“Ingat,
jangan meninggalkanku saat kau berada di luar.”
Tania
menatap pria di sampingnya kesal. “Memangnya kau anak kecil yang harus kutuntun
untuk mengunjungi suatu tempat? Kau sudah besar, Rangga!”
“Kau
tidak berterima kasih sudah kubantu semalam?”
Tania
refleks mengangkat kedua tangannya, lalu membuat dua buah kepalan di depan
tubuhnya yang masih terduduk di atas jok mobil mewah Rangga; sang pemilik
sekaligus yang mengemudikannya sekarang.
“Kau
menuntut balas budi?” Tania menahan kedua rahangnya agar tidak berteriak
membalas pertanyaan Rangga, yang lebih mengarah kepada menyindir sesuai
kebiasaan pria itu.
Rangga
menjilat bibir bawahnya kemudian pandangannya memutar sekilas ke atas. “Hmm— kau
ingin membantah? Kalau begitu, kau harus mencium pipiku!”
Pertanyaan
demi pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan juga. Tania segera menurunkan
kedua tangannya. Dua matanya kini menatap nyalang ke arah Rangga. “Lebih baik
aku naik angkutan umum tadi. Sial! Semalam aku bodoh sekali takluk pada
rayuanmu.”
Tania
mendesah frustasi. Seolah berpeluh, ia mengusap keningnya dengan punggung
telapak tangan.
“Bukannya
kau sudah takluk padaku?”
Suara
bariton bening Rangga yang bernada mengejek tersebut membuat Tania menggenggam
tali hobo bag-nya erat. Ia tidak
ingin melempar tas miliknya di saat mobil yang dikemudikan Rangga sudah sampai
di halaman parkir Tanubrata’s Corporation.
“Aku
belum takluk sepenuhnya padamu, Bapak Rangga yang terhormat!”
Rangga
berusaha menahan ekspresi wajahnya yang ingin sekali tersenyum lebar. Pagi
harinya seolah berwarna lagi, apalagi saat ia dapat melihat gelagat wanita yang
disayanginya, walaupun suatu saat nanti hanya mendengar suaranya.
“Kau
sudah takluk sepenuhnya. Turunlah, dan tunggu di depan.”
Tania
menggeram kesal. Ia segera membuka pintu dan turun dari kendaraan tersebut.
Tanpa berbalik, ia membanting pintu itu keras. Masa bodoh bila pintu mobil di
belakangnya rusak, pemiliknya memang selalu membuatnya keki dari hari kemarin.
Wanita
ini menengok ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan halaman besar yang saat
ini ia pijak. Beberapa pegawai datang dari arah timur sambil bersenda gurau
tanpa memandang ke arahnya, dan itu berhasil membuat Tania dapat membuang napas
lega. Kedua kakinya melangkah ke arah depan mobil Rangga, menunggu pria itu
keluar dari dalam mobilnya.
Tak
lama, Tania mendengar suara bantingan pelan pintu disusul sebuah suara nyaring
yang ia duga sebagai suara pengaman kendaraan yang biasa digunakan oleh banyak
pengendara mobil seperti Rangga. Ia tidak menengokkan kepalanya, perdebatan
tadi sudah sukses membuatnya keki setengah mati pagi-pagi.
Ia
menghirup udara yang terasa cukup segar dengan leluasa. Semalam hujan, lebih
tepatnya setengah jam setelah Rangga meninggalkan rumahnya sekitar pukul
sebelas malam. Jadi, hawa pagi hari ini tidak panas dan sinar mentari juga
tidak terlalu begitu menyorot seperti di hari biasanya.
Tania
tersentak saat tubuhnya langsung terseret ke depan, di mana Rangga berjarak
satu langkah di depannya. Ia melirik ke bawah. Pergelangan tangan kanannya
diperlakukan tidak halus oleh pria itu. Lagi dan lagi, Rangga menunjukkan sifat
menyebalkan, dan Tania hanya bisa mengutuk terus-terusan pria itu dalam hati.
“Saat
istirahat. Aku ingin makan siang bersamamu Apa kau bisa?”
Tania
menolehkan kepalanya. Mendengar pertanyaan Rangga, ia mulai menyamakan langkah
pria itu dengan sedikit berlari kecil. “Memang kalau aku bisa, kau ingin makan
bersamaku?”
“Kau
pikir apa?”
Tania
memutar bola matanya saat ia melihat lirikan tidak suka Rangga atas
pertanyaannya.
“Ya,
sekadar basa-basi. Mungkin,”
Rangga
mendesah frustasi. Wanita di sebelahnya selalu saja mengecap semua sifatnya itu
buruk sejak dahulu. Ia tahu sewaktu mereka SMA, Rangga memang bukan tipe teman
laki-laki yang baik, dan lebih terkesan tidak punya hati. Korban utama sifatnya
dahulu adalah Tania; si gadis polos yang mencintainya diam-diam.
Ingin
sekali ia menegaskan pada wanita itu bahwa Rangga yang sekarang bukanlah Rangga
si lelaki dingin sembilan tahun yang lalu. Pria yang sekarang mencintai wanita
itu bukanlah pria yang menggunakan sifat angkuhnya agar dia tidak menyukainya
dan pergi menjauhinya.
Rangga
yang sekarang adalah sosok pria yang ingin selalu membahagiakan sang pujaan
hati.
“Ya
sudah, aku basa-basi.”
Penuturan
Rangga barusan membuat Tania menipiskan bibirnya. Kedua matanya melirik tajam
ke arah Rangga yang tidak mencuri pandang padanya lagi. Raut wajah pria itu
terpasang datar, sekaligus cengkramannya yang semakin mengerat saja di bawah
sana.
Tania
menahan lengannya ketika ia dan Rangga sampai di anak tangga pertama dari
bawah, di undakan beranda Tanubrata’s
Corporation. Hal itu membuat pergerakan Rangga yang berada di atas satu
anak tangga lebih tinggi dari Tania menghentikan langkahnya.
Tubuh
Rangga berbalik, memandangi wajah wanita di belakangnya dengan dua alis
bertaut. “Ada apa?”
Tania
menyentak keras lengan kanannya yang berakibat dengan cengkraman tangan Rangga
yang terlepas keras.
“Aku
tidak ingin menimbulkan omongan-omongan aneh di kantor ini. Sudah sampai depan,
bukan? Jalan masing-masing!”
Ia
berbicara dengan nada datar sekaligus mengarahkan pandangan dinginnya.
Entahlah, Tania merasa kesal dengan penuturan Rangga setelah ia menjawab ajakan
makan siang pria itu.
Apakah
dia tahu?
Tania
hanya bercanda ketika menyahut ajakan Rangga dengan dugaan basa-basi. Tapi pria
itu dengan ketidak-pekaannya malah menganggap hal itu serius. Dia tidak tahu,
kalau Tania sebenarnya sudah berharap lebih?
Sebagai
seorang manusia dan terutama kaum pria, Rangga tidak terima begitu saja atas
sentakan Tania terhadap tangannya. Ia merasa ditolak mentah-mentah.
“Kenapa
sejak semalam, kau seolah benar-benar memusuhiku? Apa kehadiranku,
mengganggumu?”
Tania
menghela napas dalam. Pandangannya kini bersiborok dengan manik mata Rangga
yang seolah begitu terhina akan perlakuannya. Sirat mata pria itu menciptakan
gelenyar tidak enak merayap dalam dada Tania.
Ia
ingin meringis, namun tidak memungkinkan. “Menurutmu?”
“Tidak
baik jika pertanyaan dibalas pertanyaan. Kau pasti tahu etika itu jika kau
menggunakan ilmu yang kau kejar selama dua belas tahun.”
“Sudahlah.
Jangan pernah hadir kembali di depan wajahku!”
“Tidak
ada yang berani memerintahku saat aku mengenakan pakaian ini, Tania. Dan
kau—seorang pegawai kebersihan memerintahku dengan nada seperti itu?”
Tania
ingin meninju Rangga sekarang juga.
Ia
menahan dua puluh tujuh gigi di dalam mulutnya untuk bergemeletuk marah. Tania
tahu, pekerjaan yang saat ini dipegangnya adalah pekerjaan yang selalu dianggap
remeh oleh orang-orang yang biasanya memegang pena dan berhadapan dengan
monitor. Namun tanpa mereka dan Rangga sadari; jabatan mereka tidak akan
dibilang tinggi kalau tidak ada jabatan yang lebih rendah daripada mereka.
