Sunday, January 1, 2017

MINE | BAB 5. Bisma Loving Tania Secretly

“Bagaimana? Dia tampan, kan?”
Tania menahan tawa di ujung bibirnya. “Aku harus mengakuinya. Tapi, dia jauh lebih tampan darimu, Za.”
Reza merengut sebal, sedangkan Tania mulai tertawa keras karena melihat ketidaksukaan Reza atas kejujurannya. Pandangannnya mulai beralih pada seorang anak laki-laki yang duduk di antara Reza dan Thella, mengamati dengan sisa tawanya yang ada.
“Bolehkah aku mengetahui namamu, tampan?”
Tania beranjak duduk simpuh di bawah soffa. Tubuhnya menyamping untuk mengulurkan tangan, sebab keluarga kecil itu duduk beriringan di soffa yang berada di sebelahnya.
“Gardana Ardiansyah Anugrah, Kakak.”
“Dipanggilnya?”
“Arda.”
“Umurnya berapa? Kelas berapa, sayang?” Tania bertanya antusias saat telapak tangannya dijabat hangat oleh Arda—putra pertama Reza dan Thella—dan belum dilepas sampai sekarang.
“Arda umur delapan tahun. Kelas tiga SD.”
“Kau tampan, ramah pula.” Ia memegang sebelah pipi anak tersebut kemudian mengusapnya.
“Kakak juga cantik. Kalau Arda sudah besar, boleh Arda mendekati Kakak?”
Tania menjauhkan tangannya karena terperangah. Kepalanya segera mendongak pada sepasang suami-istri di atasnya yang juga terlihat terkejut. Ia kembali menatap wajah polos di depannya dengan senyum kecil.
“Arda masih kecil. Arda harus sekolah dulu sampai tinggi, nanti boleh dekat dengan Kak Tania. Janji?”
Arda tertawa menunjukkan deretan gigi-gigi kecilnya. “Janji.”
Anak kecil itu segera menyembunyikan wajahnya di belakang tubuh sang ibu. Tania tertawa, ia kembali beranjak berdiri lalu duduk di sebelah Rangga yang sejak tadi hanya terdiam tanpa suara.
“Anak kalian pandai merayu, ya?”
“Kau cemburu, Rangga?”
“Aku hanya mengomentarinya.”
Tania menolehkan wajahnya pada Rangga yang memandang lurus ke arah depan. Keningnya berkerut melihat pemandangan wajah pria itu yang lebih datar dari biasanya.
“Ada apa dengan wajahmu? Kau tidak ikhlas menemaniku malam ini?”
Rangga membalas tolehan kepala Tania. “Aku ikhlas. Sangat ikhlas.”
“Wajahmu tidak berkata demikian, Rangga.”
“Aku hanya sedang berpikir,”
“Apa yang sedang kau pikirkan? Masalah perusahaanmu?”
“Bukan.” Rangga memutar bola matanya ke atas selama beberapa detik. “Daripada dia mendekatimu, bagaimana kalau nanti jodohkan saja Arda dengan anak kita bila sudah besar?”
Tania seketika mengatupkan rahangnya. Ia tidak menyangka jika Rangga akan memiliki pemikiran sampai sejauh itu. Kepalanya beralih untuk berhadapan dengan wajah Reza dan Thella yang mengeluarkan ekspresi sama sepertinya.
“Ah, kenapa wajah kalian semua terpasang seperti itu? Apa aku salah?”
Thella tersenyum pada Rangga sebelum beralih menengokkan kepalanya pada Arda yang masih bersembunyi di balik punggungnya.
“Arda ke kamar, ya. Sekarang Bunda sama Ayah ingin berbicara serius dengan Kak Tania dan Kak Rangga.”
“Baiklah, Bun.” Anak laki-laki itu turun dari soffa. Sebelum meninggalkan area ruang keluarga, pandangannya beralih menatap Tania. “Sampai bertemu, Kak Tania.”
Tania balas melambaikan tangannya saat Arda meninggalkan mereka dengan tersenyum dan melambaikan tangannya pada Tania. Setelah melihat anak kecil itu hilang dibalik lengkung tangga rumah sepasang suami-istri di depannya, dua mata Tania beralih memandangi Reza dan Thella dengan pandangan tidak percaya.
“Anak kalian benar-benar menyukaiku?”
“Ah, sepertinya. Rangga, kau akan bersaing dengan putraku!” Thella menyandarkan dua bahunya dengan anggun.
“Dan kau ingin menjodohkan anak kita bila sudah besar? Aku tidak berniat untuk berbesanan denganmu!”
Ucapan Reza tersebut mampu membuat Rangga semakin menaikkan dua alis matanya. “Kenapa? Kurasa hartaku tidak akan habis tujuh turunan.”
“Umur mereka akan berbeda jauh. Kalian saja sampai sekarang belum meresmikan hubungan, kemudian prosesnya, dan belum tentu anak pertama kalian itu laki-laki.”
“Kalau ternyata perempuan?”
“Kau tidak ingin memiliki anak sulung laki-laki? Jika dia perempuan, maka siapa yang mengurus perusahaanmu saat kau tua nanti? Kau anak tunggal.”
“Benar juga ucapanmu, Za. Aku sangat ingin memiliki anak laki-laki. Tapi, aku hanya bisa berserah kalau kami ternyata diberi anak perempuan.”
“Aku tetap tidak setuju jika putraku akan menikahi putri kalian!”
Reza berkata tegas, membuat Rangga memaksimalkan bulatan kedua matanya. Ia belum terima dengan penolakan Reza secara mentah-mentah pada tawaran yang ia ajukan.
“Apa aku harus membuat penawaran lebih, hah?”
“Sudahlah! Memang aku akan benar menikah dengan Rangga?”
Tania meringis di akhir kalimat saat pandangan-pandangan mengerikan itu terlempar, apalagi ketika ia mengamati pandangan Rangga untuknya. Dia seolah mengatas-namakan jiwa dan raga yang Tania punya hanya untuk dimiliki pria itu. ‘Hanya.aku.yang.boleh.menikahimu’
“Benar juga kata Tania.” Thella menimpali.
