepas sepatu beserta kaos kakinya di muka pintu sambil sedikit membungkuk. Setelah selesai, ia menengok ke belakang.
Ternyata Rangga sudah menanggalkan sepatunya.
"Tania, jangan menungging sembarangan di depan orang, apalagi di depan laki-laki. Beruntung aku bisa tahan diri."
Tania yang ingin saja kembali melanjutkan langkahnya, harus terhenti karena ucapan vulgar lelaki di belakangnya.
Tania menengokkan kepalanya, dan di saat itu pula Rangga sudah tersenyum menampilkan deretan giginya. Dia mengangkat dua jarinya di udara.
"Stress!"
Rangga hanya terkekeh.
Tania mulai memasuki rumahnya, melewati ruang tamu untuk menuju ruang tengah. Rangga yang mengekor di belakang hanya diam sambil memandangi seisi rumah yang sudah sangat lama tak dikunjunginya.
"Tania, lama sekali kau pulang? Kemana saja ka"
"Eh! Itu Rangga, bukan?"
Merasa namanya disebut, pandangannya yang sedang memutar kini terpaku pada seorang perempuan paruh baya yang berdiri tidak jauh di hadapannya.
Rangga tersenyum. Ia segera melangkah untuk menghampiri sosok perempuan yang menggunakan pakaian tidur dengan rambutnya yang digelung ke atas.
Sedetik kemudian, Rangga bisa menangkap seorang pria dengan rambutnya yang memutih, muncul dari balik soffa yang kini sudah berada tepat di depan pahanya.
Rangga semakin tersenyum lebar sambil beruluk salam. Ia menyalami satu per satu telapak tangan sepasang suami istri di depannya.
"Rangga, kemana saja? Setelah kepastian Tania yang tidak mengandung benihmu, kau hilang begitu saja."
Ia sudah berdiri tegak. Rangga hanya tersenyum santun walaupun menyimpan ribuan rasa tidak enak hati.
"Panjang, Om, ceritanya. Tapi waktu itu Papih dan Mamih pernah bercerita bukan kalau ketakutan kita semua tidak terjadi, maka aku akan melanjutkan studiku sambil merintis usaha keluarga."
Darma tersenyum tipis. "Iya, Om ingat. Kau menepati janjimu untuk kembali. Ibarat memanggang kue, Tania sudah hampir gosong. Dia tidak pernah mengenalkan pada kami pria yang dicintainya. Kecuali Bisma, dia memang seperti kakak buat Tania."
"Benar, Ga. Kasihan Tania, kelamaan menunggu kamu. Wajahnya saja sudah keriput sekarang."
Sara Tantenya Tania terkekeh setelah menimpali ucapan suaminya.
"Om! Tante! Kalian menyebalkan! Ini titipannya. Tadi ban motorku bocor, makanya malam sekali aku sampai rumah."
Sara terpekik kaget. "Serius? Terus, bagaimana ceritanya kau sampai di sini bersama Rangga?"
Tania merengut sebal. Sara memang selalu berlebihan.
Baru saja Tania ingin membalas pertanyaan Sara, namun Rangga sudah menyelanya cepat. "Tadi tidak sengaja bertemu, Tante. Motornya sudah Rangga titipkan pada satpam tempat kerja Tania. Besok motornya sudah bisa dipakai lagi, tapi masih di sana. Nanti Rangga jemput Tania untuk kerja besok."
"Terima kasih, ya, Rangga. Untung ada kau yang menolongnya."
"Sama-sama, Om."
"Tapi, Nak Rangga, Tante ingin bertanya. Bagaimana kau bisa menitipkan motor pada satpam itu? Kau mengenal mereka?"
Rangga tetap tersenyum, memaklumi ucapan perempuan paruh baya di hadapannya. "Aku mengenalnya."
"Ya, Tante! Jadi, Rangga itu General Manager Perusahaan Soekarta Company. Perusahaan sebenarnya yang memiliki tempat kerjaku. Pusatnya berada di Belanda."
Rangga seketika menengokkan kepalanya ke arah Tania yang berada tiga langkah di belakangnya. "Kau tahu selengkap itu?"