Tania
melangkahkan kakinya untuk menaiki satu anak tangga, mensejajarkan tubuhnya
untuk berada tepat di hadapan Rangga. Kepalanya sedikit mendongak, membalas
wajah angkuh Rangga dengan segenap keberaniannya.
“Aku
memang tidak sepertimu dan seperti mereka yang memiliki wawasan luas dan materi
yang berkecukupan. Asal kau tahu dan harus kau sadari, di dalam hidupmu yang
terlihat sempurna itu, kau menghancurkan banyak orang-orang rendah. Perempuan
di depanmu, adalah korban keangkuhanmu dan keluargamu yang tidak punya hati.
Permisi.”
Tania
berbalik, melanjutkan langkahnya seorang diri untuk menaiki dua anak tangga
sisanya lalu melangkah cepat ke dalam lantai pertama perusahaan tempatnya
bekerja.
Lupakan
Rangga! Pria itu memang belum merubah keangkuhannya sejak dahulu. Dia sering
menganggap rendah orang-orang yang berada jauh di bawahnya, terutama ia yang
menjadi target utama bualan pria itu.
Melewati
area resepsionis, Tania mendapati Ratih tengah mengepel lantai di sana dengan
alat pel yang biasa ia gunakan juga saat bekerja. Tania tersenyum dan menyapa
rekan satu pekerjaannya.
“Ibu
Ratih, jangan serius-serius! Masih pagi,"
Merasa
ada yang berbicara dengannya, perempuan berumur empat puluh itu mendongakkan
wajahnya. “Tania? Berangkat agak siang? Tumben sekali hampir jam delapan baru
sampai.”
Tania
kembali tersenyum. “Iya, ada urusan tadi di rumah. Mari, Bu.”
Ratih
hanya mengangguk dan kembali melaksanakan kewajibannya. Tania melangkah kembali
melewati sisi kanan lantai utama untuk sampai di ruangan khusus pekerja
kebersihan yang berada di ujung kanan, bagian belakang bangunan perusahaan yang
berlantai tiga puluh ini.
Tania
menghela napas pelan. Jiwanya seolah masih tertinggal akibat perdebatan tadi.
Ia mengingat ucapannya di mana ia ingin Rangga tidak boleh hadir kembali di
depan wajahnya. Lantas, apa arti dari delapan tahun ia menunggu dan
mengumpankan dirinya di dalam sarang macan selama ini?
Memikirkan
Rangga, kepalanya refleks menengok ke belakang, ingin mengetahui sampai di mana
langkah pria itu, ataukah dia sudah masuk ke dalam lift yang baru saja ia
lewati.
“Eh!”
Belum
saja Tania menengok sempurna, ia kembali merasakan sebuah tarikan di tempat
yang sama. Tania segera menoleh ke arah pemilik tarikan kencang di tangan
kanannya.
Rangga
lagi.
Pria
itu membawanya dalam sebuah koridor sepi yang menghubungkan antara lobby Tanubrata’s Corporation dengan ruang pegawai kebersihan serta
toilet yang berada cukup di ujung koridor. Tania disudutkan di dinding sebelah
kanan, kemudian pria itu mengukung tubuhnya dengan meletakkan masing-masing
tangannya di dua sisi kepala Tania.
Tubuh
keduanya hampir tidak berjarak.
“Aku
tidak pernah memandangmu sebagai suatu yang rendah. Bahkan, aku meletakkanmu
sebagai sesuatu yang tinggi, di mana aku takut terjatuh dan di saat itu pula
aku tidak bisa lagi berusaha menggapaimu.”
Rangga
menunduk. Ia mendekatkan wajahnya sampai berada tepat di depan wajah Tania yang
berekspresi tegang. Ia merasa tidak nyaman dengan raut wajah itu. Telapak
tangan kanannya yang menempel pada dinding kini Rangga pindahkan untuk memegang
pipi tirus milik wanita yang sekarang benar-benar di depan wajahnya.
“Ka—kau,
ingin apa?”
Tania
menahan telapak tangan itu yang justru malah membuat kelima jemari tangan
kirinya memegang kelima jari tangan kanan Rangga.
Rangga
menghela napas cukup berat. Kehangatan akibat sentuhan kulit itu benar-benar
mengalihkan kewarasannya sekarang.
Rangga
menggigit bibir bawah. “Maaf, tadi aku terbawa emosi.”
Ia
menarik jemari-jemari Tania yang menggenggam jemarinya, meletakkan tangan itu
untuk berada di samping tubuh pemiliknya.
Setelah
itu, Rangga kembali menggerakkan tangannya. Telapak tangan itu mendarat di atas
kulit halus pipi wanita si pemilik mata hujan yang selalu menggoda untuk ia
kecup.
Rangga
ingin sekali wajah itu bisa ia lihat selalu. Selamanya.
“Aku
akui bahwa aku adalah seorang manusia yang belum bisa melenyapkan keangkuhanku.
Aku ingin kau dengarkan kejujuranku,"
Rangga
memandangi intens Tania sambil menarik senyum simpul.
"Jika
aku benar-benar mencintai seseorang itu sampai jatuh-bangun, maka dunia yang
penuh dengan kata-kata sekalipun bisu dan aku akan menulikan indrawiku.”
Rangga
mendekatkan wajahnya, menempelkan keningnya dengan kening Tania yang sejak tadi
mengerut karena perlakuannya saat ini.
“Yang
aku tahu, aku mencintaimu. Jika kau adalah hutan, maka aku sangat ingin tersesat
di dalamnya.”
Ia
membuang pelan napas dari bibirnya yang terbuka. “Aku ingin hanya kau yang
menuntunku untuk kembali dalam dekapanmu setiap saat, sekalipun saat akhirnya
dunia sudah menemukan titik ujungnya.”
Rangga
memejamkan matanya. Ia merasa sangat nyaman. Tidak ada yang lebih menenangkan
saat kau berada di dekat orang kau cintai habis-habisan.
Tania
ikut memejamkan kedua matanya. Merasakan desahan napas teratur yang keluar
pelan dari dua cuping hidung Rangga juga dua bibir pria itu yang terbuka, ia
bisa merasakan kedamaian yang belum pernah ia dapatkan dari seorang pun selama
hidupnya.
Tania
ingin menikmati saat-saat seperti ini lebih lama lagi.
Tolong
hentikan waktu, sebentar saja.
“Maaf
aku datang terlambat.”
Rangga
kembali membuka suara. Tania membuka pejaman matanya. Dua pasang mata itu
langsung saja menyusuri satu tali transparan kasat mata yang tidak bisa
diputuskan begitu saja. Dalam tali itu, terdapat banyak aliran astral tentang
berbagai hal yang tidak bisa diungkapkan melalui ucapan. Hanya melalui alat
indrawi ini, keduanya belajar saling mengerti apa yang diinginkan satu sama
lain.
“Berapa
banyak klise hidupku yang sudah kau lewatkan tanpa kehadiranmu?”
Pertanyaan
itu dengan pelan dan lembut keluar dari bibir Tania yang sejak tadi terkatup
rapat.
“Aku
akan meluruskan semuanya. Tetaplah di sampingku, Tan.”
“Apa
yang bisa kau yakinkan padaku agar aku tetap di sampingmu?”
Rangga
mengulum senyum tipisnya. “Belum ada yang bisa aku yakinkan. Aku hanya berharap
ikatan batin masing-masing di antara kita selalu ada.”
“Aku
merindukanmu, Ga. Jangan pernah menghilang lagi.”
Kedua
mata Tania berkaca. Dua kalimat itu benar-benar berasal dari dalam hati
nuraninya. Telapak tangan yang tadi menggenggam jemari Rangga, sekarang ia
angkat menuju sisi kiri rahang kokoh milik pria di depannya.
Tania
mengusapnya pelan. “Aku terlalu mencintaimu.”
Belum
saja dua bibirnya terkatup, Tania segera membulatkan mata saat Rangga semakin
mendekatkan wajah milik pria itu ke arahnya. Napasnya hampir tercekat saat
ujung hidungnya terasa menyentuh ujung hidung Rangga. Buru-buru Tania
memejamkan erat kedua matanya.