“Sayang, kau tidak berdoa semoga mereka cepat menikah?”
“Bukan seperti itu, cuma.. Tidak ada yang tahu kapan jodoh datang dan siapa jodoh kita. Bisa saja mereka yang lama terpisah dan sekarang mulai bersatu kembali, namun ternyata Rangga bukan jodoh Tania dan bukan Tania jodoh Rangga.”
“Benar juga. Omong-omong, kapan kalian akan merencanakan pernikahan? Kami diundang, kan?”
Tania segera terdiam dan tidak ingin melontarkan jawaban terlebih dahulu. Ia ingin melihat dan mendengar reaksi pria di sebelahnya. Menurut Tania saat ini, pertanyaan Reza barusan adalah pertanyaan yang sangat menguntungkan. Ia bisa mengetahui sampai di mana keseriusan Rangga yang sudah mengucapkan beberapa kali kata cinta untuknya. Rangga juga sudah mengucapkan banyak kata kepemilikan di mana hanya pria itu yang boleh memilikinya.
Dua sudut matanya melirik pada Rangga yang justru masih saja terdiam sambil menatap lurus ke depan, padahal pertanyaan tersebut sudah terlontar sejak satu menit yang lalu.
Tania menghela napas pelan. Pandangannya kini memutar ke arah Reza yang ternyata memandangi mereka berdua dengan alis bertaut. Terlebih Thella, wanita itu bahkan sudah menatapnya dengan sirat berbagai arti yang tidak bisa ia sebutkan.
Ia mendesahkan napas pelan. “Secepatnya, ya.
Ada suatu hal yang menghunus hatinya saat ia menjawab pertanyaan Reza dengan senyum kecil yang ia paksa tarik dari dua ujung bibirnya.
Yang Tania inginkan, Rangga langsung bersemangat untuk menjawab pertanyaan Reza yang mengandung arti kepastian bagi hubungan mereka selama ini. Namun bukannya sesuai harapan yang diberikan pria itu selama dua hari ke belakang, Rangga malah terlihat diam saja dan pura-pura tuli. Padahal sebelum Reza menanyakan perihal tersebut, dia masih bisa bersuara untuk mendebat Reza.
Omong kosong macam apa yang bilang ingin menjodohkan anak, jika ditanya kapan memiliki rencana menikah saja, lelaki itu tidak menjawab?
Perempuan diciptakan bukan untuk mengejar-kejar cinta seorang laki-laki, tetapi para lelaki yang seharusnya berusaha meraih hati seorang perempuan. Jika berlian adalah benda yang paling berharga di muka bumi ini, perempuan lebih dari segalanya.
Sejak SMA, Tania tidak pernah mencoba peruntungan dengan menunjukkan rasa pada teman laki-lakinya terlebih dahulu, biarpun saat masa sekolahnya tersebut sudah zaman di mana trend seorang perempuan dapat menyuarakan perasaannya terlebih dahulu.
Jatuh cinta diam-diam itu lebih baik, tidak akan merendahkan harga diri sebagai seorang perempuan. Terserah menurut orang seperti apa, tetapi Tania selalu memegang prinsip tersebut.
Menurutnya, jika seorang lelaki yang dikagumi itu menyadari perasaan tersembunyi dari seorang gadis, maka cinta itu bagaikan sebuah radar. Lelaki yang ia cintai akan menghampiri dengan sendirinya.
Memang tidak salah jika seorang perempuan berusaha untuk mendekati lelaki terlebih dahulu. Tapi sesuka-sukanya Tania pada Rangga, Tania tidak pernah menunjukkan rasanya pada lelaki itu.
Bagaimana Rangga bisa mengetahui perasaannya saat sekolah?
Itulah ulah teman tidak berhati, yang dengan gatalnya memberitahu berita kekaguman dan rasa sayangnya pada lelaki itu.
Bilang ia munafik atau apapun hal yang buruk atas prinsipnya dalam menyukai pria, tetapi memang inilah keputusannya.
###

Tania terdiam di atas kursinya. Ia hanya bisa menangkup kedua pipinya dengan menjadikan dua sikutnya sebagai tumpuan di atas meja. Bibirnya mencebik, bersama pandangannya yang nanar kini menatap fokus pada satu titik di depannya.
Ia yang pertama sampai di dalam ruangan ini.
Menikmati kesendiriannya, Tania kembali memikirkan kejadian semalam. Sehabis pertanyaan Reza tersebut, Rangga memang lebih banyak diam daripada berbicara seperti sebelum pertanyaan itu timbul di antara mereka. Bahkan saat pria itu mengantarnya kembali ke rumah, dia hanya diam saja dan terlihat sangat konsentrasi menyetir. Padahal sewaktu Rangga mengantarnya pulang ke rumah dan kembali mengantarnya untuk berkunjung ke rumah Reza dan Thella, pria itu membicarakan tentang berbagai hal.
Saat ini, Tania hanya bisa menyimpulkan semua keresahannya dalam keadaan otak yang sempit.
Apa Rangga tidak ingin menikahinya?
“Tan,”
Pandangan Tania beralih pada pintu yang berderit pelan. Dari sana, muncul Bisma dengan pakaian kantornya. Lelaki itu kembali menutup pintu dan ia dapat menangkap setiap langkah penuh wibawa yang Bisma lakukan saat sedang mendekatinya.
“Ada apa kau pagi-pagi menemuiku?”
Bisma menggeser tubuhnya untuk duduk menyamping, berhadapan dengan Tania. “Maurin bilang, kau kemarin bertengkar dengan Rafael lagi sampai berdarah. Benar?”
“Ya, begitulah.”
“Tidak terlalu parah, bukan? Kulihat, tidak ada bekas luka di wajahmu.”
“Ada di ujung bibir dan pipiku sedikit bengkak, namun kemarin Rangga mengompresnya setelah kejadian dan semalam saat dia berkunjung ke rumahku. Ada juga luka di dua sikutku, nih..”
