“Bagaimana?
Dia tampan, kan?”
Tania
menahan tawa di ujung bibirnya. “Aku harus mengakuinya. Tapi, dia jauh lebih
tampan darimu, Za.”
Reza
merengut sebal, sedangkan Tania mulai tertawa keras karena melihat
ketidaksukaan Reza atas kejujurannya. Pandangannnya mulai beralih pada seorang
anak laki-laki yang duduk di antara Reza dan Thella, mengamati dengan sisa
tawanya yang ada.
“Bolehkah
aku mengetahui namamu, tampan?”
Tania
beranjak duduk simpuh di bawah soffa.
Tubuhnya menyamping untuk mengulurkan tangan, sebab keluarga kecil itu duduk
beriringan di soffa yang berada di
sebelahnya.
“Gardana
Ardiansyah Anugrah, Kakak.”
“Dipanggilnya?”
“Arda.”
“Umurnya
berapa? Kelas berapa, sayang?” Tania bertanya antusias saat telapak tangannya
dijabat hangat oleh Arda—putra pertama Reza dan Thella—dan belum dilepas sampai
sekarang.
“Arda
umur delapan tahun. Kelas tiga SD.”
“Kau
tampan, ramah pula.” Ia memegang sebelah pipi anak tersebut kemudian
mengusapnya.
“Kakak
juga cantik. Kalau Arda sudah besar, boleh Arda mendekati Kakak?”
Tania
menjauhkan tangannya karena terperangah. Kepalanya segera mendongak pada
sepasang suami-istri di atasnya yang juga terlihat terkejut. Ia kembali menatap
wajah polos di depannya dengan senyum kecil.
“Arda
masih kecil. Arda harus sekolah dulu sampai tinggi, nanti boleh dekat dengan
Kak Tania. Janji?”
Arda
tertawa menunjukkan deretan gigi-gigi kecilnya. “Janji.”
Anak
kecil itu segera menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh sang ibu. Tania
tertawa, ia kembali beranjak berdiri lalu duduk di sebelah Rangga yang sejak
tadi hanya terdiam tanpa suara.
“Anak
kalian pandai merayu, ya?”
“Kau
cemburu, Rangga?”
“Aku
hanya mengomentarinya.”
Tania
menolehkan wajahnya pada Rangga yang memandang lurus ke arah depan. Keningnya
berkerut melihat pemandangan wajah pria itu yang lebih datar dari biasanya.
“Ada
apa dengan wajahmu? Kau tidak ikhlas menemaniku malam ini?”
Rangga
membalas tolehan kepala Tania. “Aku ikhlas. Sangat ikhlas.”
“Wajahmu
tidak berkata demikian, Rangga.”
“Aku
hanya sedang berpikir,”
“Apa
yang sedang kau pikirkan? Masalah perusahaanmu?”
“Bukan.”
Rangga memutar bola matanya ke atas selama beberapa detik. “Daripada dia
mendekatimu, bagaimana kalau nanti jodohkan saja Arda dengan anak kita bila
sudah besar?”
Tania
seketika mengatupkan rahangnya. Ia tidak menyangka jika Rangga akan memiliki
pemikiran sampai sejauh itu. Kepalanya beralih untuk berhadapan dengan wajah
Reza dan Thella yang mengeluarkan ekspresi sama sepertinya.
“Ah,
kenapa wajah kalian semua terpasang seperti itu? Apa aku salah?”
Thella
tersenyum pada Rangga sebelum beralih menengokkan kepalanya pada Arda yang masih bersembunyi di balik punggungnya.
“Arda
ke kamar, ya. Sekarang Bunda sama Ayah ingin berbicara serius dengan Kak Tania
dan Kak Rangga.”
“Baiklah,
Bun.” Anak laki-laki itu turun dari soffa.
Sebelum meninggalkan area
ruang keluarga, pandangannya beralih menatap Tania. “Sampai
bertemu, Kak Tania.”
Tania
balas melambaikan tangannya saat Arda meninggalkan mereka dengan tersenyum dan
melambaikan tangannya pada Tania. Setelah melihat anak kecil itu hilang dibalik
lengkung tangga rumah sepasang suami-istri di depannya, dua mata Tania beralih
memandangi Reza dan Thella dengan pandangan tidak percaya.
“Anak
kalian benar-benar menyukaiku?”
“Ah,
sepertinya. Rangga, kau akan bersaing dengan putraku!” Thella menyandarkan dua
bahunya dengan anggun.
“Dan
kau ingin menjodohkan anak kita bila sudah besar? Aku tidak berniat untuk
berbesanan denganmu!”
Ucapan
Reza tersebut mampu membuat Rangga semakin menaikkan dua alis matanya. “Kenapa?
Kurasa hartaku tidak akan habis tujuh turunan.”
“Umur
mereka akan berbeda jauh. Kalian saja sampai sekarang belum meresmikan
hubungan, kemudian prosesnya, dan belum tentu anak pertama kalian itu
laki-laki.”
“Kalau
ternyata perempuan?”
“Kau
tidak ingin memiliki anak sulung laki-laki? Jika dia perempuan, maka siapa yang mengurus perusahaanmu saat kau tua nanti? Kau anak tunggal.”
“Benar
juga ucapanmu, Za. Aku sangat ingin memiliki anak laki-laki. Tapi, aku hanya bisa berserah kalau
kami ternyata diberi anak perempuan.”
“Aku
tetap tidak setuju jika putraku akan menikahi putri kalian!”
Reza
berkata tegas, membuat Rangga memaksimalkan bulatan kedua matanya. Ia belum terima dengan penolakan Reza secara
mentah-mentah pada tawaran yang ia ajukan.
“Apa aku harus membuat penawaran lebih, hah?”
“Sudahlah!
Memang aku akan benar menikah dengan Rangga?”
Tania
meringis di akhir
kalimat
saat pandangan-pandangan mengerikan itu terlempar, apalagi ketika ia mengamati
pandangan Rangga untuknya. Dia seolah mengatas-namakan jiwa dan
raga yang Tania
punya hanya untuk dimiliki pria
itu. ‘Hanya.aku.yang.boleh.menikahimu’
“Benar
juga kata Tania.” Thella menimpali.
“Sayang,
kau tidak berdoa semoga
mereka cepat menikah?”