Tania tidak membalas ucapan Rangga. Kedua matanya hanya membulat lebar pada pria itu, memberi maksud lewat tatapan mata bahwa Rangga lebih baik diam saja.
"Hah? Kau serius, Tania? Jadi, Rangga yang pernah Tante dengar namanya di televisi itu adala"
Tania melangkah cepat ke samping Rangga sebelum Sara mengeluarkan kalimat dengan nada yang berlebihan.
"Lebih baik Om dan Tante makan sekarang. Kalian belum makan, bukan? Gio dimana, Om?"
Tania melirik Darma sambil memberikan benda yang sejak tadi ditentengnya pada pria paruh baya yang menjadi ayah keduanya.
"Sedang di kamar, katanya ingin berpusing ria mengerjakan tugas kimia."
Tania membalikkan tubuhnya. Pandangannya kini mengarah pada sebuah pintu dengan beberapa stiker klub bola Manchester United.
"GIO! JANGAN BERPURA-PURA RAJIN!"
Tania mengambil napas banyak. "KELUAR KAU, KURCACI!"
"Tania, jangan berteriak seperti itu! Kebiasaan!"
Tania menengokkan kepalanya lalu tersenyum lebar ke arah Sara yang tengah mengusap masing-masing daun telinganya.
"HEH, KERDIL! KAU MENGGANGGU WAKTU BELAJARKU!"
Sebuah bantingan pintu terdengar, membuat semua mata mengarah pada sumber suara tersebut.
Rangga membalikkan tubuhnya. Ia dapat melihat seorang remaja laki-laki yang sedang berkacak pinggang di muka pintu itu.
Dia menggunakan kaos oblong berwarna kuning pucat dengan celana olahraga selutut. Rambutnya yang berantakan menutupi satu sentimeter kening juga dua cuping telinga remaja laki-laki itu.
Delapan tahun tidak bertemu, wajah itu tidak berbeda jauh saat Rangga masih sering bertemu Gio sewaktu kanak-kanak.
"Cih, sok pandai! Itu pecel lele-mu!"
Gio memandang kakak sepupunya kesal. Kedua tangannya telah kembali pada sisi tubuhnya.
Kaki Gio yang jenjang kini melangkah mendekati Tania yang memandanginya sengit.
Ingin Gio menyemburkan ocehannya lagi kalau ia tidak melihat sesosok pemuda yang berada di sebelah kakak sepupunya.
"Aku pernah melihat temanmu ini, ya, kerdil?"
"Apa aku pernah bertemu denganmu, Kak?"
Gio menyipitkan kedua matanya. Ia terlihat menelusuri tubuh milik sosok di sebelah Tania dari atas sampai bawah dan kembali ke atas.
Remaja ini memandangi wajah Rangga dengan serius.
"Aku merasa familiar."
"Gio, jangan tidak sopan! Umurmu jauh di bawah Rangga."
Peringatan Darma mampu membuat Gio segera membulatkan kedua mata juga bibirnya sekaligus. Telunjuk jari tangan kanannya kini menunjuk dada Rangga.
"Kak Rangga? Ya, aku ingat! Kakak berubah, ya? Keren sekali sekarang! Aku pernah lihat kakak di televisi. Teman-teman perempuan di sekolahku bahkan mengidolaimu, Kak! Hebat!"
Rangga hanya terkekeh. Ia merapatkan jaraknya dengan Gio kemudian memeluk remaja itu. Gio dengan riang membalas pelukan pemuda yang sangat tidak disangka-sangkanya datang pada malam ini.
"Biasa saja, tidak usah berlebihan."
Gio menjauhkan tubuhnya. "Tapi patut dibanggakan!"
"Gio, biarkan Rangga dan Tania di sini. Ayo kita ke ruang makan, kau sejak tadi meracau lapar, bukan?"
"Ayah, aku ingin makan nanti saja. Boleh, ya?"
"Nanti kau sakit."
"Sebentar saja.. Kak Rangga, boleh minta tolong bantu aku mengerjakan tugas kimia? Ini susah sekali buat Gio, dan Gio yakin buat kakak ini mudah. Kakak pasti jenius sekali, teman-teman Gio juga bilang seperti itu. Hanya beberapa soal, aku minta waktumu, Kak. Biarpun ya.. sudah sangat malam."