Tania menggerakkan dua tangannya untuk sedikit memutar dan memperlihatkan kondisi sikutnya.
“Sikutku luka karena menahan posisi tubuh. Tapi sudah mengering, kau tenang saja.”
Bisma beranjak memeriksa keadaan lengan Tania satu per satu. Pandangannya kini memutar kembali pada wajah Tania. “Aku bisa sedikit tenang. Tapi, Rangga kembali mendekatimu?”
“Sejak kejadian malam itu, kami kembali dekat.”
“Masalah malam itu, kenapa kau tidak menghubungiku? Kau menghubungi Rangga, heh?”
“Sampai malam itu, aku tidak mempunyai nomor ponsel Rangga. Waktu itu, aku ingin mendorong motorku lagi sehabis istirahat di pinggir jalan. Tapi, ada sebuah mobil yang mencegat langkahku. Dan pengemudinya adalah Rangga.
“Benarkah?”
Tania menautkan kedua alisnya ketika memandang raut wajah Bisma yang tidak enak dalam pandangan matanya. “Sejak kapan aku berbohong padamu? Ah, ya! Menurutmu, apa dia mengikutiku?”
“Tidak mungkin dia mengikutimu. Dia pria yang malas menunggu.”
“Tapi, Bisma.. Aku dan kau keluar restaurant setelah lima belas menit dia dan rombongannya pulang. Kemudian aku menunggu pesanan pecel lele sampai satu jam, dan aku mendorong motor selama sepuluh menit. Dia tiba-tiba datang dan bilang bahwa dugaannya benar kalau aku masih berada di sana. Kurasa, dia mengikutiku.”
“Bagaimana kau bisa menyimpulkan cepat masalah itu? Siapa tahu dia kebenaran lewat ketika melihatmu sedang mendorong motor.”
“Ah! Dia bilang padaku, kalau dia memang memiliki feeling aku masih berada di jalan itu.”
“Jangan bilang kalau dia yang membocorkan ban motormu?”
“Bisma! Kau selalu menduga Rangga dengan hal yang aneh! Kau mengikuti jejak Rafael?!"
Bisma terlihat menghirup udara pelan. “Aku tidak ingin kau terbang begitu saja atas kejadian malam itu.”
“Aku sudah terbang melayang.” Tania menarik dua lengannya yang masih dipegang Bisma. Ia baru sadar, dan ia berusaha masa bodoh serta melupakannya cepat.
Tania memilih untuk melipat kedua lengannya di atas meja. Kepalanya mendongak, ia memandangi plavon putih yang sedikit jauh di atasnya sambil tersenyum.
“Kurasa, dia kembali memperhatikanku.”
“Benarkah?”
“Ya, dia begitu menunjukkan perlakuan penuh kasih sayangnya padaku.”
“Lantas, apa dia menyinggung masalah janjinya untuk menikahimu saat dia kembali ke negara ini?”
Itu masalahnya, Bis.”
Tania membuang napas lalu menundukkan wajah. “Reza bertanya padaku dan Rangga semalam, apakah kami sudah membicarakan masalah pernikahan. Tapi Rangga malah diam saja, mendadak jadi orang yang bisu dan tuli.”
Bisma mulai mencium hawa haru yang keluar dari diri Tania. Sambil memandangnya sendu, ia mengusap bahu Tania pelan.
“Sudah kubilang, kau tidak boleh banyak berharap pada Rangga, Tania.”
“Tapi aku sangat berharap padanya. Harta paling berhargaku sudah ia renggut begitu saja. Aku rela bermasa depan suram untuk menunggunya. Aku ikhlas harus dekat dengan Rafael yang amat sangat membenciku. Aku menutup hati pada semua lelaki, dan aku hanya membukanya jika Rangga sudah kembali ada di dekatku. Tapi, saat kurasa dia kembali ada di sekitarku, dia mengubur semua harapan yang aku limpahkan padanya. Dia tidak menjawab pertanyaan Reza yang buatku itu sangat penting.”
Tania menggigit bibir bawahnya kencang.
“Umurku sudah terbilang dewasa untuk seorang perempuan yang akan berumah tangga. Saat kepala tiga, perempuan akan dalam masa rawan untuk melahirkan. Bukannya aku sangat tergila-gila untuk dinikahi Rangga. Aku hanya—“
“Zaman sekarang sudah canggih, Tania. Apa yang kau takutkan?”
“Ketakutan terbesarku bukan pada hal itu sebenarnya.”
“Lalu, apa?”
“Aku takut tidak ada seorang lelaki yang ingin menikahiku karena aku—tidak gadis lagi.”
Tania mendongakkan wajahnya cepat. Ia tidak ingin air mata menyesakkan itu keluar dan membuatnya sulit bernapas saat hari masih terbilang pagi.
“Hei, dengar!”
Tania merasakan dagunya dipegang oleh Bisma dan digerakkan lelaki itu untuk menoleh ke kiri, di mana Bisma memang duduk di sebelah kirinya.
“Seorang pria yang mencintaimu habis-habisan, dia akan tetap menerimamu sebagaimana dia tahu tentangmu. Bukan hanya tentang menerima kekurangan dan kelebihan, tetapi bagaimana dia mengerti seberapa banyak kekuranganmu.”
Tania berkedip. Ia bisa merasakan beberapa tetes air matanya turun begitu saja mengaliri masing-masing area pipinya. Kehangatan telapak tangan Bisma di dagunya pun tidak dapat menutupi ketakutan dalam hatinya yang sedang menguak.
“Aku tidak merasa tenang.”
“Berusahalah tenang, Tan.”
“Aku belum bisa.”
Jika tidak ada seorang pria, pun yang ingin memilikimu, maka aku siap untuk melakukan hal itu, Tania.”
Tania membulatkan kedua matanya. Bagian kornea itu menelusuk ke arah indrawi Bisma yang terpancar begitu mengkilap bagaikan kaca transparan. Ia ingin mengetahui sampai di mana kedalaman lelaki itu dalam mengatakan ucapannya tadi. Dan yang Tania harapkan, dia hanya bercanda dalam situasi yang sekarang terasa haru.