“Bukan
seperti itu, cuma.. Tidak ada yang tahu kapan jodoh datang dan siapa jodoh
kita. Bisa saja mereka yang lama terpisah dan sekarang mulai bersatu kembali,
namun ternyata Rangga bukan jodoh Tania dan bukan Tania jodoh Rangga.”
“Benar
juga. Omong-omong, kapan kalian akan merencanakan pernikahan? Kami diundang, kan?”
Tania
segera terdiam dan tidak ingin melontarkan jawaban terlebih dahulu. Ia ingin
melihat dan mendengar reaksi pria di sebelahnya. Menurut Tania saat ini,
pertanyaan Reza barusan adalah pertanyaan yang sangat menguntungkan. Ia bisa
mengetahui sampai di mana keseriusan Rangga yang sudah mengucapkan beberapa kali
kata cinta untuknya. Rangga juga sudah mengucapkan banyak kata kepemilikan di
mana hanya pria itu yang boleh memilikinya.
Dua
sudut matanya melirik pada Rangga yang justru masih saja terdiam sambil menatap
lurus ke depan, padahal pertanyaan tersebut sudah terlontar sejak satu menit
yang lalu.
Tania
menghela napas pelan. Pandangannya kini memutar ke arah Reza yang ternyata
memandangi mereka berdua dengan alis bertaut. Terlebih Thella, wanita itu
bahkan sudah menatapnya dengan sirat berbagai arti yang tidak bisa ia sebutkan.
Ia
mendesahkan napas pelan. “Secepatnya,
ya.”
Ada
suatu hal yang menghunus
hatinya saat ia menjawab pertanyaan Reza dengan senyum kecil yang ia paksa
tarik dari dua ujung bibirnya.
Yang
Tania inginkan, Rangga langsung bersemangat untuk
menjawab pertanyaan Reza yang mengandung arti kepastian bagi hubungan mereka
selama ini. Namun bukannya sesuai harapan yang diberikan pria itu selama dua hari
ke belakang, Rangga malah terlihat diam saja dan pura-pura tuli. Padahal
sebelum Reza menanyakan perihal tersebut, dia masih bisa bersuara untuk
mendebat Reza.
Omong
kosong macam apa yang bilang ingin menjodohkan anak, jika ditanya kapan
memiliki rencana menikah saja, lelaki itu tidak menjawab?
Perempuan
diciptakan bukan untuk mengejar-kejar cinta seorang laki-laki, tetapi para
lelaki yang seharusnya berusaha meraih hati seorang perempuan. Jika berlian
adalah benda yang paling berharga di muka bumi ini, perempuan lebih dari
segalanya.
Sejak
SMA, Tania
tidak pernah mencoba
peruntungan dengan menunjukkan rasa pada teman laki-lakinya terlebih dahulu,
biarpun saat masa sekolahnya tersebut sudah zaman di mana trend seorang perempuan dapat menyuarakan perasaannya terlebih
dahulu.
Jatuh
cinta diam-diam itu lebih baik, tidak akan merendahkan harga diri sebagai
seorang perempuan. Terserah menurut orang seperti apa, tetapi Tania selalu
memegang prinsip tersebut.
Menurutnya,
jika seorang lelaki yang dikagumi itu menyadari perasaan tersembunyi dari seorang gadis, maka cinta itu bagaikan sebuah radar. Lelaki yang ia cintai akan menghampiri
dengan sendirinya.
Memang
tidak salah jika seorang
perempuan berusaha
untuk
mendekati lelaki terlebih dahulu. Tapi sesuka-sukanya Tania pada Rangga, Tania
tidak pernah menunjukkan rasanya pada lelaki itu.
Bagaimana Rangga bisa
mengetahui perasaannya saat sekolah?
Itulah ulah teman tidak
berhati, yang dengan gatalnya memberitahu berita kekaguman dan rasa sayangnya
pada lelaki itu.
Bilang
ia munafik atau apapun hal yang buruk atas prinsipnya dalam menyukai pria,
tetapi memang inilah keputusannya.
###
Tania
terdiam di atas kursinya. Ia hanya bisa menangkup kedua pipinya dengan
menjadikan dua sikutnya sebagai tumpuan di atas meja. Bibirnya mencebik,
bersama pandangannya yang nanar kini menatap fokus pada satu titik di depannya.
Ia
yang pertama sampai di
dalam ruangan ini.
Menikmati
kesendiriannya, Tania kembali memikirkan kejadian semalam. Sehabis pertanyaan
Reza tersebut,
Rangga memang lebih banyak diam daripada berbicara seperti sebelum pertanyaan
itu timbul di antara
mereka.
Bahkan saat pria itu mengantarnya kembali ke rumah, dia hanya diam saja dan
terlihat sangat konsentrasi menyetir. Padahal sewaktu Rangga mengantarnya
pulang ke rumah dan kembali mengantarnya untuk berkunjung ke rumah Reza dan
Thella, pria itu membicarakan
tentang berbagai hal.
Saat ini, Tania
hanya bisa menyimpulkan
semua keresahannya dalam keadaan otak yang sempit.
Apa
Rangga tidak ingin menikahinya?
“Tan,”
Pandangan
Tania beralih pada pintu yang berderit pelan. Dari sana, muncul Bisma dengan
pakaian kantornya. Lelaki itu kembali menutup pintu dan ia dapat menangkap
setiap langkah penuh wibawa yang Bisma lakukan saat sedang mendekatinya.
“Ada
apa kau pagi-pagi menemuiku?”
Bisma
menggeser tubuhnya untuk duduk menyamping, berhadapan dengan Tania. “Maurin
bilang, kau kemarin bertengkar dengan Rafael lagi sampai berdarah. Benar?”
“Ya,
begitulah.”
“Tidak
terlalu parah, bukan? Kulihat, tidak ada bekas luka di wajahmu.”
“Ada
di ujung bibir dan pipiku sedikit bengkak, namun kemarin Rangga mengompresnya
setelah kejadian dan semalam saat dia berkunjung ke rumahku. Ada juga luka di
dua sikutku, nih..”
Tania
menggerakkan dua tangannya untuk sedikit memutar dan memperlihatkan kondisi
sikutnya.