Sepersekian
detik kemudian, Tania merasakan bahwa kedua bibirnya tidak menyentuh seperti
apa yang ia bayangkan. Benda kenyal dan basah itu tidak menekan permukaan
bibirnya, sekadar untuk menempel atau bahkan membuat letupan-letupan kecil
akibat kalimat-kalimat cintanya barusan, yangmana menjawab semua pertanyaan
pria itu semalam tentang bagaimana perasaannya saat ini.
Rangga
mengecup sudut bibirnya, dan itu berlangsung cukup lama.
Tania
kembali memejamkan kedua matanya. Sanubarinya mengatakan bahwa hanya Rangga
yang berhasil mengobrak-abrik semua sisi jiwanya, termasuk kehancuran hidupnya
yang juga berawal dari pria di depannya.
“Wow!
Kalian ingin berbuat mesum di kantor ini, hah?”
Kedua
wajah yang beberapa detik lalu sudah menempel ketat itu perlahan menjauh.
Pemilik masing-masing wajah segera membuka pejaman mereka. Saat keduanya dapat
melihat secara sempurna, mereka hanya mampu berkedip.
Rangga
dan Tania memutar tubuh sampai keduanya sekarang berhadapan dengan seorang
pemuda yang menjadi pemilik suara mencemooh barusan.
“Apa
urusanmu? Tempat ini juga milikku!” Rangga membalasnya dengan nada dingin.
Pemuda
berwajah oriental yang berjarak sekitar lima meter dari hadapan Rangga dan
Tania tertawa sinis. Pandangannya kini menyilat tidak suka ke arah sepasang
insan di depannya. “Ini wilayah teritorialku.”
Rangga
tidak ingin meladeni ucapan pemuda itu. Sedikit menundukkan wajah, Rangga
mendekatkan bibirnya ke arah Tania. “Tan, masuklah ke ruanganmu. Bersiaplah
untuk bekerja seperti biasanya.”
Tania
menoleh. Wajah pria di sampingnya sudah kembali tegak menantang ke arah pemuda
yang berada di hadapan keduanya.
“Tapi
kau berjanji tidak akan adu tinju dengan Rafael, ya?”
Rangga
memasukkan telapak tangan kirinya ke dalam saku celana yang searah dengan
posisi lengannya. Pandangannya masih lurus ke depan, membalas sengit tatapan
penuh intimidasi Rafael; sepupunya.
“Iya,
aku turuti perintahmu. Cepat!”
Tania
mengangguk kecil lalu membalikkan tubuh.
“Tania!
Pimpinanmu di sini adalah aku, bukan Rangga! Kau ingin kuhancurkan lagi? Bagian
mana darimu yang belum aku hancurkan?”
Suara
kering milik Rafael tersebut membuat Tania mengurungkan niatnya untuk
melangkah. Ia kembali berbalik dan memandang Rafael tanpa ekspresi. Tania hanya
tahu, bahwa Rafael tidak pernah main-main dengan ancamannya.
“Semuanya
sudah kau hancurkan, Pak Rafael.” Balas Tania lalu mengambil napas pelan.
Kinerja otaknya dengan bodoh langsung memutar berbagai memori kejadian di mana
hampir semua bagian kehidupannya sudah sukses dihancurkan pemuda itu.
Rafael
tersenyum kecut. “Kalau kau sudah merasa seperti itu, jangan kau begerak untuk
meninggalkan posisimu sekarang!”
Rangga
mengepalkan erat telapak tangannya sampai buku-buku jemari itu memutih. Ia
tidak memandang datar lagi Rafael, tetapi Rangga sudah memberikan pandangan
nyalang pada sepupunya itu.
“Sebelum
kau semakin menghancurkan Tania, akan kubuat kau lenyap dari dunia ini, Raf.
Aku bersumpah!” Desis Rangga.
Rafael
tertawa kencang. Pemuda ini memasukkan dua telapak tangannya pada masing-masing
saku celananya. Dengan aura mematikan, ia mempersempit jarak di antara ia dan
Rangga, manusia yang sangat dibencinya sejak ia kecil.
Rafael
berdiri tepat di hadapan Rangga. Postur tubuhnya yang lebih jangkung menjadikan
suasana di antara dua pemuda sebaya itu semakin mencekam. Tania hanya bisa
menggigit bibir bawahnya kuat, ia tidak tahu harus berbuat apa.
Kepala
Tania menunduk. Ia dapat menangkap tangan Rangga di bawah sana sudah mengepal
sangat erat. Bersama sisa keberanian yang ada, Tania menggenggam telapak tangan
Rangga yang sudah membola. Ia meremasnya pelan, berharap dengan usahanya ini,
Tania bisa meredakan sedikit amarah Rangga yang sangat kuat tercium di udara.
“Akan
kulenyapkan kalian berdua dari dunia ini. Terutama kau, Rangga! Kau akan
merasakan bagaimana caranya mati secara perlahan, sampai akhirnya kau lebih
memilih aku untuk mematikanmu.”
Tania
melihat kedua rahang Rangga semakin mengetat. Wajah pria yang mengaku sangat
mencintainya itu sudah sangat memerah. Dia menatap Rafael penuh kebencian.
Tania saja benar-benar merasakan apa arti dari kalimat bulu kuduk meremang.
Ia
mengusap kepalan jemari Rangga yang berhasil ia genggam. Usahanya tidak
sia-sia, karena telapak tangan Rangga yang terasa panas kini menyelinapkan
sela-sela jarinya di antara lima jari tangannya.
Pria
itu meremas kuat telapak tangannya.
“Tan,
pergilah! Aku butuh waktu berdua dengan Rafael.”
Tania
melepas telapak tangannya. Tidak ingin melihat satu sentimeter pun keberadaan
Rafael, ia langsung berbalik dan melangkah lebar-lebar pada pintu coklat
tertutup yang berada di ujung koridor.
Rangga
menatap sepupunya diam. Deru napasnya sudah tidak beraturan, berbeda dengan
Rafael yang malah terlihat santai saja sambil menyunggingkan senyum iblisnya.
Ia mulai melangkah untuk mempersempit jaraknya dengan anak dari adik kedua
ayahnya. Dua tangan Rangga masih mengepal, namun Rangga ingat bahwa ia berjanji
pada Tania kalau ia tidak akan meninju Rafael.
“Aku
tidak pernah mengerti dendam yang kau acung-acungkan itu sampai sekarang. Kau
berlagak manis di awal, tapi sehabis kau mengerjai aku dan yang lain dengan
obat sialan itu, siasat setan milikmu semakin saja berkobar, bahkan Tania kau
bawa-bawa. Ingat, ini masalah keluarga, Rafael.”
Rafael
mengerutkan dahi. “Masalah keluarga? Kurasa ini juga masalah tentang
perusahaan.”
Rangga
ingin sekali menghabisi wajah tanpa dosa di depannya. Pandangan Rafael seolah
tidak mengerti apa-apa, namun pada kenyataannya, pria itulah dalang di balik
semua kejadian ini.
“Perusahaan?
Kurasa pembagian ini wajar walaupun tidak adil. Siapa suruh di antara kalian
tidak ada yang bisa mengambil hati Oma sejak kecil? Usaha tidak jauh daripada
hasil, Raf. Itu salah satu kesalahan kalian.”
Rangga
menarik satu ujung bibirnya. Sirat tatapannya menyiratkan keremehan ke arah
pemuda yang ia rasa sudah memiliki amarah sampai di ubun-ubun. Tak hanya di
situ, tanpa Rangga sadari, ternyata ia berhasil mengeluarkan gaya angkuhnya,
dan hal itu mampu membuat Rafael meremas jemari-jemarinya semakin kencang.
Rafael
memandang benci ke arah Rangga.
“Kau
menjauhkan kami dari Oma dan Opa. Sumpah, aku akan menghancurkanmu!
Bagaimanapun caranya.” Ia berucap dengan nada bersungguh-sungguh.
Pemuda
berwajah tionghoa ini mendekatkan
tubuhnya sampai berjarak hanya satu langkah di antara ia dan Rangga. “Sekalipun
tidak menyentuhmu, aku akan menghancurkan wanitamu. Aku tidak pernah
main-main.”