“Aku sedang sedih, kau malah bercanda.”
“Aku tidak bercanda. Kau tidak bisa lihat?”
“Mataku buram sehabis menangis.”
“Bukankah sejak masa sekolah, kau selalu bicara padaku bahwa sinar mata ini selalu dengan mudah berbicara jujur bahkan, saat mulutku mengucapkan kebohongan. Kau ingat?"
Tania mengambil napas dalam. Sebenarnya ia sudah menangkap apa yang Bisma bicarakan lewat mata lelaki itu yang jujur, di mana jarang sekali seorang pria—bahkan kebanyakan orang—memiliki mata bersinar bagaikan benda itu adalah sebuah mulut yang tidak pernah berbohong sedikit pun.
Namun, Tania tidak ingin menyimpulkan apapun yang ditangkapnya sejak tadi dari pancaran dua bola mata bulat tersebut.
“Kau tidak segera berangkat ke kantormu? Sekarang akan tiba pukul delapan.” Tania mengalihkan pembicaraan mereka dengan menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Bolehkah tubuhmu duduk menghadap ke arahku?”
Tania memutar bola matanya untuk menatap Bisma. “Maksudmu?”
“Ada yang ingin aku bicarakan.”
“Dibicarakan? Kau sebaiknya cepat berangkat, Bisma! Kau tidak ingin terjebak macet, bukan?”
“Aku mohon, kau jangan mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan.”
Tania memejamkan sepersekian detik matanya. Ia segera memutar tubuhnya untuk duduk berhadapan dengan Bisma.
Ia menatap jengah lelaki di hadapannya. “Ya, aku sudah melakukan perintahmu.”
“Sebenarnya—“
Bisma mengangkat kedua tangannya menuju masing-masing bahu Tania sebelum memegangnya erat. Kedua mata lelaki itu menatap bola mata Tania dengan pandangan berpikir.
“Apa—kau benar-benar mencintai Rangga sampai bertahun-tahun? Tidak berkurang sama sekali?
“Tidak perlu kau tanya, kau juga sudah tahu jawabanku.”
“Emm—maksudku, apa hatimu sangat tertutup untuk orang lain?”
“Memang, ada apa kau menanyakan hal itu?”
“Jawab saja.”
“Kalau aku tidak serius, mungkin sudah banyak hati lelaki yang singgah di dalam sana.”
“Jika ada seorang pria yang diam-diam mencintaimu begitu tulus dan cintanya lebih besar dari cinta Rangga padamu, apa kau akan membuka hatimu untuknya?”
Tania telihat diam. Dua matanya mulai menatap tajam pada Bisma yang menatap tidak biasa padanya. Jika dihubung-hubungkan bersama apa yang diucapkan Bisma barusan, maka ia bisa menangkap ada sebuah sinar berharap yang dapat ia lihat.
Sinar berharap yang dapat Tania lihat bukan karena ia terlalu percaya diri, tapi Tania sudah dekat dengan Bisma sejak lama.
Ia menghela napas dalam. Pandangannya berubah menjadi sendu. “Aku akan meminta maaf dan menjelaskan padanya bahwa aku tidak ingin menyakiti hatinya sangat dalam. Aku tidak bisa membuka hati pada lelaki manapun selain Rangga.”
“Sekalipun dia mengemis cinta padamu?”
Tania tertawa kecil. “Banyak wanita di luar sana yang sangat jauh lebih baik dariku. Aku tidak ingin dia sampai mengemis seperti itu pada hatiku yang bodoh ini.”
“Kalau dia tetap bertahan di saat misalnya, Rangga tidak ingin menikahimu seperti janjinya. Kau akan bagaimana?”
“Aku lebih memilih tidak mencintai siapapun lagi sampai aku tidak bernapas di dunia ini. Dalam hidupku, aku memiliki prinsip. Jika aku mencintai satu orang sampai habis-habisan, maka aku akan mempertahankan dia sebisa aku, semampuku, selagi dia tidak dimiliki perempuan lain.”
“Kau menyiksa dirimu sendiri.”
Tania menarik satu ujung bibirnya ke atas ketika melihat Bisma memandangnya dengan penuh kekecewaan.
“Setiap orang memiliki prinsip hidupnya sendiri-sendiri. Kenapa kau terlihat kecewa?”
“Aku kecewa, karena— aku mencintaimu.”
Bisma menarik kursi yang di dudukinya ke depan, berusaha mempersempit jarak di antara dirinya dan Tania. Ia kembali memegang masing-masing kedua bahu Tania, yang direspons tidak nyaman oleh wanita di depannya.
“Aku mengagumimu diam-diam selama ini, Tania. Sebenarnya aku ingin merahasiakan hal ini, tapi—“
“Sejak kapan kau mencintaiku? Bukankah kau belum bisa move on dari Dina?”
Tania mengerutkan kening, mengalihkan perasaan canggung yang sekarang menyelinap atas sikap Bisma.
“Aku memang sangat kecewa pada Dina saat dia menolakku. Dina lebih memilih menggapai cita-citanya tanpa bayang-bayang cinta. Dina menegaskan padaku kalau dia tidak ingin bersamaku, dia ingin bersuami seorang dokter sedangkan aku, harus meneruskan perusahaan keluarga. Setelah kejadian bejat Rafael, kau dan Rangga terlihat saling menjaga hati, tapi kami berbeda. Dina menjauhiku dan tetap tenang, tidak seperti kau yang amat takut. Kami sebaliknya, justru aku yang amat takut.”
Bisma menghela napas pelan. Kedua matanya terlihat berkaca. “Aku awalnya hanya memperhatikanmu, aku ingin kuat sepertimu saat orang yang aku cinta pergi jauh dariku. Namun semakin lama aku memperhatikanmu dan dekat denganmu, aku merasakan hal yang berbeda. Aku seperti jatuh cinta kembali, tanda-tanda semuanya mirip seperti saat awal aku mencintai Dina.”