“Sikutku
luka karena menahan posisi tubuh. Tapi sudah mengering, kau tenang saja.”
Bisma
beranjak memeriksa keadaan lengan Tania satu per satu. Pandangannya kini
memutar kembali pada wajah Tania. “Aku bisa sedikit tenang. Tapi, Rangga
kembali mendekatimu?”
“Sejak
kejadian malam itu, kami kembali dekat.”
“Masalah
malam itu, kenapa kau tidak menghubungiku? Kau menghubungi Rangga, heh?”
“Sampai
malam itu, aku tidak mempunyai nomor ponsel Rangga. Waktu itu, aku ingin mendorong motorku lagi sehabis istirahat di pinggir jalan.
Tapi, ada sebuah mobil yang mencegat langkahku. Dan pengemudinya adalah
Rangga.”
“Benarkah?”
Tania
menautkan kedua alisnya ketika memandang
raut
wajah Bisma yang tidak enak dalam pandangan matanya. “Sejak kapan aku berbohong
padamu? Ah, ya! Menurutmu, apa dia mengikutiku?”
“Tidak
mungkin dia mengikutimu. Dia pria yang malas menunggu.”
“Tapi,
Bisma.. Aku dan kau keluar restaurant setelah lima belas menit dia dan
rombongannya pulang. Kemudian aku menunggu pesanan pecel lele sampai satu jam,
dan aku mendorong motor selama sepuluh menit. Dia tiba-tiba datang dan bilang
bahwa dugaannya benar kalau aku masih berada di sana. Kurasa, dia mengikutiku.”
“Bagaimana
kau bisa menyimpulkan
cepat masalah itu? Siapa tahu dia kebenaran lewat ketika melihatmu sedang mendorong motor.”
“Ah!
Dia bilang padaku, kalau dia memang memiliki feeling aku
masih berada di jalan itu.”
“Jangan
bilang kalau dia yang membocorkan ban motormu?”
“Bisma!
Kau selalu menduga Rangga dengan hal yang aneh! Kau mengikuti jejak Rafael?!"
Bisma
terlihat menghirup udara pelan. “Aku tidak ingin kau terbang begitu saja atas
kejadian malam itu.”
“Aku
sudah terbang melayang.”
Tania menarik dua lengannya yang masih dipegang Bisma. Ia baru sadar, dan ia
berusaha masa bodoh serta melupakannya cepat.
Tania
memilih untuk melipat kedua lengannya di atas meja. Kepalanya mendongak, ia
memandangi plavon putih yang sedikit
jauh di atasnya sambil tersenyum.
“Kurasa,
dia kembali memperhatikanku.”
“Benarkah?”
“Ya,
dia begitu menunjukkan perlakuan penuh kasih sayangnya padaku.”
“Lantas,
apa dia menyinggung masalah janjinya untuk menikahimu saat dia kembali ke
negara ini?”
“Itu masalahnya, Bis.”
Tania
membuang napas lalu menundukkan wajah. “Reza bertanya padaku dan Rangga
semalam, apakah kami sudah membicarakan masalah pernikahan. Tapi Rangga malah
diam saja,
mendadak jadi orang yang bisu
dan tuli.”
Bisma
mulai mencium hawa haru
yang keluar dari diri Tania. Sambil memandangnya sendu, ia mengusap bahu Tania
pelan.
“Sudah
kubilang, kau tidak boleh banyak berharap pada Rangga, Tania.”
“Tapi
aku sangat berharap padanya. Harta paling berhargaku sudah ia renggut begitu
saja. Aku rela bermasa depan suram untuk menunggunya. Aku ikhlas harus dekat
dengan Rafael yang amat sangat membenciku. Aku menutup hati pada semua lelaki, dan aku hanya
membukanya jika Rangga sudah kembali ada di dekatku. Tapi, saat kurasa dia
kembali ada di
sekitarku, dia mengubur semua harapan yang aku limpahkan
padanya. Dia tidak menjawab pertanyaan Reza yang buatku itu sangat penting.”
Tania
menggigit bibir bawahnya kencang.
“Umurku
sudah terbilang dewasa untuk seorang perempuan yang akan berumah tangga. Saat
kepala tiga, perempuan akan dalam masa rawan untuk melahirkan. Bukannya aku
sangat tergila-gila untuk dinikahi Rangga. Aku hanya—“
“Zaman
sekarang sudah canggih, Tania. Apa yang kau takutkan?”
“Ketakutan
terbesarku bukan pada hal itu sebenarnya.”
“Lalu,
apa?”
“Aku
takut tidak ada seorang lelaki yang ingin menikahiku karena aku—tidak gadis lagi.”
Tania
mendongakkan wajahnya cepat. Ia tidak ingin air mata menyesakkan itu keluar dan
membuatnya sulit bernapas saat hari masih terbilang pagi.
“Hei,
dengar!”
Tania
merasakan dagunya dipegang oleh Bisma dan digerakkan lelaki itu untuk menoleh
ke kiri, di mana Bisma memang duduk di sebelah kirinya.
“Seorang
pria yang mencintaimu habis-habisan, dia akan tetap menerimamu sebagaimana dia
tahu tentangmu. Bukan hanya tentang menerima kekurangan dan kelebihan, tetapi
bagaimana dia mengerti seberapa banyak kekuranganmu.”
Tania
berkedip. Ia bisa merasakan beberapa tetes air matanya turun begitu saja mengaliri
masing-masing area pipinya. Kehangatan telapak tangan Bisma di dagunya pun
tidak dapat menutupi ketakutan dalam hatinya yang sedang menguak.
“Aku
tidak merasa tenang.”
“Berusahalah
tenang, Tan.”
“Aku
belum bisa.”
“Jika tidak ada seorang pria, pun yang ingin memilikimu, maka aku siap untuk
melakukan hal itu, Tania.”
Tania
membulatkan kedua matanya. Bagian kornea itu menelusuk ke arah indrawi Bisma
yang terpancar begitu mengkilap bagaikan kaca transparan. Ia ingin mengetahui sampai
di mana kedalaman lelaki itu dalam mengatakan ucapannya tadi. Dan yang Tania
harapkan, dia hanya bercanda dalam situasi yang sekarang terasa haru.
“Aku
sedang sedih, kau malah bercanda.”