"Boleh. Bagaimana bentuk soalnya?"
"Sebentar."
Gio langsung berlari cepat ke kamarnya.
"Rangga, Om dan Tante tinggal, ya?"
"Iya, Om."
"Tania, siapkan minum untuk Rangga. Habis itu kau mandi. Kau terlihat kotor sekali, wajahmu saja sudah terlihat coklat. Cepat bersihkan dirimu!"
"Iya, Tanteku sayang."
Sara dan Darma mulai meninggalkan Rangga dan Tania.
Tania melangkah terlebih dahulu ke arah soffa. Ia melempar hobo bag miliknya sebelum membanting tubuhnya duduk di sana.
Rangga hanya menahan senyum melihat tingkah wanita itu. Ia mengikuti Tania, duduk di samping kirinya.
"Kau ingin minum apa?"
"Air putih saja."
"Biasa atau dingin?"
"Dingin."
Tania beranjak berdiri. "Harusnya kau tidak perlu menolong bocah itu! Aku saja malas kalau dia tidak sampai merengek seperti bayi."
Rangga menaikkan salah satu alisnya. "Malas menolong atau kau tidak bisa?"
Tania menatap sangsi pria yang duduk di sampingnya. "Dua-duanya."
Rangga tertawa cukup keras. Tania yang tidak terima karena seperti dianggap remeh kini kembali bersuara.
"Dia tidak jauh-jauh menanyakan soal Biologi, Fisika, Kimia, Matematika. Mana yang dia tanya itu soal yang sangat sulit. Otakku saja lemah dalam eksakta."
"Tapi nilai ujian nasional kimia-mu menjadi nilai terbesar ketiga di angkatan kita, Tania!"
"Itu hanya kebetulan. Lagian, peringkat satu pararel selama tiga tahun dan pemilik skor UN terbesar di propinsi juga tetap kau yang dapat, bukan?"
"Itu hanya keberuntungan."
Rangga mengikuti nada bicara Tania tadi, sementara wanita itu hanya mencebikkan bibirnya kesal lalu meninggalkan Rangga seorang diri di sana.
Beberapa detik kemudian, Gio datang membawa beberapa buku paket tebal ditemani beberapa buku tulis ke hadapan Rangga.
Gio duduk di tempat yang tadi diduduki Tania, sementara Rangga mengambil salah satu buku di hadapannya.
"Tulisanmu rapih, bagus pula, Gi."
Rangga membolak-balikkan lembar salah satu buku tulis Gio.
"Kak, aku ingin memberitahukan sesuatu. Tapi jangan beri tahu Ayah dan Ibu, apalagi Kak Tania. Janji?"
Rangga mengalihkan pandangannya. "Selama masih yang baik-baik saja, Kak Rangga janji tidak akan memberitahu pada siapapun."
Gio merapatkan jarak tubuhnya pada Rangga. "Aku lagi latihan buat OSN Kimia mewakili kota ini, Kak. Acaranya minggu depan."
Rangga menutup buku yang dibukanya. "Kau serius?"
"Iya. Doakan aku, ya, Kak!"
"Pasti. Belajar yang giat! Waktu Kak Rangga kelas sebelas, Kakak kalah saat sampai di sesi nasional, hanya dapat peringkat lima."
"Okay, Kak! Oh iya, Kakak berminat membantu Gio?"
"Dengan senang hati. Gi, Tania juga terkenal pintar saat di sekolah. Kalau kesulitan, kau juga bisa minta tolong kakak sepupumu."
"Dia galak, pelit pula. Tapi aku juga tidak bisa memaksanya, dia selalu pulang agak malam, pasti lelah bukan habis bekerja? Makanya aku lebih memilih mengerjakannya sendiri kalau di rumah, Kak selama ini. Kecuali kalau buntu, aku baru tanya. Itupun pakai debat dulu."
"Kau adik sepupu yang baik."