Kepalan
tangan Rangga terangkat cepat dan meninju sudut bibir Rafael sampai pemuda itu terhuyung-huyung.
Tinjuan Rangga terlalu mendadak, dan Rafael tidak ada persiapan untuk menahan
diri sama sekali.
Rafael
menegakkan tubuhnya yang kini mundur sekitar dua langkah. Ia menyentuh sudut
bibir kirinya, meringis. Rafael merasakan perih sekaligus bau anyir bersamaan
di sana.
“Aku
akan tidak segan-segan membuat keluargamu miskin dan keluar dari daftar
Keluarga Soekarta jika kau menyentuh Tania dan membuat dia hancur.” Rangga
menunjuk Rafael dengan pandangan kejam.
Ia
mulai melangkah, kembali berada di depan Rafael yang sudah memandanginya
semakin sengit. “Aku juga tidak pernah main-main. Darah dibalas darah. Hancur
dibalas hancur. Dengan menjentikkan jari, kekuasaanku di keluarga ini bisa
menjatuhkan keluargamu sampai di titik terendah.”
Rangga
menampilkan senyum miringnya. Sengaja, ia menabrakkan bahu kiri Rafael dan
berjalan membelakangi pemuda itu beberapa langkah. “Aku tidak perduli bahwa kau
sepupuku dan orang tuamu adalah paman dan tanteku.”
Rafael
membalikkan tubuhnya, memandangi punggung Rangga dengan pandangan nyalang
memancarkan aura membunuh. “Tania adalah sumber kehancuranmu, bukan?”
“Oh,
ya? Kau bisa tahu di saat aku tidak menyimpulkan apa-apa.”
Rangga
melanjutkan langkahnya untuk mendekati lift yang berada di sisi kiri posisinya
sekarang. Masih jauh memang, tetapi ia tidak akan sudi lagi jika dekat-dekat
dengan Rafael; anggota keluarganya yang berkhianat.
###
Tania
tengah menikmati nasi bungkus yang ia alasi dengan piring ceper plastik milik
ruangan pekerja kebersihan Tanubrata’s Corporation.
Tak hanya ia yang sedang menghabiskan waktu makan siang kali ini di dalam
kantor, tetapi ada Morgan dan Ilham juga yang berada di depannya. Ketiga orang
tersebut duduk di meja persegi panjang yang berada di tengah ruangan.
“Tan,
aku dengar rapat kedua ini juga dipimpin oleh General Manager, lagi?” Ilham memandangi rekan wanita di depannya
sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Tania
menaruh sendok di atas nasinya lalu mengambil gelas yang berada di sebelah
piringnya. “Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu.”
“Ah,
kau tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”
Tania
beralih memandang Morgan yang tengah menaik-turunkan sebelah alisnya. Ia
merengut heran, raut wajah pemuda berparas tampan itu sungguh misterius. “Aku
benar-benar tidak tahu. Memang ada apa?” Tanyanya to the point.
“Hmm...
Bagaimana, Ham?”
Morgan
memutar bola matanya pada Ilham, dan Tania juga kembali beralih memandang
Ilham. Keningnya semakin berkerut saat menangkap tatapan humor yang dilemparkan
Ilham untuknya.
“Sepupu
Pak Rafael yang waktu itu kau ceritakan... Orang yang mencium kau tadi pagi di
koridor, bukan?”
Tania
terbatuk-batuk akibat air putih yang sudah mengalir di tenggorokannya. Air itu
hampir ingin tersembur keluar karena ledakan terkejut yang dimotorik oleh
sumsum tulang belakangnya. Ia berusaha menelan kasar air putih itu dengan dua
mata berair.
“Ka—kau
tahu darimana?”
“Aaaa—kau
kaget, ya? Benar berarti kalau kalian bercumbu tadi pagi, heh?”
“Morning kiss, Gan. Aw!”
Tania
melempar sendok yang berada di atas piringnya. Indra penglihatannya memandang
Ilham dengan mata melotot tajam. “Jangan asal bicara! Aku dan dia tidak
bercumbu. Kami hanya—“
“Kami?”
Morgan
menyipitkan matanya. Tania melirik Morgan dengan kedua bibir yang bergetar.
“Hmm, maksudku—aku dan dia—“
“Kalian
kembali berhubungan?”
“Tidak!”
Tania
memandang tajam Ilham yang baru saja menyela ucapannya. “Aku dan dia tidak ada
apa-apa. Tadi hanya ada drama kecil saja. Iya, masalah kecil. Hehe,”
Ia
meringis lalu beranjak berdiri. Akibat lemparan sendoknya barusan, Tania harus
mengambil kembali alat makan itu kemudian menuju rak kecil di sebelah dispenser
untuk menggantinya dengan yang baru.
“Lantas,
ciuman itu? Kau berikan cuma-cuma?” Morgan memutar kepalanya, mengamati Tania
tengah menaruh sendok yang tadi diberikan Ilham atas pelemparan barusan ke
dalam tempat cuci piring.
“Aku
tidak memberikan ciuman. Dia yang tiba-tiba menciumku.”
“Benar
juga. Kami melihat adegan-adegan itu sebelum aku dan Morgan kembali duduk dan
mengurungkan niat keluar dari ruangan ini.”
“Oh!
Pantas saat aku masuk, kalian sedang duduk, ya?”
“Iya,
dan kau menahan kami agar tidak keluar. Padahal kukira, adegan Drama Korea itu
sudah selesai.”
“Bukan
seperti itu. Tadi ada insiden kecil yang membuatku tidak mengizinkan kalian
keluar mendahului aku.”
“Insiden
apa lagi?”
Bunyi
ketukan pintu terdengar seolah menjawab pertanyaan Morgan yang mengarah pada
perdebatan ia, Rangga, dan Rafael pagi tadi. Tania sedikit menghela napas lega,
setidaknya ia tidak perlu menceritakan bahwa ia dan Rangga kepergok Rafael dan
pimpinan perusahaan ini kembali mengeluarkan kalimat-kalimat ancamannya.
Ilham
beranjak berdiri lalu menjengit daun pintu dan menariknya saat sudah sampai di
hadapan benda tersebut.
Hal
pertama yang dilihat pemuda berumur dua puluh empat tahun itu adalah seorang
perempuan berpakaian elegan yang dipandangnya dengan pandangan heran.
“Ada
apa?”
“Apakah
Tania berada di dalam?”
Ilham
melirik sedikit ke dalam ruangan. Perempuan di depannya adalah Maurin,
sekretaris pimpinan perusahaan yang sangat ia benci karena dengan
sekehendaknya, dia memperlakukan rekan sejawatnya bagaikan terdakwa yang sangat
bersalah.
Ia
ragu untuk memberitahukan bahwa sebenarnya ada Tania di dalam, namun Ilham
tidak ingin beberapa kejadian lampau itu kembali hadir di depan kepalanya
sendiri. Ia tidak tega jika ia berucap sejujurnya. Tapi, ia tidak bisa
berbohong. Posisi pekerjaannya akan terancam.
“Ad—ada.”
“Bilang
padanya, Pak Rafael menunggu dia di ruangannya. Pesan Pak Rafael, dia tidak
ingin terlalu lama menunggu. Terima kasih, Ham.”
Ilham
melihat segurat senyum simpul tercipta di wajah khas Manado milik Maurin. Ia
membalasnya dengan senyum tipis kemudian langsung menutup pintu.
Tubuhnya
berbalik, ia bisa menangkap bahwa Morgan dan Tania sudah kembali melanjutkan
makan mereka. Ia menghela napas dalam, perintah otaknya mengatakan bahwa ia
harus duduk terlebih dahulu di sebelah Morgan.
“Tan,”
Ilham
memangil nama wanita di depannya pelan.
“Ya?”
Tania
melirik Ilham sekilas sebelum kembali memandangi nasi bungkusnya dan
menyendokkan sesuap nasi beserta lauk-pauknya ke dalam mulut.
Ilham
belum menyentuh makanannya. Ia lebih memilih memandangi wajah Tania yang
sekarang masih terlihat baik-baik saja “Tadi Maurin yang mengetuk pintu, dia
bilang kau dipanggil Rafael ke ruangannya. Jangan lama dan keparat itu tidak
ingin lama menunggu.”