“Aku
tidak bercanda. Kau tidak bisa lihat?”
“Mataku
buram sehabis menangis.”
“Bukankah sejak masa sekolah, kau selalu bicara padaku bahwa sinar mata ini selalu dengan mudah berbicara jujur bahkan, saat mulutku mengucapkan kebohongan. Kau
ingat?"
Tania
mengambil napas dalam. Sebenarnya ia sudah menangkap apa yang Bisma bicarakan
lewat mata lelaki itu yang
jujur, di mana jarang sekali seorang pria—bahkan kebanyakan
orang—memiliki
mata bersinar bagaikan benda itu adalah sebuah mulut yang tidak pernah
berbohong sedikit pun.
Namun,
Tania tidak ingin menyimpulkan apapun yang ditangkapnya sejak tadi dari pancaran dua bola mata bulat tersebut.
“Kau
tidak segera berangkat
ke kantormu? Sekarang akan tiba pukul delapan.” Tania
mengalihkan pembicaraan mereka dengan menatap jam yang melingkar di pergelangan
tangan kirinya.
“Bolehkah
tubuhmu duduk menghadap
ke arahku?”
Tania
memutar bola matanya untuk menatap Bisma. “Maksudmu?”
“Ada
yang ingin aku bicarakan.”
“Dibicarakan?
Kau sebaiknya cepat berangkat, Bisma! Kau tidak ingin terjebak macet, bukan?”
“Aku
mohon, kau jangan mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan.”
Tania
memejamkan sepersekian detik matanya. Ia segera memutar tubuhnya untuk duduk
berhadapan dengan Bisma.
Ia
menatap jengah lelaki di hadapannya. “Ya, aku sudah melakukan perintahmu.”
“Sebenarnya—“
Bisma
mengangkat kedua tangannya menuju masing-masing bahu Tania sebelum memegangnya
erat. Kedua mata lelaki itu menatap bola mata Tania dengan pandangan berpikir.
“Apa—kau
benar-benar mencintai Rangga sampai bertahun-tahun? Tidak berkurang sama sekali?”
“Tidak
perlu kau tanya, kau juga sudah tahu jawabanku.”
“Emm—maksudku,
apa hatimu sangat tertutup untuk orang lain?”
“Memang, ada apa
kau menanyakan hal itu?”
“Jawab
saja.”
“Kalau
aku tidak serius, mungkin sudah banyak hati lelaki yang singgah di dalam sana.”
“Jika
ada seorang pria yang diam-diam mencintaimu begitu tulus dan cintanya lebih
besar dari cinta Rangga padamu, apa kau akan membuka hatimu untuknya?”
Tania
telihat diam. Dua matanya mulai menatap tajam pada Bisma yang menatap tidak
biasa padanya. Jika dihubung-hubungkan bersama apa yang diucapkan
Bisma barusan, maka ia bisa menangkap ada sebuah sinar berharap yang dapat ia
lihat.
Sinar
berharap yang dapat Tania
lihat bukan karena ia terlalu percaya diri, tapi Tania sudah dekat dengan Bisma sejak lama.
Ia
menghela napas dalam. Pandangannya berubah menjadi sendu. “Aku akan meminta maaf dan
menjelaskan padanya bahwa aku tidak ingin menyakiti hatinya sangat dalam. Aku
tidak bisa membuka hati pada lelaki manapun selain Rangga.”
“Sekalipun
dia mengemis cinta padamu?”
Tania
tertawa kecil. “Banyak wanita di luar sana yang sangat jauh lebih baik dariku.
Aku tidak ingin dia sampai mengemis seperti itu pada hatiku yang bodoh ini.”
“Kalau
dia tetap bertahan di saat misalnya, Rangga tidak ingin menikahimu seperti
janjinya. Kau akan bagaimana?”
“Aku
lebih memilih tidak mencintai siapapun lagi sampai aku tidak bernapas di dunia
ini. Dalam hidupku, aku memiliki prinsip. Jika aku mencintai satu orang sampai
habis-habisan, maka aku akan mempertahankan dia sebisa aku, semampuku, selagi
dia tidak dimiliki perempuan lain.”
“Kau
menyiksa dirimu sendiri.”
Tania
menarik satu ujung bibirnya ke atas ketika melihat Bisma memandangnya dengan
penuh kekecewaan.
“Setiap
orang memiliki prinsip hidupnya sendiri-sendiri. Kenapa kau terlihat kecewa?”
“Aku
kecewa, karena— aku mencintaimu.”
Bisma
menarik kursi yang di dudukinya ke depan,
berusaha
mempersempit jarak di antara
dirinya dan Tania. Ia kembali memegang masing-masing
kedua bahu Tania, yang direspons tidak nyaman oleh wanita di depannya.
“Aku
mengagumimu diam-diam selama ini, Tania. Sebenarnya aku ingin merahasiakan
hal ini,
tapi—“
“Sejak
kapan kau mencintaiku? Bukankah kau belum bisa move on dari
Dina?”
Tania
mengerutkan kening, mengalihkan perasaan canggung yang sekarang menyelinap atas sikap Bisma.
“Aku
memang sangat kecewa pada
Dina saat
dia menolakku. Dina lebih memilih menggapai cita-citanya tanpa bayang-bayang
cinta. Dina menegaskan padaku kalau dia tidak ingin bersamaku, dia ingin
bersuami seorang dokter sedangkan aku, harus meneruskan perusahaan keluarga. Setelah
kejadian bejat Rafael, kau dan Rangga terlihat saling menjaga hati, tapi kami
berbeda. Dina menjauhiku dan tetap tenang, tidak seperti kau yang amat takut.
Kami sebaliknya, justru aku yang amat takut.”
Bisma
menghela napas pelan. Kedua matanya terlihat berkaca. “Aku awalnya hanya
memperhatikanmu, aku ingin kuat sepertimu saat orang yang aku cinta pergi jauh
dariku. Namun semakin lama aku memperhatikanmu dan dekat denganmu, aku
merasakan hal yang berbeda. Aku seperti jatuh cinta kembali, tanda-tanda semuanya
mirip seperti saat awal aku mencintai Dina.”
Pandangan
lelaki itu memendar. Cengkramannya di dua bahu Tania sedikit mengerat. “Aku
tidak tahu pengakuanku saat
ini salah
atau tidak, dan mungkin aku akan menyesal. Namun, aku mencintaimu,
Tania.”