Gio tersenyum tipis. "Aku hanya coba mengerti Kak Tania yang di depanku terlihat menyebalkan. Tapi di belakangku, dia menutupi semua masalahnya. Aku tahu masalahnya dengan Rafael-Rafael itu. Kalau aku sudah besar, akan kuhancurkan orang itu dengan caraku sendiri."
Rangga menegang seketika, apalagi mendengar nada kering dari ucapan remaja di sampingnya.
"Kau tahu semua itu?"
Bulu kuduk Rangga meremang saat ia melihat senyum sinis yang dikeluarkan Gio.
"Aku tahu. Waktu itu Rafael sempat menemuiku lalu memintaku untuk menghancurkan kakak sepupuku sendiri, tapi aku menolak. Mungkin dia berpikir hubunganku tidak baik karena selalu bertengkar dengan Kak Tania. Saat aku cerita pada Ayah dan Ibu, mereka menceritakan semuanya, termasuk masalah yang ternyata berhubungan dengan Kak Rangga. Dan setelah itu, aku bersumpah akan membalas perbuatan keji Rafael pada Kak Tania."
Gio melirik ke arah Rangga yang memandanginya fokus. "Maaf, Kak. Aku tidak suka sekali dengan perbuatan keluarga besarmu pada keluargaku."
Jauh di bawah sana, jemari-jemari Rangga sudah mengepal kencang. Buku-buku jarinya memutih. Rafael harus segera dihentikan.
Rangga menghela napas pelan. Ia begitu tidak percaya kalau Rafael bahkan memanfaatkan remaja belia seperti Gio untuk dendamnya.
"Kalau kau ingin kalahkan Rafael, jangan dengan cara yang salah dan melenceng dari hukum dan norma, ya, Gio. Bisa jadi kau mengalami pribahasa senjata makan tuan jika salah melangkah."
"Tidak, Kak. Kejahatan harus dibalas dengan kebaikan. Ya, kebaikan yang perlahan membuatnya justru malah mematikan langkahnya."
Baru saja Rangga akan membuka mulutnya, ia sudah mendengar sebuah suara telapak kaki yang mendekati posisinya dan Gio.
Sepertinya Gio juga menyadari, karena remaja itu langsung mengambil sebuah buku paket tebal dari meja di hadapannya.
"Ini, Kak, aku benar-benar buntu. Semua rumus yang kupakai tidak bisa menemukan jawaban yang cocok dengan keylock-nya."
Rangga mengambil buku tersebut. Dan aktivitas itu bersamaan dengan Tania yang mulai menaruh dua gelas air putih dingin serta dua piring makanan ringan di meja yang sama digunakan Gio untuk meletakkan buku-buku pelajarannya.
"Kau membuat Rangga berpikir keras malam-malam begini, Gi."
Gio memandang kakak sepupunya sarkastik. "Mungkin itu kau, Kakak Kerdil! Sudahlah, lebih baik kau pergi dari sini dan mandi. Kau bau!"
Gio mengibaskan telapak tangannya di depan wajah.
"Dasar bocah sinting! Karena permintaanmu, motorku sakit dan aku harus mendorongnya sampai basah kuyup." Desis Tania sambil melirik sinis Gio yang tertawa mengejek.
"Terima kasih. Kakak sampai berkorban untuk makan malamku. Aku begitu tersanjung."
Gio menyentuh salah satu telapak tangannya di dada, kemudian kepalanya bergeleng ke kanan dan kiri beberapa kali, ditemani senyum lebar yang amat menjijikkan untuk Tania.
"Ga, kalau kau ingin pulang, langsung pulang saja. Aku memakan waktu lumayan lama jika sedang mandi, barangkali kau diburu-buru pulang oleh orang tuamu."
Rangga mendongakkan wajahnya untuk menatap Tania, menghentikan aktivitas tangannya yang tengah menulis di atas buku yang tadi dibacanya.
"Aku akan menunggumu selesai. Tidak usah terburu-buru, aku juga sedang sendiri di rumah."
Tania hanya menganggukkan kepalanya lalu berbalik, meninggalkan Gio yang mulai menyuarakan pertanyaan tentang rumus yang sepertinya Rangga tulis di buku Gio tadi.
Sumpah! Tania benci pelajaran itu!






###