Ilham
bisa melihat Tania segera menghentikan aktivitas makannya. Mulut yang terlihat
aktif mengunyah itu terdiam. Tatapan wanita itu mengarah kosong pada Ilham,
yang justru menciptakan banyak rasa waspada di dirinya. Ia berkedip, dan di
setiap kedipannya itu, rasa-rasa ingin melarang Tania pergi dari tempat ini
semakin menguak.
“Dia
memanggilku karena kejadian tadi pagi?”
Ilham
tidak mengerti maksud pertanyaan Tania yang mengarah pada ia dan Morgan, atau
pada diri wanita itu sendiri. Sinar manik mata Tania tidak bisa ditebak saat
ini. Raut wajah itu sudah terlihat berbeda, tidak seperti sebelum kedatangan
Maurin yang membawa informasi tersebut.
“Kau
ingin aku dan Ilham mengintai kalian, seperti terakhir dia berbuat kasar
padamu?” Ilham menoleh pada Morgan yang sudah tidak memegang sendoknya.
Pandangan sahabatnya itu mengarah pada Tania saat meminta pendapat atas
sarannya barusan.
Ilham
mengalihkan pandangannya dan kembali memandangi Tania. “Kami siap. Bahkan kau
ingin ataupun tidak, kita berdua tetap mengintaimu. Menurutku, lekaslah kau
menemui keparat itu. Kita berdua akan menyusulmu sebentar lagi.”
Tania
menghela napas pelan. Ia beranjak berdiri kemudian memandangi dua sahabatnya
sendu. “Aku takut.”
Ia
tidak bisa membohongi perasaannya kalau jantungnya sekarang berdegup kencang
untuk menemui Rafael. Seperti kejadian-kejadian sebelumnya, perdebatan itu
diikuti oleh ibunya Rafael. Dan ujung dari perdebatan itu, sering kali ia
mendapat tamparan dari wanita paruh baya itu. Perlakuan tersebut hanya
perbuatan minimal yang dilakukan, karena biasanya ia akan mendapat dorongan dan
tarikan rambut yang amat memerihkan.
“Berdoa
saja semoga tidak terjadi apa-apa. Semangat! Semua akan indah pada waktunya,
Tan.” Ilham menarik dua ujung bibirnya ke atas.
“Aku
akan menunggu kapan keindahan itu datang.”
Tania
menggeser ke belakang kursi yang ia duduki kemudian melangkah mendekati pintu.
Ia menjengit daun pintu dan menariknya.
Saat
tarikan pintu ia lakukan, maka situasi hatinya harus siap lahir dan batin untuk
menemui pemuda segala sumber kehancurannya selama ini.
***
Tania
membuka pintu kaca di depannya. Hal pertama yang dapat ia rasakan adalah hawa
pendingin ruangan yang begitu diatur menyengat kulit sampai membuat bulu
kuduknya berdiri.
Suhu
udara di dalam sungguh spontan meningkat.
Selanjutnya,
Tania dapat melihat seorang laki-laki sedang berdiri menghadap ke arah jendela
besar di dinding depan. Lelaki itu terlihat memasukkan dua telapak tangannya
pada masing-masing saku celana bahan hitam yang dikenakannya.
Tania
menghela napas pelan. Kedua kakinya kini melangkah mendekati posisi lelaki itu.
Jaraknya hanya beberapa langkah di belakang, ia kembali menghela napas. “Ada
apa kau memanggilku?”
Lelaki
itu membalikkan tubuhnya. Ketika posisinya sudah berhadapan, Tania dapat
melihat pandangan kebencian yang keluar dari manik mata lelaki tersebut.
“Menurutmu, aku memanggilmu karena apa?”
Senyuman
sinis yang mulai dikeluarkan lelaki itu—Rafael—membuat Tania menatap datar
wajah tersebut, tidak terlihat terpancing amarah sedikitpun. “Aku tidak pernah
mengerti apa maksudmu ikut campur masalah hidupku. Aku bukan keluargamu, aku
mengenalmu saat SMA, dan aku tidak mengenal dekat dirimu. Tapi, apa maksud
dendam kesumatmu itu padaku?”
“Sudah
beberapa kali kau menanyakan hal itu, dan aku tidak akan menjawabnya lagi. Itu
akan menghabiskan waktuku.”
“Lalu,
kau memanggilku kemari, pun itu menghabiskan waktumu.”
Rafael
tertawa sinis. Ia melangkah ke arah Tania dengan langkahnya yang begitu
terlihat memukau. Tania mengakuinya.
Ketika
Rafael berjalan, ada suatu hal yang dapat memikat mata secara mendadak. Entah
hal apa, yang pasti langkah demi langkah yang digerakkan pemuda itu selalu
membuat banyak orang terpaku melihatnya.
“Sepertinya
tidak.”
Rafael
meraih dua rahang Tania dalam satu tangkupan telapak tangan. Ia menarik dua
rahang itu ke atas, menghadapkan wajah kesakitan yang justru membuat hatinya
kini bersorak bahagia. Rafael senang melihat wajah Tania begitu kesakitan
akibat ulahnya.
“Ah,
ya! Lelaki yang berhasil merampas keperawanan-mu, dia mengancam pencopotan
jabatanku dan menghapus nama keluargaku dari daftar Keluarga Soekarta. Hmm—“
Selagi
lelaki itu bergumam, Tania hanya mampu memejamkan kedua matanya. Bagaikan ingin
dilepas paksa, tulang-tulangnya itu terasa amat sakit saat dicengkram kuat
Rafael. Ia terus berdoa agar waktu secepatnya berlalu dan Rafael keluar dari
ruangan ini untuk mengakhiri penyiksaannya.
“Apa
kuhabisi saja kau sebelum sepupuku yang sialan itu menjalankan aksinya?
Kurasa...”
Rafael
menaikkan telapak tangan kirinya yang bebas. Ia meletakkan ujung telunjuknya
menyusuri wajah Tania dari kening menuju tulang hidung Tania. “Kau adalah
sumber kehancurannya. Sebelum aku menjadi miskin mendadak, menghancurkannya
adalah siasat yang tepat.”
Di
saat Rafael mengakhiri kalimatnya, di saat itu pula Tania merasakan tarikan di
rahangnya semakin kencang. Ia semakin memejamkan erat kedua matanya.
“Apa
yang kau lakukan di dunia ini, tidak akan bisa hilang sepenuhnya dari akibat.”
Desis Tania karena bibirnya hampir tertutup rapat sebab cengkraman tersebut.
“Benarkah?
Lalu, kenapa Rangga tidak mendapat akibat atas kerakusannya merebut kasih
sayang nenek dan kakek kami? Kenapa Soekarta’s
Company tidak bangkrut saja, biar kami semua yang merasa diasingkan bisa mendapat
keadilan?!”
Tania
membuka pejaman matanya dengan susah payah. Wajah penuh kebencian sekaligus
kekecewaan yang mendalam, pemandangan itu yang bisa Tania lihat pertama kali
saat membuka indrawinya.
“Kurasa
itu hanya perasaan iri yang kau agung-agungkan sejak lama. Tidak ada seorang
nenek dan kakek yang tidak sayang pada cucu-cucunya.”
“Jangan
‘sok tahu!” Rafael semakin menarik ke atas cengkramannya. “Kenyataan itu
terjadi. Kau membelanya, kau senang Rangga sudah dapat kau lihat lagi? Apa dia
akan melindungimu dariku?”
Tania
membuka pejamannya. “Kau juga pura-pura tahu selama ini.”
“Kau
mulai berani, hah?”
Rafael
semakin saja menarik cengkramannya, sampai-sampai wajah Tania begitu terangkat
dan kedua kaki Tania sudah berjinjit tinggi.
“Aku
tidak pernah takut padamu, Rafael.”
Hal
selanjutnya yang Tania rasakan adalah sebuah angin menyakitkan yang menyusuri
pori-pori kulitnya.
Tubuh
yang tidak berdaya itu terhuyung ke kanan dan ke kiri sebelum terbentur keras
di atas lantai. Ia merasakan perih di sikut tangan kanan dan tangan kirinya.
Tania menduga, pasti ada luka di sana akibat ia menyangga posisi jatuhnya
supaya tidak kepala yang pertama membentur lantai.