Tania
berangsur mengangkat dua tangannya dan berusaha menyingkirikan telapak tangan
Bisma dari kedua bahunya. Ia memandang sendu Bisma yang sudah menunduk setelah
menyelesaikan kalimat
pernyataan cinta untuknya.
Tania
tersenyum tipis menutupi semua kecanggungan yang kini merayap di antara mereka.
“Hal
ini yang aku takutkan. Persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan
tidak akan murni tanpa perasaan lebih. Maafkan aku, Bisma. Aku tidak ingin kau
jauh lebih sakit saat aku memaksakan perasaanku.”
Bisma mendongakkan wajahnya. Hal pertama yang Tania lihat dari
wajah itu adalah sebuah perasaan yang amat kentara tercabik-cabik. Tapi Tania tidak bisa memaksakan perasaannya, hati itu bukan untuk Bisma yang selama ini sangat baik padanya.
Ah,
kenapa Tania kembali
ingin menangis?
“Aku
berterima kasih padamu karena kau selalu menemaniku dalam suka maupun duka,
sekalipun harusnya Rangga yang menemaniku dalam keadaan waktu itu. Kau selalu
melindungiku, menolongku, membuatku sangat nyaman saat bersamamu, Bis. Aku memang tega, tetapi aku tidak bisa membohongi
apa kata hatiku. Aku memang mencintaimu, tapi sebagai adik yang sangat menyayangi kakaknya.”
Tania
memejam. Ia merasa
tetesan-tetesan itu kembali menuruni pelupuk matanya. “Aku mohon maafkan aku, Bisma.”
Ia
terisak. Perasaannya begitu amat tergores saat mengungkapkan kata penolakan itu.
Bisma sangat baik padanya, bahkan tak jarang dia merelakan waktunya hanya untuk
Tania seorang. Sekali lagi, ia tidak bisa membohongi perasaannya.
Dua
mata Bisma semakin memerah. Ia tidak tega melihat Tania yang menunduk dan
menurunkan air mata begitu banyak karenanya. Ia seperti seorang pengingkar ketika mendengar
isakan wanita itu yang terdengar memilukan.
Bisma
pernah berjanji saat ia memutuskan untuk dekat dan menjaga wanita itu seperti
perintah sepupunya, bahwa Bisma tidak ingin menciptakan kesedihan di balik
wajah polos yang sudah dikenalnya sejak awal ia masuk dalam sekolah yang sama
dengan Tania.
Tangannya
terangkat untuk memegang masing-masing pipi Tania. Ibu jarinya dengan telaten
menghapus air mata tersebut sebelum mendongakkan wajah itu agar bisa ia lihat.
“Jangan
menangis, aku tidak apa-apa.”
“Kau
bohong! Matamu tidak berbicara seperti itu.”
“Tania,
apa kau ada—“
Tania
dan Bisma segera menolehkan wajah mereka ke arah pintu yang terdengar berderit
pelan. Sebuah wajah yang terlebih dahulu muncul dari balik pintu sebelum pintu
itu terbuka dan menampilkan sebuah tubuh berbahasa amat memimpin dari
gerakannya yang sederhana. Padahal, penampilan orang tersebut melenceng dari
kostum yang seharusnya dipakai jika dia berada di dalam lokasi seperti ini.
Orang
yang tengah membulatkan kedua matanya pada Bisma hanya mengenakan kaos hitam
polos dengan celana jeans hitam serta
jaket parasut berwarna biru muda bergaris putih. Alas kakinya bahkan tidak
menggunakan sebagaimana alas kaki untuk singgah di tempat formal. Dia menggunakan
sneakers berwarna putih bergaris
hitam.
Bisma
segera melepaskan tangannya saat seseorang yang baru saja masuk itu
memandangnya tajam. Ia menebak,
sepertinya orang itu sudah
melihat aksi tangannya yang berada di kedua pipi Tania.
“Bisma?
Kau sedang—“
“Maaf.
Bukankah kau akan pulang hari ini, Ga?”
“Tidak
usah basa-basi. Apa yang kau lakukan? Kenapa Tania menangis?”
Bisma
segera menengokkan kepalanya ke arah Tania. Wanita itu tengah menghapus air
matanya sendiri dengan kedua punggung telapak tangannya.
Bisma
kembali memandang Rangga. “Aku dan Tania hanya sedang bercerita. Kalau kau
tidak percaya, tanyakan saja padanya.”
“Benarkah?
Bukan kau yang membuatnya menangis?”
Bisma
beranjak berdiri. Tubuhnya berbalik sampai ia bisa berhadapan dengan Rangga
yang masih berdiri di muka pintu.
Bisma menghela
napas pelan dan mulai melangkah mendekati Rangga.
“Bukankah
kau pernah menyuruhku untuk menjaga Tania saat kau pergi? Arti kata menjaga itu
aku jabarkan menjadi banyak sub kalimat di dalam sana. Di
antaranya, aku tidak akan membuatnya menangis.”
Rangga
menaikkan salah satu alisnya. “Oh, baguslah! Kau masih mengingat apa yang
kupinta.”
“Tapi
kau yang membuatnya menangis, Rangga.” Bisma menarik satu ujung bibirnya ke
atas ketika sudah sampai di hadapan Rangga yang berdiri tegak.
“Maksudmu?”
Rangga memutar pandangannya pada Tania yang
berada di kursinya. Wajah wanita itu kuyu dan sudah memandangnya dengan pandangan
kosong. Apa benar Tania menangis karenanya?
“Kau
harus menerima dua macam pukulan ini.”
Belum
Rangga memasang pertahanan yang kokoh, tinjuan Bisma sudah mendarat mulus di pelipis kanannya. Tubuh Rangga
terdorong beberapa langkah ke belakang sebelum ia membungkuk dan merasakan
pening pada kepalanya.
“Pukulan
pertama untuk kebodohanmu sampai membuat Tania menangis.”
“BISMA!
HENTIKAN!”
Tania
sudah beranjak berdiri. Ia dengan cepat melangkah mendekati dua pemuda yang
memiliki hubungan darah sekandung kalau saja langkahnya tidak terhenti. Ia
memejamkan erat kedua matanya saat suara tinjuan kencang kembali terdengar di
kedua telinganya.