Pandangan lelaki itu memendar. Cengkramannya di dua bahu Tania sedikit mengerat. “Aku tidak tahu pengakuanku saat ini salah atau tidak, dan mungkin aku akan menyesal. Namun, aku mencintaimu, Tania.”
Tania berangsur mengangkat dua tangannya dan berusaha menyingkirikan telapak tangan Bisma dari kedua bahunya. Ia memandang sendu Bisma yang sudah menunduk setelah menyelesaikan kalimat pernyataan cinta untuknya.
Tania tersenyum tipis menutupi semua kecanggungan yang kini merayap di antara mereka.
“Hal ini yang aku takutkan. Persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan tidak akan murni tanpa perasaan lebih. Maafkan aku, Bisma. Aku tidak ingin kau jauh lebih sakit saat aku memaksakan perasaanku.”
Bisma mendongakkan wajahnya. Hal pertama yang Tania lihat dari wajah itu adalah sebuah perasaan yang amat kentara tercabik-cabik. Tapi Tania tidak bisa memaksakan perasaannya, hati itu bukan untuk Bisma yang selama ini sangat baik padanya.
Ah, kenapa Tania kembali ingin menangis?
“Aku berterima kasih padamu karena kau selalu menemaniku dalam suka maupun duka, sekalipun harusnya Rangga yang menemaniku dalam keadaan waktu itu. Kau selalu melindungiku, menolongku, membuatku sangat nyaman saat bersamamu, Bis. Aku memang tega, tetapi aku tidak bisa membohongi apa kata hatiku. Aku memang mencintaimu, tapi sebagai adik yang sangat menyayangi kakaknya.”
Tania memejam. Ia merasa tetesan-tetesan itu kembali menuruni pelupuk matanya. “Aku mohon maafkan aku, Bisma.
Ia terisak. Perasaannya begitu amat tergores saat mengungkapkan kata penolakan itu. Bisma sangat baik padanya, bahkan tak jarang dia merelakan waktunya hanya untuk Tania seorang. Sekali lagi, ia tidak bisa membohongi perasaannya.
Dua mata Bisma semakin memerah. Ia tidak tega melihat Tania yang menunduk dan menurunkan air mata begitu banyak karenanya. Ia seperti seorang pengingkar ketika mendengar isakan wanita itu yang terdengar memilukan.
Bisma pernah berjanji saat ia memutuskan untuk dekat dan menjaga wanita itu seperti perintah sepupunya, bahwa Bisma tidak ingin menciptakan kesedihan di balik wajah polos yang sudah dikenalnya sejak awal ia masuk dalam sekolah yang sama dengan Tania.
Tangannya terangkat untuk memegang masing-masing pipi Tania. Ibu jarinya dengan telaten menghapus air mata tersebut sebelum mendongakkan wajah itu agar bisa ia lihat.
“Jangan menangis, aku tidak apa-apa.”
“Kau bohong! Matamu tidak berbicara seperti itu.”
“Tania, apa kau ada—“
Tania dan Bisma segera menolehkan wajah mereka ke arah pintu yang terdengar berderit pelan. Sebuah wajah yang terlebih dahulu muncul dari balik pintu sebelum pintu itu terbuka dan menampilkan sebuah tubuh berbahasa amat memimpin dari gerakannya yang sederhana. Padahal, penampilan orang tersebut melenceng dari kostum yang seharusnya dipakai jika dia berada di dalam lokasi seperti ini.
Orang yang tengah membulatkan kedua matanya pada Bisma hanya mengenakan kaos hitam polos dengan celana jeans hitam serta jaket parasut berwarna biru muda bergaris putih. Alas kakinya bahkan tidak menggunakan sebagaimana alas kaki untuk singgah di tempat formal. Dia menggunakan sneakers berwarna putih bergaris hitam.
Bisma segera melepaskan tangannya saat seseorang yang baru saja masuk itu memandangnya tajam. Ia menebak, sepertinya orang itu sudah melihat aksi tangannya yang berada di kedua pipi Tania.
“Bisma? Kau sedang—“
“Maaf. Bukankah kau akan pulang hari ini, Ga?”
“Tidak usah basa-basi. Apa yang kau lakukan? Kenapa Tania menangis?”
Bisma segera menengokkan kepalanya ke arah Tania. Wanita itu tengah menghapus air matanya sendiri dengan kedua punggung telapak tangannya.
Bisma kembali memandang Rangga. “Aku dan Tania hanya sedang bercerita. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya.”
“Benarkah? Bukan kau yang membuatnya menangis?”
Bisma beranjak berdiri. Tubuhnya berbalik sampai ia bisa berhadapan dengan Rangga yang masih berdiri di muka pintu.
Bisma menghela napas pelan dan mulai melangkah mendekati Rangga.
“Bukankah kau pernah menyuruhku untuk menjaga Tania saat kau pergi? Arti kata menjaga itu aku jabarkan menjadi banyak sub kalimat di dalam sana. Di antaranya, aku tidak akan membuatnya menangis.”
Rangga menaikkan salah satu alisnya. “Oh, baguslah! Kau masih mengingat apa yang kupinta.”
“Tapi kau yang membuatnya menangis, Rangga.” Bisma menarik satu ujung bibirnya ke atas ketika sudah sampai di hadapan Rangga yang berdiri tegak.
“Maksudmu?”
 Rangga memutar pandangannya pada Tania yang berada di kursinya. Wajah wanita itu kuyu dan sudah memandangnya dengan pandangan kosong. Apa benar Tania menangis karenanya?
“Kau harus menerima dua macam pukulan ini.”
Belum Rangga memasang pertahanan yang kokoh, tinjuan Bisma sudah mendarat mulus di pelipis kanannya. Tubuh Rangga terdorong beberapa langkah ke belakang sebelum ia membungkuk dan merasakan pening pada kepalanya.
“Pukulan pertama untuk kebodohanmu sampai membuat Tania menangis.”
“BISMA! HENTIKAN!”
Tania sudah beranjak berdiri. Ia dengan cepat melangkah mendekati dua pemuda yang memiliki hubungan darah sekandung kalau saja langkahnya tidak terhenti. Ia memejamkan erat kedua matanya saat suara tinjuan kencang kembali terdengar di kedua telinganya.