Tania
menegakkan tubuhnya yang terjatuh setengah berbaring. Kepalanya beralih
memandangi dua sikut tangannya secara masing-masing. Di tempat yang sakit
tersebut, ia dapat menangkap sekumpulan darah yang berada di atas sobekan
kulitnya akibat tergesek dengan lantai di bawahnya.
Tania
mendongakkan wajah, kedua matanya memandang sendu ke arah Rafael yang tengah
memandanginya dalam diam. Ia meringis pelan sebelum berusaha beranjak berdiri.
“Apa
kau puas melihat setiap darah yang keluar akibat perbuatanmu? Sampai kapan,
Raf? Aku yakin kau punya setitik saja jiwa malaikat di hatimu.”
Rafael
masih saja terdiam, walaupun bola matanya selalu mengikuti setiap pergerakan
yang Tania lakukan.
Ia
beranjak berdiri tegak, tanpa menghiraukan rasa sakit yang kini mendera dua
sikutnya ketika sepasang lengannya berposisi lurus di dua sisi tubuhnya.
“Aku
tidak membela Rangga, dan aku tidak pernah tahu masalah yang mendera keluarga
kalian. Aku hanya tidak menyangka bahwa kau yang kukenal baik, justru
menjerumuskan hidupku sampai sekacau ini.”
Tania
menghela napas dalam. Amarah yang mencekam di dalam hatinya selama ini sedikit luluh-lantah.
“Obat
perangsang yang kau gunakan sewaktu kelulusan itu adalah awal dari
kehancuranku. Tidak ada seorang wanita yang rela begitu saja saat-saat
pertamanya direnggut paksa oleh sebuah kejadian yang tidak diinginkan,
sekalipun dia wanita nakal. Aku akui, tidak hanya aku saja perempuan yang
dirugikan saat itu. Tapi ada Thella, Dina, dan perempuan yang selalu kau anggap
tidak ada; Benicia pun kau libatkan di sana,”
“Jangan
pernah menyebut nama perempuan itu!” Rafael menajamkan pandangan, lebih mengerikan
daripada sebelum-sebelumnya. Suaranya bergelegar bagaikan petir di siang
bolong.
Bukannya
takut, Tania justru menyunggingkan senyum iblisnya. “Kenapa, kau? Apa karena
Benicia—“
“JANGAN
PERNAH MENYEBUT NAMA PEREMPUAN ITU DI DEPANKU!”
Tania
sedikit berjengit mendengar teriakan Rafael yang lebih mengerikan dibandingkan
sebelumnya. Ibarat bola mata itu adalah sebuah benda, mungkin benda itu sudah
jatuh dan bergelinding menyusuri lantai. Ia tidak mengerti kenapa Rafael bisa
sangat emosional ketika ia menyebutkan nama itu pertama kalinya selama ia
berdebat dengan Rafael.
Tania
kembali menampilkan senyumnya yang hanya tertarik di satu ujung bibir. Ia
mendorong kakinya untuk melangkah satu kali agar jaraknya lebih dekat dengan
Rafael. Kepalanya mendongak, berusaha adu wajah dengan lelaki di depannya.
“Rangga
juga bisa marah sepertimu barusan jika ia melihat perlakuan kasarmu padaku
selama ini, Raf. Aku yakin sebenarnya kau takut jatuh miskin, bukan? Dan kau
sangat iri dengan pembagian warisan yang tidak jatuh sebanyak Keluarga Rangga.
Kau harus tahu, mungkin ada maksud lain di balik nenek dan kakekmu melakukan
hal ini. Bersyukurlah aturan, karena—“
“Jangan
menceramahiku!”
Suara
pintu terbuka membuat keduanya sama-sama mengalihkan tatapan mereka.
Seorang
perempuan masuk ke dalam ruangan dengan begitu anggunnya. Rias wajah natural
yang menemani kesan estetika pahatan Sang Maha Pencipta yang indah itu sedikit
menutupi usianya yang mulai menua.
Tania
membuang napas pelan melihat siapa orang yang mulai mendekat ke arahnya.
Pandangan orang tersebut begitu mematikan, dan itu ditunjukkan kepadanya. Ia
hanya bisa menetralkan degup jantungnya yang sangat membuatnya tak nyaman.
“Hebat!
Kau berani sekali berbicara seperti itu di hadapan putraku, Tania?!”
Selanjutnya
yang ia rasakan adalah tarikan kencang di ujung rambutnya yang dikuncir kuda.
Tania memejamkan kedua matanya. Ia harus menahan perih karena pori-pori kulit
kepalanya bagaikan ingin dilepas paksa dari batok kepala.
“Aku
hanya takut pada Allah ta'ala.”
“Dasar
orang miskin!”
Tania
kembali merasakan tubuhnya terhempas di tempat yang sama seperti Rafael tadi
melepas cengkramannya. Namun sekarang ia tidak terjatuh, ia segera memegang
pinggiran meja kebesaran Rafael yang berada di sebelah kirinya.
Ia
menunduk. Akibat terhuyung tadi, kepalanya tiba-tiba terasa pusing.
“Aku
memang orang miskin,” Tania mendongakkan wajahnya. Pandangannya yang sendu saat
berdebat dengan Rafael kini berganti menjadi tatapan tak kalah mematikannya
daripada wanita paruh baya di depannya.
“Tapi
aku masih bisa berpikiran positif dalam menghadapi setiap masalah. Ketika aku
terpuruk, aku tidak menggunakan segala cara untuk membalas dendam ataupun
sekadar merebut apa hak yang harusnya kumiliki. Kalian diberi takdir menjadi
orang kaya dan berpendidikan luas, harusnya kalian belajar apa maksud dari kata
menghargai sesama.”
“Kau
meremehkan kami?” Tuding wanita paruh baya itu—ibunya Rafael—dengan aura
mencekam.
“Jika
pantas disebut meremehkan, aku lebih suka menyebutnya itu fakta yang harus anda
sadari.”
Suara
tamparan dua kali menggema di setiap sudut ruangan yang kini terasa panas,
mengalahkan pendingin ruangan yang sudah diatur sebegitu rendah suhunya.
Tania
memejamkan erat kedua matanya. Sekarang tidak hanya dua sikutnya yang terasa
amat perih, namun juga dua sudut bibirnya yang sekarang berkedut-kedut
menyakitkan. Dua tangannya terangkat pelan, ia memegang masing-masing luka
sobek yang sepertinya tercipta di atas kulit untuk kedua kalinya di waktu yang
tidak terlalu lama.
“Anakku,
apa kau ingin menghabisi dia sekarang saja? Mumpung pria yang membelanya
mati-matian dengan mengancam keluarga kita, sedang berada di tempat ini juga."
Rafael
membalas tatapan ibunya dengan lirikan, sebelum memandangi Tania yang tengah
menegakkan tubuh untuk berdiri tegak.
“Tidak
usah, Mam. Tidak perlu menghabisinya sampai membuat ia mati. Cukup membuatnya
sakit dan sakit sepuas kita, perlahan juga dia akan mati tanpa harus mengotori
tanganku dan Mamah.”
Tania
menggelengkan kepalanya tidak percaya. Selalu seperti ini dari kejadian ke
kejadian berikutnya, dan dari waktu ke waktu sampai sudah hampir delapan tahun
keluarga itu menyiksanya di sini, di tempat yang selalu sama.
Ia
berbalik. Kedua kakinya dengan lebar-lebar mulai melangkah mendekati pintu kaca
yang sekarang berada beberapa meter di hadapannya. Tania tidak peduli lagi
dengan lontaran-lontaran penuh memojokkan yang saat ini lebih banyak disuarakan
oleh ibu dari Rafael; biang masalah hidupnya selama delapan tahun belakangan
ini. Berawal dari rencana sialan Rafael sampai Rangga berhasil merenggut harta
paling berharganya sebagai perempuan.
Tania
menarik gagang pintu berwarna putih perak yang berbentuk silinder cukup
panjang. Saat pintu itu terbuka, Tania dapat menangkap keberadaan Ilham dan
Morgan yang tengah berbincang di meja kebesaran milik Maurin dengan raut wajah
serius.
Tanpa
berbalik, Tania menutup pintu itu dan melangkah ke arah dua pemuda yang
ternyata benar menungguinya di depan ruangan Rafael.