“Pukulan
kedua aku berikan karena Tania lebih memilihmu daripada aku.”
Rangga
kembali mundur satu langkah akibat tinjuan amat keras yang dilayangkan Bisma
pada sudut bibirnya. Ia meringis dan mengusap daerah yang dipukul sepupunya
barusan. Beberapa tetes darah menempel di atas kulit tangannya.
Tania
secepat mungkin berlari ke arah keduanya. Ia mengalungkan dua tangannya pada
lengan kiri Rangga sambil mendongakkan wajahnya supaya bisa menatap si pemilik
tangan tersebut.
“Kau
masih dalam keadaan baik-baik saja?”
Bukannya
menjawab pertanyaan Tania, Rangga justru melepas paksa dua lengan Tania
kemudian mendekati Bisma dengan langkah memburu.
Ia
menarik kerah kemeja Bisma sampai wajah itu berada tepat di depan wajahnya.
“Sekalipun Tania menangis, itu urusanku dan kau tidak berhak untuk ikut campur!”
Rangga
melepas tarikannya kemudian melayangkan tinjuan keras di bagian wajah Bisma.
Namun pemuda yang berstatus sepupunya itu masih bisa berdiri sedikit seimbang.
“Hanya
aku yang boleh Tania cintai. Bukan kau, Bisma!”
“Selagi
Tania belum dilamar oleh seorang pria yang ada di dunia ini, dia masih bisa aku
miliki.”
“Oh,
ya? Bagaimana kalau—“
Rangga
menyunggingkan senyum sinisnya sebelum ia berbalik dan menarik Tania untuk
mendekatinya. Saat dua tubuh itu berbenturan dalam sepersekian detik, Rangga
langsung menyelinapkan telapak tangan kanannya pada tengkuk Tania. Ia mendorong wajah itu untuk menempel pada
wajahnya.
Di
depan mata Bisma sendiri, Rangga mencium Tania dengan begitu lembut. Pria itu
melumat pelan bibir wanita yang saat ini dicintai Bisma. Dan yang membuat Bisma
semakin terbakar emosi, Tania memejamkan kedua matanya seakan terhanyut dalam
permainan lembut dari cumbuan sepupunya itu.
“Aku
tidak terprovokasi dan aku belum menyerah, Rangga.”
Bisma
meninggalkan keduanya dengan segenap jiwa yang terbakar api cemburu. Jika ia
ditanya pernakah
ia marah besar pada Rangga, sepupunya yang sangat disayangi oleh nenek dan
kakek mereka, maka jawabannya adalah sekarang. Ia begitu murka pada Rangga.
Namun Bisma sadar, ada Tania di sana dan pasti, wanita itu akan berusaha
melindungi Rangga.
Hati
Tania begitu penuh oleh nama pria itu.
Keadaan
terbalik kini dialami oleh Tania. Ia tidak menyangka bahwa Rangga akan melakukannya
penuh kelembuatan ketika mengecupnya. Dia begitu berani melakukan hal tersebut di depan Bisma
yang notabene sangat baik membantu
pria
itu untuk menjaganya dari kecaman
Rafael.
Merasa
tidak enak hati dan sadar bahwa ia mulai terbawa perlakuan Rangga, ia segera mendorong Rangga di bagian
dada bidangnya. Sesaat memang Rangga susah sekali dijauhkan, namun ia kembali
mendorongnya dengan tenaga yang lebih besar. Tidak lama, lelaki itu melepas
cumbuannya dengan kecupan singkat sebagai akhir dari perlakuannya
memanas-manasi Bisma.
Tania
segera memundurkan tubuhnya lalu menongolkan wajahnya dari samping tubuh Rangga. Ia ingin melihat posisi Bisma
sekarang. Tidak menangkap apa yang ingin dilihatnya, Tania segera memandang
Rangga tajam.
“Apa
yang kau lakukan pada Bisma, heh? Kau tidak menghargai perasaannya?”
“Kau
memakai rasa buah apel? Aku sangat menikmatinya.”
“RANGGA!”
“Apa?”
“Kau—“
“Ah,
aku tahu kenapa kau menangis. Ayo kita ke dalam, aku akan menjelaskan
semuanya!”
Belum saja Tania melanjutkan ucapannya,
Rangga sudah menarik lengan Tania dan mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam
ruangannya sendiri. Rangga
tetap menggenggam telapak tangan wanitanya saat ia berbalik untuk menutup
pintu.
“Rangga!
Apa maksudmu seperti itu pada Bisma?! Aku tidak suka dengan caramu!”
“Kau
kenapa pagi-pagi sampai di sini? Bukankah kantor ini mulai kerja pukul sembilan
saat hari sabtu?”
“Rangga,
dengarkan aku!”
Rangga
tetap menarik Tania dan mendudukkannya di kursi yang sempat ditempati wanita itu saat ia melihat
adegan Bisma memegang kedua pipi wanitanya.
Astaga,
ia begitu emosi mengingat kejadian tadi.
Rangga meletakkan
tubuhnya untuk duduk di kursi yang berada di sebelah kanan Tania, bukan di
kursi yang tadi diduduki
Bisma.
“Apa
yang harus aku dengarkan
darimu? Tentang Bisma yang menyatakan perasaannya padamu?”
Rangga menaikkan salah satu alisnya.
Tania
menghela napas dalam dan memandang Rangga tidak percaya. “Bisma tidak salah.”
“Jelas
dia salah, karena dia mengingkari janjinya.”
“Tidak
ada yang tahu kapan cinta itu
tumbuh.
Kau, sadarlah! Bisma yang menemaniku saat aku terpuruk
karenamu. Kau harus
berterima kasih padanya, Rangga!”
“Haruskah?
Aku juga tengah menjaga seorang perempuan sama seperti dia menjagamu selama
ini, tapi aku tidak mencintainya.”
Tania
membulatkan kedua matanya setelah
mendengar
kesaksian Rangga barusan. Dia tidak menyangkal kalau saat ini hatinya mulai timbul rasa
cemburu yang tak terkira
besarnya.
“Kau
menjaga seorang perempuan?”
Rangga
terlihat memejamkan kedua matanya sebelum kembali membuka indrawinya dan
memandang Tania dengan pandangan hujan.