“Pukulan kedua aku berikan karena Tania lebih memilihmu daripada aku.”
Rangga kembali mundur satu langkah akibat tinjuan amat keras yang dilayangkan Bisma pada sudut bibirnya. Ia meringis dan mengusap daerah yang dipukul sepupunya barusan. Beberapa tetes darah menempel di atas kulit tangannya.
Tania secepat mungkin berlari ke arah keduanya. Ia mengalungkan dua tangannya pada lengan kiri Rangga sambil mendongakkan wajahnya supaya bisa menatap si pemilik tangan tersebut.
“Kau masih dalam keadaan baik-baik saja?”
Bukannya menjawab pertanyaan Tania, Rangga justru melepas paksa dua lengan Tania kemudian mendekati Bisma dengan langkah memburu.
Ia menarik kerah kemeja Bisma sampai wajah itu berada tepat di depan wajahnya. “Sekalipun Tania menangis, itu urusanku dan kau tidak berhak untuk ikut campur!”
Rangga melepas tarikannya kemudian melayangkan tinjuan keras di bagian wajah Bisma. Namun pemuda yang berstatus sepupunya itu masih bisa berdiri sedikit seimbang.
“Hanya aku yang boleh Tania cintai. Bukan kau, Bisma!”
“Selagi Tania belum dilamar oleh seorang pria yang ada di dunia ini, dia masih bisa aku miliki.”
“Oh, ya? Bagaimana kalau—“
Rangga menyunggingkan senyum sinisnya sebelum ia berbalik dan menarik Tania untuk mendekatinya. Saat dua tubuh itu berbenturan dalam sepersekian detik, Rangga langsung menyelinapkan telapak tangan kanannya pada tengkuk Tania. Ia mendorong wajah itu untuk menempel pada wajahnya.
Di depan mata Bisma sendiri, Rangga mencium Tania dengan begitu lembut. Pria itu melumat pelan bibir wanita yang saat ini dicintai Bisma. Dan yang membuat Bisma semakin terbakar emosi, Tania memejamkan kedua matanya seakan terhanyut dalam permainan lembut dari cumbuan sepupunya itu.
“Aku tidak terprovokasi dan aku belum menyerah, Rangga.”
Bisma meninggalkan keduanya dengan segenap jiwa yang terbakar api cemburu. Jika ia ditanya pernakah ia marah besar pada Rangga, sepupunya yang sangat disayangi oleh nenek dan kakek mereka, maka jawabannya adalah sekarang. Ia begitu murka pada Rangga. Namun Bisma sadar, ada Tania di sana dan pasti, wanita itu akan berusaha melindungi Rangga.
Hati Tania begitu penuh oleh nama pria itu.
Keadaan terbalik kini dialami oleh Tania. Ia tidak menyangka bahwa Rangga akan melakukannya penuh kelembuatan ketika mengecupnya. Dia begitu berani melakukan hal tersebut di depan Bisma yang notabene sangat baik membantu pria itu untuk menjaganya dari kecaman Rafael.
Merasa tidak enak hati dan sadar bahwa ia mulai terbawa perlakuan Rangga, ia segera mendorong Rangga di bagian dada bidangnya. Sesaat memang Rangga susah sekali dijauhkan, namun ia kembali mendorongnya dengan tenaga yang lebih besar. Tidak lama, lelaki itu melepas cumbuannya dengan kecupan singkat sebagai akhir dari perlakuannya memanas-manasi Bisma.
Tania segera memundurkan tubuhnya lalu menongolkan wajahnya dari samping tubuh Rangga. Ia ingin melihat posisi Bisma sekarang. Tidak menangkap apa yang ingin dilihatnya, Tania segera memandang Rangga tajam.
“Apa yang kau lakukan pada Bisma, heh? Kau tidak menghargai perasaannya?”
“Kau memakai rasa buah apel? Aku sangat menikmatinya.”
“RANGGA!”
“Apa?”
“Kau—“
“Ah, aku tahu kenapa kau menangis. Ayo kita ke dalam, aku akan menjelaskan semuanya!”
Belum saja Tania melanjutkan ucapannya, Rangga sudah menarik lengan Tania dan mengajak wanita itu untuk masuk ke dalam ruangannya sendiri. Rangga tetap menggenggam telapak tangan wanitanya saat ia berbalik untuk menutup pintu.
“Rangga! Apa maksudmu seperti itu pada Bisma?! Aku tidak suka dengan caramu!”
“Kau kenapa pagi-pagi sampai di sini? Bukankah kantor ini mulai kerja pukul sembilan saat hari sabtu?”
“Rangga, dengarkan aku!”
Rangga tetap menarik Tania dan mendudukkannya di kursi yang sempat ditempati wanita itu saat ia melihat adegan Bisma memegang kedua pipi wanitanya.
Astaga, ia begitu emosi mengingat kejadian tadi.
Rangga meletakkan tubuhnya untuk duduk di kursi yang berada di sebelah kanan Tania, bukan di kursi yang tadi diduduki Bisma.
“Apa yang harus aku dengarkan darimu? Tentang Bisma yang menyatakan perasaannya padamu?” Rangga menaikkan salah satu alisnya.
Tania menghela napas dalam dan memandang Rangga tidak percaya. “Bisma tidak salah.”
“Jelas dia salah, karena dia mengingkari janjinya.”
“Tidak ada yang tahu kapan cinta itu tumbuh. Kau, sadarlah! Bisma yang menemaniku saat aku terpuruk karenamu. Kau harus berterima kasih padanya, Rangga!”
“Haruskah? Aku juga tengah menjaga seorang perempuan sama seperti dia menjagamu selama ini, tapi aku tidak mencintainya.”
Tania membulatkan kedua matanya setelah mendengar kesaksian Rangga barusan. Dia tidak menyangkal kalau saat ini hatinya mulai timbul rasa cemburu yang tak terkira besarnya.
“Kau menjaga seorang perempuan?”