Belum
ia bersuara memanggil nama salah satu dari dua pemuda itu, kepala Morgan sudah
bergerak ke arahnya. Ia hanya bisa menampilkan senyum tipisnya menutupi semua
kesakitan yang ia rasakan sekarang, walaupun kesakitan itu tidak bisa ditutupi
karena memiliki bekas di atas kulitnya.
“Astaga,
Tania.. Kau sampai seperti ini?”
Morgan
segera berlari menghampiri Tania dengan tergesa-gesa. Kedua tangannya memegang
bahu wanita itu sampai dia berhenti melangkah. Ia membolak-balikkan tubuh Tania
ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan tubuh Tania yang lain.
“Bibir
dan tanganmu berdarah. Persetan! Cepat, aku dan Ilham obati sekarang.”
Tania
hanya membisu ketika rangkulan Morgan terasa di atas kedua bahunya. Satu tangan
yang kokoh itu menyalurkan suatu penompang jiwanya yang kini mulai meluruh ke
dasar bumi. Ia tidak pernah tahu sampai kapan ia harus seperti ini, dan ia juga
tidak akan selalu dilindungi oleh sahabat-sahabatnya. Ada kalanya semuanya
berakhir, Tania belum siap untuk menghadapinya seorang diri.
“Maurin,
apa aku boleh membunuh majikanmu sekarang juga?” Ilham memandangi kondisi Tania
dengan pandangan kilat amarah. Kepalanya memutar ke arah Maurin yang sudah
berdiri sejak melihat Tania keluar dari ruangan Rafael.
“Kalau
saja tidak ada hukum tentang seseorang yang membunuh orang lain, aku sangat
bersedia membantumu, Ham.”
“Bagus!”
Ilham
memapah Tania di sisi kiri saat tubuh wanita itu sudah sampai di sebelahnya. Ia
merangkul lengan kiri Tania untuk membawanya agar bisa tetap berjalan tegak.
“Tania,
maaf aku tidak bisa membantumu dahulu. Aku harus menemani Rafael untuk rapat
lanjutan. Kalau sudah selesai, aku akan menemuimu.”
“Terima
kasih, Rin.”
Tania
mulai dipapah dua teman di sampingnya menuju lift karena ruangan pegawai
kebersihan berada di lantai dasar, sedangkan sekarang mereka berada di lantai
enam. Situasi sekitar masih sepi, karena waktu istirahat pegawai masih tersisa
setengah jam lagi. Jadi Tania tidak perlu menundukkan wajahnya untuk
menghilangkan pengamatan orang tentang kondisi berdarah-darahnya seperti saat
ini.
Ketiganya
masuk ke dalam lift yang bermodel kamar. Morgan yang berada di sisi kanan
menekan tombol bergambar panah ke bawah kemudian menekan tombol bertuliskan
angka satu. Pintu lift segera tertutup dan ketiganya hanya terdiam tanpa
membicarakan apa yang baru saja terjadi.
Saat
pintu lift terbuka, Morgan dan Ilham tetap setia memapah Tania untuk mengantar
wanita itu sampai di ruang kerja mereka. Ketiganya berbelok ke kanan saat
keluar melewati pintu lift.
“Gan,
Ham, sudahlah. Aku bisa berjalan sendiri. Lukaku tidak terlalu parah.”
“Wajahmu
pucat, Tania.” Morgan menimpalinya, mengindahkan permintaan Tania.
“Tapi,
Gan—“
“Jangan
cerewet, Tania! Kita berdua melakukan ini, pun demi kebaikanmu. Bagaimana kalau
kau tiba-tiba pingsan?” Kini giliran Ilham yang menyela ucapan Tania.
“Ilham
dengar, aku tidak akan ping—“
“Tania!”
Tania
menghentikan langkahnya. Ia melepas rangkulan Morgan di bahunya juga rangkulan
Ilham di tangan kirinya sebelum berbalik untuk menatap seseorang yang memanggil
namanya.
Ia
berbalik diikuti Ilham dan Morgan sepersekian detik kemudian. Ketika ia selesai
berbalik, secepat itu pula ia merasakan dua telapak tangan kini memegang lengan
atasnya dan menggerakkan pelan masing-masing lengannya.
Seseorang
yang memanggil namanya barusan sudah mengamati kondisinya dengan napas yang
terdengar sekali memburu.
“Astaghfirullahal’adzim!
Kenapa sikutmu berdarah, Tania? Wajahmu—“
Tania meringis sakit ketika merasakan dua telapak tangan yang
berukuran besar itu menggerakkan sedikit kedua pipinya ke kanan dan ke kiri.
“Berdarah, bengkak. Siapa yang melakukan ini?”
“Sudahlah, lebih baik kau lanjutkan pekerjaanmu. Aku ingin
mengobati ini.”
Tania ingin mengangkat dua telapak tangannya untuk menepis dua
telapak tangan Rangga–seseorang itu—kalau pria itu tidak menimpali ucapannya
secepat kilat. “Aku bisa menghentikan rapat itu jika kau tidak menjawab
pertanyaanku barusan. Apa Rafael yang membuatmu seperti ini?”
“Memang Rafael.” Ilham menjawabnya datar.
Rangga mengalihkan pandangannya pada wajah Ilham yang terpasang
kurang mengenakkan padanya. “Kalian tahu, kenapa kalian tidak menengahinya?”
Ilham menyemburkan tawa renyahnya. Sungguh, ini pertanyaan yang
sangat lucu. “Kalau sejak lama aku bisa menengahi mereka, mungkin aku sudah
menancapkan pisau atau bahkan menodongkan pistol pada keparat itu.”
“Ilham! Sopanlah, dia pimpinan besar.” Morgan menyadarkan Ilham
dengan melirik sinis pemuda itu sambil menyenggol sikutnya pelan.
“Tidak apa-apa. Kurasa, teman Tania, teman kita juga.”
Ilham dan Morgan mengalihkan pandangan mereka ke belakang tubuh
Rangga saat keduanya menyadari bukan pria kesayangan Tania yang menyambar
ucapan Morgan. Dahi keduanya berkerut, mereka menangkap sepasang insan yang
berdiri tiga langkah di belakang Rangga. Pakaian mereka sejenis dengan pakaian
yang dikenakan Rangga sekarang.
Tidak hanya mereka, Tania pun sama mengalihkan pandangannya dari
wajah Rangga dengan sedikit menongolkan kepalanya dari samping kanan tubuh
Rangga. Dua matanya membulat saat mengetahui siapa pemilik suara tersebut
sekaligus melihat satu orang perempuan di sebelahnya.
“Reza? Thella?”
Seorang perempuan yang Tania panggil Thella melambaikan tangannya.
“Hai, Tania! Apa kabar?”
Tania menampilkan senyum lebarnya. Refleks, ia mendorong pelan
tubuh Rangga ke samping kiri.
Rangga melepas dua telapak tangannya dan memindahkan posisi tubuh
menjadi berada di samping kiri Ilham dan Morgan yang terdiam.
“Baik. Kau bagaimana? Ah, kau semakin gemuk, ya?”
Thella tersenyum. Perempuan ini mempersempit jaraknya di antara ia
dan Tania kemudian memeluk wanita itu erat. “Aku baik. Tidak ada yang berubah
darimu ya, Tania? Masih saja terlihat selalu ceria.”
Tania tertawa lalu melepas pelukan tersebut. “Ah, bisa saja!
Bagaimana anak kalian? Sudah besar, ya?” Ia melirik ke arah Reza kemudian
kembali memandang penuh Thella dengan senyumnya yang masih mengembang.
“Kau harus berkunjung ke rumah kami, Tania! Dan lihat, betapa
tampannya dia sama sepertiku.” Reza menepuk dadanya bangga.
Tania mengerutkan keningnya bersama bola mata humor. “Aku akan
membuktikannya. Kalau dia benar tampan, jaga dia. Aku takut kalau aku tertarik
dan menjadikan dia kekasihku.”
Reza membulatkan kedua matanya terkejut. “Dasar gila!” Desisnya.
“Sudah-sudah. Rangga, bawa Tania dan obati dia. Aku dan Reza
tinggal ke ruang rapat, ya?” Thella tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya.