“Ya,
aku menjaganya di saat aku juga harus memastikan kau baik-baik saja di sini.
Tapi tenanglah, aku tidak memainkan hatiku pada perempuan itu.”
“Apa
hal itu yang membuatmu tidak menjawab pertanyaan Reza semalam? Kedatanganmu...
Kau ingin mengubah janjimu padaku dan berkata tidak pada setiap ucapan janjimu
saat kau meninggalkanku?”
“Bukan
seperti itu!"
Tania
dapat melihat pandangan tegas
Rangga
setelah mengucapkan tiga kata penyangkalan tersebut. Saat ia berkedip, dapat ia
rasakan dua telapak tangan pria itu sudah
menggenggam dua telapak tangannya. Dia menyelinapkan sela-sela jemarinya pada sela jemari-jemari Tania.
“Kemarin
perusahaan sedang ada masalah, dan aku berusaha melupakannya dengan menerima
ajakanmu untuk berkunjung ke rumah Reza. Namun, saat Reza menanyakan hal itu,
aku tidak bisa menjawabnya.”
“Ada
hal apa yang membuatmu seolah bisu dan tuli secara mendadak?”
“Aku
tidak berpura-pura. Percayalah, aku tidak pernah main-main berhubungan
denganmu. Waktu kita belum tepat, Tania.”
“Belum
tepat?”
“Hmm—aku
belum bisa menjelaskannya sekarang. Aku takut kau sudah lelah menungguku,
sedangkan aku harus mengurus beberapa hal agar waktu di mana aku meminangmu,
semuanya kembali berjalan baik-baik saja.”
“Aku
tidak mengerti.”
Rangga
menarik napas. “Begini secara sederhananya. Aku serius denganmu, tetapi aku
belum bisa melamarmu dalam waktu dekat ini. Aku sebenarnya takut kau lelah
menungguku. Tapi,
apa kau bersedia menunggu beberapa waktu lagi?”
“Berapa
lama aku harus menunggumu
untuk kedua kalinya?”
“Aku
akan kembali ke Amsterdam, namun tidak lama. Aku akan kembali lagi dan di saat
aku menemuimu setelah kepergianku yang kedua, aku akan melamarmu. Aku janji.”
“Aku
lelah harus berhadapan dengan Rafael terus, Ga.” Tania merendahkan nada bicaranya.
Ia menunduk setelah mengerti penjelasan Rangga.
Pria
di depan Tania mengatupkan rahangnya erat. Ia lebih memilih mengeratkan
genggamannya pada wanita itu sebelum berucap. Ia memejam, dan pejaman itu lebih
lama dari pejaman sebelumnya.
“Aku
tidak tahu harus bagaimana. Aku juga
tidak
bisa membawamu. Maafkan aku.” Tuturnya saat membuka pejaman mata.
“Rangga,
kumohon beritahu aku apa alasan Rafael amat membenciku sampai sekarang.”
Tania
mengangkat wajahnya. Dua pasang mata itu langsung terlihat saling menangkap
pandangan satu sama lain dengan arti yang berbeda.
“Untuk
apa? Lebih baik kau tidak tahu agar kau tidak memikirkannya.”
“Kenapa?
Kau dan Bisma sama-sama menutupi alasan kebencian Rafael. Saat aku bertanya
pada Rafael, dia hanya menjawab bahwa aku harus menanyakan jawabannya pada kau
atau Bisma.”
“Tidak
perlu dibahas.”
“Rangga,
kumohon. Jika aku menciptakan sebuah kesalahan besar pada Rafael sampai dia membenciku
selama ini, maka aku akan meminta maaf padanya.”
“Tidak
perlu. Kau akan menjatuhkan harga dirimu di depannya.”
“Kumohon,”
Tania
melepas genggaman Rangga dan menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada.
Indra penglihatannya sudah kembali berair, dan Rangga yang melihatnya harus menghela napas
dalam untuk kesekian kalinya.
“Dia
membencimu karena kau dan keluargamu sudah mengancam Rafael dan keluarganya
akibat party malapetaka itu. Kau
ingat? Keluargamu, Thella, Dina, dan Benicia datang ke rumah Rafael yang saat
itu tengah mengadakan kumpul bersama. Saat itu, keluarga kami sekaligus
keluarga besar para rekan terdekat sedang membicarakan masalah Soekarta's
Company yang
terancam gulung
tikar. Kalian berucap bahwa kalian akan melaporkan Rafael ke polisi kalau aku,
Bisma, Reza, dan terutama Rafael tidak ingin bertanggung jawab.”
Pelupuk
mata yang berair itu seolah surut. Tania menautkan
kedua alisnya heran. “Apa yang
salah? Dia memang pantas mendapatkan itu, bahkan seharusnya kami melaporkannya
ke polisi.”
“Nah,
karena hal itu, Rafael dibenci oleh Oma dan Opa. Pembagian saham sekaligus
perusahaan untuknya dikurangi, dan sisanya diberikan cuma-cuma padaku karena
mereka percaya bahwa aku bisa mengurusnya dengan baik.”
“Jadi, sebab itu pula dia membencimu?”
“Ya!
Dia juga sangat membenci Benicia, bahkan tidak mempedulikan sedikit saja keadaan
Benicia yang positif hamil anak
Rafael. Bahkan kau
tahu? Rafael tetap seperti itu sampai Benicia melahirkan anak
mereka.”
Tania
terperangah. Ia sampai menutup bibirnya tidak percaya. Berarti, tidak hanya ia
yang sengsara. Lebih jauh lagi, teman satu sekolahnya itu harus menjadi ibu
lebih dini untuk mengurus anaknya dan Rafael.
“Lalu,
Ga?”
“Kau
tahu jika Rafael sangat membenci Benicia sejak awal masuk sekolah, bukan?
Benicia selalu mendekati Rafael secara agresif walaupun terlihat polos, dan
karena itulah mengapa Rafael juga melibatkan dia.”
“Ah,
aku ingat! Kemarin saat aku berdebat dengan Rafael, aku menyebutkan nama
Benicia dan Rafael begitu marah. Itu karena apa?”