Rangga terlihat memejamkan kedua matanya sebelum kembali membuka indrawinya dan memandang Tania dengan pandangan hujan.
“Ya, aku menjaganya di saat aku juga harus memastikan kau baik-baik saja di sini. Tapi tenanglah, aku tidak memainkan hatiku pada perempuan itu.”
“Apa hal itu yang membuatmu tidak menjawab pertanyaan Reza semalam? Kedatanganmu... Kau ingin mengubah janjimu padaku dan berkata tidak pada setiap ucapan janjimu saat kau meninggalkanku?”
“Bukan seperti itu!"
Tania dapat melihat pandangan tegas Rangga setelah mengucapkan tiga kata penyangkalan tersebut. Saat ia berkedip, dapat ia rasakan dua telapak tangan pria itu sudah menggenggam dua telapak tangannya. Dia menyelinapkan sela-sela jemarinya pada sela jemari-jemari Tania.
“Kemarin perusahaan sedang ada masalah, dan aku berusaha melupakannya dengan menerima ajakanmu untuk berkunjung ke rumah Reza. Namun, saat Reza menanyakan hal itu, aku tidak bisa menjawabnya.”
“Ada hal apa yang membuatmu seolah bisu dan tuli secara mendadak?”
“Aku tidak berpura-pura. Percayalah, aku tidak pernah main-main berhubungan denganmu. Waktu kita belum tepat, Tania.”
“Belum tepat?”
“Hmm—aku belum bisa menjelaskannya sekarang. Aku takut kau sudah lelah menungguku, sedangkan aku harus mengurus beberapa hal agar waktu di mana aku meminangmu, semuanya kembali berjalan baik-baik saja.”
“Aku tidak mengerti.”
Rangga menarik napas. “Begini secara sederhananya. Aku serius denganmu, tetapi aku belum bisa melamarmu dalam waktu dekat ini. Aku sebenarnya takut kau lelah menungguku. Tapi, apa kau bersedia menunggu beberapa waktu lagi?”
“Berapa lama aku harus menunggumu untuk kedua kalinya?”
“Aku akan kembali ke Amsterdam, namun tidak lama. Aku akan kembali lagi dan di saat aku menemuimu setelah kepergianku yang kedua, aku akan melamarmu. Aku janji.”
“Aku lelah harus berhadapan dengan Rafael terus, Ga.” Tania merendahkan nada bicaranya. Ia menunduk setelah mengerti penjelasan Rangga.
Pria di depan Tania mengatupkan rahangnya erat. Ia lebih memilih mengeratkan genggamannya pada wanita itu sebelum berucap. Ia memejam, dan pejaman itu lebih lama dari pejaman sebelumnya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku juga tidak bisa membawamu. Maafkan aku.” Tuturnya saat membuka pejaman mata.
“Rangga, kumohon beritahu aku apa alasan Rafael amat membenciku sampai sekarang.”
Tania mengangkat wajahnya. Dua pasang mata itu langsung terlihat saling menangkap pandangan satu sama lain dengan arti yang berbeda.
“Untuk apa? Lebih baik kau tidak tahu agar kau tidak memikirkannya.”
“Kenapa? Kau dan Bisma sama-sama menutupi alasan kebencian Rafael. Saat aku bertanya pada Rafael, dia hanya menjawab bahwa aku harus menanyakan jawabannya pada kau atau Bisma.”
“Tidak perlu dibahas.”
“Rangga, kumohon. Jika aku menciptakan sebuah kesalahan besar pada Rafael sampai dia membenciku selama ini, maka aku akan meminta maaf padanya.”
“Tidak perlu. Kau akan menjatuhkan harga dirimu di depannya.”
“Kumohon,”
Tania melepas genggaman Rangga dan menangkupkan dua telapak tangannya di depan dada. Indra penglihatannya sudah kembali berair, dan Rangga yang melihatnya harus menghela napas dalam untuk kesekian kalinya.
“Dia membencimu karena kau dan keluargamu sudah mengancam Rafael dan keluarganya akibat party malapetaka itu. Kau ingat? Keluargamu, Thella, Dina, dan Benicia datang ke rumah Rafael yang saat itu tengah mengadakan kumpul bersama. Saat itu, keluarga kami sekaligus keluarga besar para rekan terdekat sedang membicarakan masalah Soekarta's Company yang terancam gulung tikar. Kalian berucap bahwa kalian akan melaporkan Rafael ke polisi kalau aku, Bisma, Reza, dan terutama Rafael tidak ingin bertanggung jawab.”
Pelupuk mata yang berair itu seolah surut. Tania menautkan kedua alisnya heran. “Apa yang salah? Dia memang pantas mendapatkan itu, bahkan seharusnya kami melaporkannya ke polisi.”
“Nah, karena hal itu, Rafael dibenci oleh Oma dan Opa. Pembagian saham sekaligus perusahaan untuknya dikurangi, dan sisanya diberikan cuma-cuma padaku karena mereka percaya bahwa aku bisa mengurusnya dengan baik.”
“Jadi, sebab itu pula dia membencimu?”
“Ya! Dia juga sangat membenci Benicia, bahkan tidak mempedulikan sedikit saja keadaan Benicia yang positif hamil anak Rafael. Bahkan kau tahu? Rafael tetap seperti itu sampai Benicia melahirkan anak mereka.”
Tania terperangah. Ia sampai menutup bibirnya tidak percaya. Berarti, tidak hanya ia yang sengsara. Lebih jauh lagi, teman satu sekolahnya itu harus menjadi ibu lebih dini untuk mengurus anaknya dan Rafael.
“Lalu, Ga?”
“Kau tahu jika Rafael sangat membenci Benicia sejak awal masuk sekolah, bukan? Benicia selalu mendekati Rafael secara agresif walaupun terlihat polos, dan karena itulah mengapa Rafael juga melibatkan dia.”
“Ah, aku ingat! Kemarin saat aku berdebat dengan Rafael, aku menyebutkan nama Benicia dan Rafael begitu marah. Itu karena apa?”