“Baiklah. Jika rapat ingin dimulai, hubungi aku. Jangan bilang
pada siapapun kalau aku berada di Ruang OB, pasti akan menimbulkan banyak
pertanyaan dan Rafael akan kembali beropini sejahat-jahatnya.”
“Ya, kau tenang saja, Ga. Kalau begitu, aku dan Thella tinggal,
ya.”
Tania kembali melangkah pelan ke arah Ilham, Morgan, dan Rangga.
“Kau bisa ke atas saja, Rangga. Ada Ilham dan Morgan yang akan
membantuku.”
“Aku ingin membantumu.”
“Selalu keras kepala.”
“Apa kau ingin kita berdua membantumu berjalan, lagi?” Morgan
menengahi perdebatan kecil yang mulai tercipta di antara Rangga dan Tania.
Kepalanya sedikit menggeleng, ia baru saat ini melihat Tania yang benar-benar
memasang wajah menjengkelkan.
“Tidak usah, biar aku yang membantunya.”
Morgan mengangguk diikuti Ilham. Kedua orang itu berjalan terlebih
dahulu menuju koridor yang mengarah pada toilet dan ruang pekerja kebersihan
yang hanya berjarak beberapa meter lagi.
Rangga mendekati Tania dan mulai memeluk erat pinggang Tania.
Wanita itu hanya menghela napas pelan kemudian dengan terpaksa ia mengikuti
keinginan pria di sampingnya.
Saat sampai di dalam ruangan, Rangga melirik ke seisi ruang yang
sedang dipijaknya sambil tetap menuntun Tania untuk duduk di kursi terdekat. Ia
mendudukkan pelan Tania di atas kursi yang tersedia, sebelum Rangga duduk di
sebelahnya.
Kepalanya memutar ke berbagai sudut ruangan. “Peralatan di sini
lengkap?”
Tania melirik heran ke arah Rangga. “Maksudmu?”
“Bukan apa-apa. Jika ada yang kurang, aku bisa menuntut
perlengkapan ruangan dan peralatan kerja pada manajer kalian. Kalau perlu,
langsung pada Rafael.”
“Ini P3K-nya, Pak Rangga.”
Rangga menolehkan kepalanya ke arah depan, dan ia dapat melihat
satu kotak kecil berwarna putih transparan kini terlujur dari tangan seorang
pemuda yang baru saja ia ketahui bernama Morgan.
“Terima kasih. Tapi, apa ada air es di sini?”
Ilham yang tengah menyeduh dua cangkir teh di pantry, menengokkan kepalanya. “Mungkin kau bisa mengajukan lemari
pendingin, Rangga. Banyak keluhan pegawai yang ingin menitipkan makanan atau
minuman dingin di sini.”
“Ilham, dia pimpinan kita. Tambahkan kata ‘Pak’ setiap memanggil
beliau.” Morgan kembali melirik sinis Ilham sambil berbicara dengan nada
rendah.
“Aku rasa umurnya hanya berbeda satu tahun lebih tua denganku, dan
dia bukannya seumuran dengan Tania? Ibarat sekolah, dia hanya kakak kelas yang
berbeda satu tingkat di atasku.”
“Ilham!”
“Ah, tidak apa-apa, Morgan. Aku juga tidak suka yang terlalu
formal, dan memang kita semua seumuran, bukan?”
“Rangga saja mengizinkan. Morgan, jangan memarahi adik kecilmu ini
lagi, heh?!” Ilham memandang geli ke arah Morgan yang duduk di depan Rangga dan
Tania, walaupun terhalang meja berbentuk persegi panjang di sana.
“Oh iya, ini ada air es-nya. Kebetulan sekali tadi kami bertiga
membeli es batu di Kantin. Sebentar, teh untuk kalian akan aku antar."
Ilham berucap sambil menaruh satu baskom kecil air yang sudah dimasuki sebuah
balok es yang kecil beserta satu bungkus tissue
berisi 250 lembar.
“Luruskan tangan kananmu.” Rangga mengintrupsi dengan menjulurkan
telapak tangan kirinya, sedangkan telapak tangan kanannya bergerak mengambil
beberapa lembar tissue dari
tempatnya.
Tania menggerakkan lengannya, dan Rangga langsung meraih lengan
bawah Tania lalu sedikit memutarnya supaya dia bisa mengobati luka yang berada
di sikut Tania.
Rangga mulai membuat lipatan kotak yang tebal pada lima lembar tissue yang berada di tangannya.
Selanjutnya, ia mencelupkan benda tersebut ke dalam air es yang sudah mulai
menyalurkan kalor leburnya pada air yang bersuhu normal. Setelah itu, ia mulai
meletakkan lembaran yang sudah bertumpuk menjadi satu karena tissue-tissue tersebut sudah menyerap
air ke arah luka yang berada di kulit Tania.
“Aish! Pelan, Ga. Perih.”
Rangga mengalihkan pandangannya pada wajah Tania yang menampakkan
raut wajah kesakitan sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya, membersihkan
luka tersebut. “Tahanlah, kau bukan anak kecil lagi. Kau juga bukan perempuan
manja.”
Tania mencebikkan bibirnya kesal. “Iya, Baginda.”
Rangga menekan luka Tania sampai wanita itu meringis kencang.
“Jangan pernah memanggilku dengan nama apapun selain bagian dari nama lengkapku!”
Tegasnya, kemudian Rangga mengganti lembaran yang sudah penuh dengan darah
tersebut dengan lembaran padat yang baru atas pemberian Morgan yang membantunya
tanpa ia perintah.
Rangga tersenyum tipis bertanda terima kasih, dan Morgan hanya
membalasnya dengan anggukan.
“Kau seperti raja yang biasa aku baca di buku cerita dongeng,
sukanya memerintah dan memerintah, lalu tidak ingin menerima penolakan.” Tania
bersungut sambil memandangi aktivitas yang Rangga lakukan.
“Diamlah.” Sahut Rangga dengan nada rendah.
“Oh iya, Tania! Kau diam saja di sini, biar aku dan Morgan yang
membagi tugas untuk menggantikan pekerjaanmu untuk sisa hari ini.” Ilham
bersuara. Ia sudah duduk di sebelah Morgan sambil melipat kedua tangannya di
atas meja.
Tania mengalihkan pandangannya. “Tidak usah. Kau ingin aku
dipergoki Rafael seperti terakhir dia membuat luka pada lututku sebulan yang
lalu? Dia meneriaki namaku tanpa tahu malunya.”
“Sekarang kondisinya berbeda, ada rapat dan kemungkinan sampai
sore. Benar tidak dugaanku, Ga?” Tanya Morgan kemudian beralih memandangi
Rangga yang duduk menyamping sebab mengobati luka di kedua tangan Tania.
“Iya, kemungkinan seperti hari kemarin.” Ujar Rangga yang mulai
menetesi luka itu dengan obat merah yang ia pegang di tangan kanannya.
Terdengar Tania sedikit meringis pelan.
“Tidak usah takut kalau begitu, Tan.” Tutur Ilham.
“Ikuti perintahku! Kalau dia kembali melukaimu seperti ini,
tendang saja selangkangannya.”
Ilham dan Morgan seketika tertawa renyah, ditambah melihat
ekspresi Rangga yang tetap terlihat polos.
“Aku setuju dengan perintah Rangga. Lakukanlah mulai sekarang,
Tan!” Morgan menyahut dengan sisa tawa yang masih terdengar keras.
“Ya! Kau gila, Rangga!”
Rangga menghentikan aktivitasnya mengobati luka di sikut tangan
kiri Tania. Ia memandangi wajah Tania dengan dahi berkerut. “Kenapa kau tidak
setuju sedangkan kedua sahabatmu saja sudah tertawa keras?”
“Mereka memang gila!”
“Aku serius menyuruhmu untuk menendangnya. Biar tidak ada lagi
generasi iblis di keluarga kami. Percuma bila kami ada generasi penerus, namun
seperti Rafael. Hanya akan menjadi sampah di bumi ini.”
“Kau benar, Rangga!”
“Ide brilliant!”
Morgan dan Ilham tetap saja melanjutkan tawa mereka, berbeda
dengan Tania yang sudah merengut sebal dan Rangga yang dengan polosnya tetap
mengobati luka Tania dalam diam.
###