“Aku
dengar, kalian memang mensiasatkan datang ke kediaman Rafael di saat keluarga kami
berkumpul, dan Benicia yang merencanakan
itu semua. Benarkah?”
“Ya,
begitulah. Dia menghubungi Rafael terus-menerus. Mungkin karena kesal, Rafael
memberitahukan padanya bahwa dia sedang berkumpul bersama keluarga. Dan, ya—
kami akhirnya datang.”
“Semenjak
itu, Rafael mengecap Benicia lah sumber segala kehancurannya.”
“Kenapa
Rafael tega sekali? Bagaimana
keadaan anak mereka, Rangga? Umur anak itu berarti sama dengan umur Arda, ya?”
“Jadi,
kau sudah mengetahui semuanya, bukan?”
Rangga
menarik dua ujung bibirnya dan tersenyum simpul. Ia merasa hatinya sedikit
tenang ketika melihat wajah Tania tidak terlihat kuyu seperti tadi. Apalagi
saat ia melihat senyum tipis yang keluar dari bibir wanita di depannya. Rangga
merasa paru-parunya bisa menghirup oksigen sedikit lebih lepas.
“Siapa
wanita yang kau jaga selama ini?”
Tania
kembali memandang wajah Rangga dengan serius. Gelagat Rangga yang terlihat
gusar sekarang membuat ia semakin mengintimidasi pria itu dengan tatapannya.
“Hmm—aku
belum bisa mengatakannya. Percayalah, aku tidak mencintainya.”
“Rangga,
jujurlah! Kau tahu kalau sifat egoisku mulai muncul sekarang?”
Rangga
menahan kedutan di dua ujung bibirnya saat ia bisa melihat wajah Tania yang
merengut sebal. “Kau sangat cemburu?”
“Apa
aku perlu mengatakannya?”
“Kurasa
perlu.”
“Kapan
kau pulang ke Amsterdam?”
“Besok.
Ada apa?”
“Sepertinya
aku perlu menculikmu kemudian mengurungmu di rumah kosong. Jika saja kau
menyebutkan nama perempuan itu, maka aku tidak akan cemburu dan berpikiran
picik seperti ini.”
“Serius?
Yang kutahu, kau jenis perempuan yang pencemburu, Tania.”
“Apa
bedanya denganmu? Kurasa, kau lebih parah dariku.”
Rangga
tertawa melihat Tania sudah bersedekap dada. Pandangan wanita itu sungguh
sangat menggemaskan. Menurut Rangga, Tania yang sekarang benar-benar seperti
anak kecil, dan ia amat menyukai kenangan ini.
“Aku
suka kau yang cemburu.”
Rangga
mendekatkan tubuhnya. Ia segera mendekap tubuh wanita itu yang seketika
menegang akibat perlakuannya. Tersenyum senang, Rangga semakin mengeratkan
dekapannya walaupun Tania masih
mempertahankan posisinya.
“Kau
tidak ingin membalas pelukanku? Banyak gadis-gadis dan bahkan wanita dewasa di
luar sana yang ingin menemuiku dan secara eksklusif mendapat pelukan dariku.”
“Jujurlah
padaku, baru aku akan membalas pelukanmu.”
“Ah!
Yang pasti, kau mengenalnya.”
“Aku
mengenalnya?”
Tania
ingin mendorong tubuh Rangga kalau saja pria itu tidak mengeratkan dekapannya.
“Jangan lepas pelukan ini!”
“Memangnya
kenapa?”
“Kau
tidak bisa romantis sedikit, heh?!”
Rangga
ingin melepas dekapannya karena kesal dengan respons Tania. Ia baru saja ingin
melepas kalungan tangannya di pinggang dan bahu Tania, kalau ia tidak merasakan
ada sebuah kalungan erat yang melingkari pinggangnya.
“Aku
akan kembali tersiksa karena kepergianmu.” Bisik Tania yang mulai membenamkan
wajahnya di ceruk leher Rangga.
“Tenanglah,
aku akan terus mengawasimu. Lebih ketat dari yang kemarin.”
“Aku
bukan tersiksa
karena Rafael.”
“Lantas,
karena apa?”
“Aku
akan merindukanmu, lebih rindu dari kemarin-kemarin.”
Rangga
tersenyum haru di dalam dekapan tersebut. Ia membenamkan wajahnya di antara
bahu dan leher Tania. Ia menghirup dalam aroma parfum yang dipakai Tania,
sekaligus aroma alami yang keluar dari kulit tubuh wanitanya.
“Kalau
rindumu ibaratkan hujan.
Maaf, aku tak sanggup menadahnya. Sebab,
setiap rintiknya adalah sembilu. Semakin deras, semakin cepat aku mati
karenamu. –Adnan Azhari-”
“Kau
tahu kalimat-kalimat itu, Ga?”
“Aku
mengutipnya.”
“Aku
juga menyimpannya di notes-ku. Ah,
kenapa rekan-rekanku tidak datang
sampai jam segini?”
“Ya
sudah, kita punya banyak waktu untuk menikmati setiap detik ini dengan
berpelukan.”
“Kau
dapat dua keberuntungan pagi ini.”
“Aku
dapat ciuman dan dapat pelukan. Ah, betapa menyenangkannya pagi ini. Besok, aku
kembali tidak melihatmu.”
“Kapan
kita akan bertemu lagi?”
“Aku
akan mengabarimu di antara panggilan-panggilan dan banyak pesan singkat yang
akan aku lakukan pada nomor ponselmu. Bersiaplah, ponselmu akan ramai setelah
ini.”
“Kalau
kau terlalu lama, aku akan memilih Bisma secara tiba-tiba, tanpa
sepengetahuanmu.”
“Ya!
Awas saja kalau kau berani, Tania.”
“Haha.
Oh iya, bagaimana lukamu sekarang? Perlu aku obati?”
“Setelah
ada temanmu yang datang dan pelukan ini terlepas, aku baru mengizinkanmu untuk
menyentuh wajahku. Sesukamu.”
Wanita
itu hanya terkekeh dan kembali mengeratkan pelukannya. Rangga dan Tania kembali
memanfaatkan waktu sunyi yang ada untuk menikmati kehangatan yang menyalur dari
dua pasang tangan yang saling mendekap tubuh yang berada di depan mereka dengan
sangat erat.
To be continued
No comments:
Post a Comment