“Aku dengar, kalian memang mensiasatkan datang ke kediaman Rafael di saat keluarga kami berkumpul, dan Benicia yang merencanakan itu semua. Benarkah?”
“Ya, begitulah. Dia menghubungi Rafael terus-menerus. Mungkin karena kesal, Rafael memberitahukan padanya bahwa dia sedang berkumpul bersama keluarga. Dan, ya— kami akhirnya datang.”
“Semenjak itu, Rafael mengecap Benicia lah sumber segala kehancurannya.”
“Kenapa Rafael tega sekali? Bagaimana keadaan anak mereka, Rangga? Umur anak itu berarti sama dengan umur Arda, ya?”
“Jadi, kau sudah mengetahui semuanya, bukan?”
Rangga menarik dua ujung bibirnya dan tersenyum simpul. Ia merasa hatinya sedikit tenang ketika melihat wajah Tania tidak terlihat kuyu seperti tadi. Apalagi saat ia melihat senyum tipis yang keluar dari bibir wanita di depannya. Rangga merasa paru-parunya bisa menghirup oksigen sedikit lebih lepas.
“Siapa wanita yang kau jaga selama ini?”
Tania kembali memandang wajah Rangga dengan serius. Gelagat Rangga yang terlihat gusar sekarang membuat ia semakin mengintimidasi pria itu dengan tatapannya.
“Hmm—aku belum bisa mengatakannya. Percayalah, aku tidak mencintainya.”
“Rangga, jujurlah! Kau tahu kalau sifat egoisku mulai muncul sekarang?”
Rangga menahan kedutan di dua ujung bibirnya saat ia bisa melihat wajah Tania yang merengut sebal. “Kau sangat cemburu?”
“Apa aku perlu mengatakannya?”
“Kurasa perlu.”
“Kapan kau pulang ke Amsterdam?”
“Besok. Ada apa?”
“Sepertinya aku perlu menculikmu kemudian mengurungmu di rumah kosong. Jika saja kau menyebutkan nama perempuan itu, maka aku tidak akan cemburu dan berpikiran picik seperti ini.”
“Serius? Yang kutahu, kau jenis perempuan yang pencemburu, Tania.”
“Apa bedanya denganmu? Kurasa, kau lebih parah dariku.”
Rangga tertawa melihat Tania sudah bersedekap dada. Pandangan wanita itu sungguh sangat menggemaskan. Menurut Rangga, Tania yang sekarang benar-benar seperti anak kecil, dan ia amat menyukai kenangan ini.
“Aku suka kau yang cemburu.”
Rangga mendekatkan tubuhnya. Ia segera mendekap tubuh wanita itu yang seketika menegang akibat perlakuannya. Tersenyum senang, Rangga semakin mengeratkan dekapannya walaupun Tania masih mempertahankan posisinya.
“Kau tidak ingin membalas pelukanku? Banyak gadis-gadis dan bahkan wanita dewasa di luar sana yang ingin menemuiku dan secara eksklusif mendapat pelukan dariku.”
“Jujurlah padaku, baru aku akan membalas pelukanmu.”
“Ah! Yang pasti, kau mengenalnya.”
“Aku mengenalnya?”
Tania ingin mendorong tubuh Rangga kalau saja pria itu tidak mengeratkan dekapannya. “Jangan lepas pelukan ini!”
“Memangnya kenapa?”
“Kau tidak bisa romantis sedikit, heh?!”
Rangga ingin melepas dekapannya karena kesal dengan respons Tania. Ia baru saja ingin melepas kalungan tangannya di pinggang dan bahu Tania, kalau ia tidak merasakan ada sebuah kalungan erat yang melingkari pinggangnya.
“Aku akan kembali tersiksa karena kepergianmu.” Bisik Tania yang mulai membenamkan wajahnya di ceruk leher Rangga.
“Tenanglah, aku akan terus mengawasimu. Lebih ketat dari yang kemarin.”
“Aku bukan tersiksa karena Rafael.”
“Lantas, karena apa?”
“Aku akan merindukanmu, lebih rindu dari kemarin-kemarin.”
Rangga tersenyum haru di dalam dekapan tersebut. Ia membenamkan wajahnya di antara bahu dan leher Tania. Ia menghirup dalam aroma parfum yang dipakai Tania, sekaligus aroma alami yang keluar dari kulit tubuh wanitanya.
Kalau rindumu ibaratkan hujan. Maaf, aku tak sanggup menadahnya. Sebab, setiap rintiknya adalah sembilu. Semakin deras, semakin cepat aku mati karenamu. –Adnan Azhari-
“Kau tahu kalimat-kalimat itu, Ga?”
“Aku mengutipnya.”
“Aku juga menyimpannya di notes-ku. Ah, kenapa rekan-rekanku tidak datang sampai jam segini?”
“Ya sudah, kita punya banyak waktu untuk menikmati setiap detik ini dengan berpelukan.”
“Kau dapat dua keberuntungan pagi ini.”
“Aku dapat ciuman dan dapat pelukan. Ah, betapa menyenangkannya pagi ini. Besok, aku kembali tidak melihatmu.”
“Kapan kita akan bertemu lagi?”
“Aku akan mengabarimu di antara panggilan-panggilan dan banyak pesan singkat yang akan aku lakukan pada nomor ponselmu. Bersiaplah, ponselmu akan ramai setelah ini.”
“Kalau kau terlalu lama, aku akan memilih Bisma secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuanmu.”
“Ya! Awas saja kalau kau berani, Tania.”
“Haha. Oh iya, bagaimana lukamu sekarang? Perlu aku obati?”
“Setelah ada temanmu yang datang dan pelukan ini terlepas, aku baru mengizinkanmu untuk menyentuh wajahku. Sesukamu.”

Wanita itu hanya terkekeh dan kembali mengeratkan pelukannya. Rangga dan Tania kembali memanfaatkan waktu sunyi yang ada untuk menikmati kehangatan yang menyalur dari dua pasang tangan yang saling mendekap tubuh yang berada di depan mereka dengan sangat erat.





To be continued

No comments:

Post a Comment