Sunday, January 1, 2017

MINE | BAB 6. Two Sides

Bisma menyilangkan kaki dengan begitu luwes. Wajah itu menoleh ke arah kanan, dua matanya memandangi Rafael yang tengah berada di meja kebesaran pemuda tersebut. Sosok itu tengah sibuk dengan pena dan tumpukan berkas.
Sebenarnya Bisma merasa tidak enak hati, namun pemuda itu tetap memperbolehkannya masuk dan duduk di tempat ini.
“Bukannya kau sedang sibuk sekali? Aku bisa pamit pulang kalau kehadiranku mengganggumu, Raf.”
“Ah, tidak!” Dua mata tajam itu melirik sekilas ke arah Bisma. “Aku hanya sedikit sibuk untuk menanda-tangani berkas yang sudah kubaca kemarin. Laporan ini harus segera dikirim ke pusat.”
“Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu! Aku akan menunggumu.”
“Tapi, ada apa kau datang kemari? Sudah lama kita tidak berbincang bersama, dan hari ini kau datang dengan wajah lesu. Apa kau ada masalah dengan Mamah Casma?” Tanya Rafael dengan nada pelan. Pandangan pemuda ini kembali sibuk dengan berkas yang berada di atas mejanya.
“Bukan apa-apa, aku hanya sedang suntuk dan banyak pikiran.”
“Kau memikirkan Tania?”
“Tidak.”
“Kau tidak bisa membohongiku, Bis. Aku sudah tahu kejadian tiga hari yang lalu. Beberapa security-ku memberikan rekaman CCTV di mana kau ribut dengan Rangga.”
“Ya, mood-ku hancur setelah hari itu.”
“Kau baru tahu, kan bagaimana dia yang asli?”
“Entahlah, aku sangat membencinya untuk saat ini.”
“Aku bahkan membencinya sejak kita beranjak remaja.”
Bisma menghela napas dalam. Ia tidak tahu, apakah kedatangannya hari ini ke Perusahaan Rafael adalah sebuah tindakan yang baik atau justru menjerumuskannya semakin dalam ke hal yang buruk. Sekarang yang ia butuhkan adalah tempat untuk menceritakan semua beban hatinya, dan Rafael yang menurutnya tepat untuk hal itu.
“Aku berbeda denganmu, Raf.” Sahut Bisma pelan.
“Kurasa, kau sekarang sama sepertiku.”
Rafael meletakkan map terakhir di atas tumpukan berkas yang berada di sisi kiri meja kerjanya. Ia menyatukan bagian atas batang pena dengan tutupnya, kemudian ia menaruh pena tersebut pada tempat pena yang terletak di sudut kanan atas mejanya.
Tubuh tegap itu beranjak berdiri. Rafael melangkahkan kakinya mendekati Bisma. Ia duduk di sebelah pemuda yang kini menampilkan wajah amat menderita.
“Ah, bagaimana rasanya saat wanita yang kau cintai dicumbu oleh pria tersayangnya?”
“Kenapa kau menanyakan hal itu?”
“Aku hanya bertanya.”
“Mungkin sama saja rasanya saat kau bertemu kembali dengan Benicia.”
“Hah?! Aku tidak akan bertemu dengan perempuan itu lagi.”
“Maksudku, tanpa sepengetahuanmu, kau bertemu dengannya di saat dia sedang dicumbu oleh seorang pria di suatu tempat. Bisa jadi hanya dengan menggenggam tangan Benicia saja, kau sudah ingin meninju pria itu.”
“Tidak usah membahasnya.” Suara Rafael seketika menjadi sangat dingin. Bisma tidak menolehkan kepalanya, tetapi ia segera menyunggingkan satu ujung bibirnya.
“Sama sepertimu, aku juga tidak ingin membahasnya.”
“Baiklah. Bagaimana kalau kita makan siang bersama?”
Kening Bisma mengerut pelan. Ia mengangkat tangannya dan melihat jam untuk mengetahui pukul berapa saat ini. “Kau belum makan siang, heh? Ini sudah jam dua siang.”
“Ah, aku sedang banyak pikiran. Apalagi pengawalan ketat pada Tania yang Rangga lakukan setelah dia pergi dari Indonesia, aku tidak bisa melampiaskan amarahku.”
Bisma segera duduk tegak dan menyampingkan tubuhnya. “Kau menjadikan Tania korbanmu?!”
“Kenapa kau marah? Seharusnya kau senang, dia menolakmu demi Rangga, bukan?” Rafael tertawa sinis di akhir kalimat.
Bisma tidak senang ketika mendengar Rafael mengucapkan kalimat-kalimat itu. Biarpun sekarang ia sangat kecewa dengan Tania, tetapi Bisma tidak akan pernah bahagia jika ia dengan gilanya menyakiti Tania barang satu titik pun.
“Sudahlah. Kau ingin makan dimana?”
Food Court saja, bagaimana?”
“Ayo!”
Bisma beranjak berdiri dan melangkah terlebih dahulu ke arah pintu. Perlahan ia memegang gagang pintu kemudian menariknya, dan kaca berbentuk persegi panjang yang berengsel itu terbuka.
Bisma berhasil menatap aktivitas pertama kali yang ada di luar ruangan setelah pintu kaca itu terbuka. Seorang perempuan sedang membersihkan kaca besar yang tertempel di samping kanan dinding. Perempuan itu tetap fokus melakukan aktivitasnya, berbanding terbalik dengan Bisma yang memaku di muka pintu sesudah menatapnya. Pandangan Bisma tidak lepas sedikitpun dari pergerakan perempuan di depan sana.
Bisma bicara pada Rafael kalau ia sangat kecewa pada Rangga, padahal kekecewaan itu lebih besar ditujukan kepada Tania. Ia tidak mengerti bagaimana bisa hatinya tidak menerima penolakan Tania, namun inilah rasa yang saat ini dirasakannya. Tidak seperti Rafael yang membenci Rangga dan Tania secara berlebihan, Bisma tidak bisa seperti itu. Ia sudah menganggap keduanya seperti sahabat hidup selain perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti, dan hal tersebut tidak akan bisa ia ubah begitu saja akibat masalah ini.
Ia hanya butuh waktu untuk menerima semuanya.
“Bis, masih di sana?”
Kedua matanya segera berkedip sadar. Tidak menengok ke arah Rafael yang terasa sudah berada di belakangnya, Bisma segera melangkah ke arah kiri menuju lift yang berada di bagian selatan.
Tidak lelaki itu ketahui, seorang perempuan yang tadi diamati Bisma beberapa detik, menghentikan aktivitasnya.
Ia terdiam saat dirasa pintu ruangan itu terdengar ditutup. Ia sedikit menengokkan kepalanya ke belakang, di mana arah kaki Bisma melaju setelah pemuda itu memandanginya dalam diam. Dua cuping hidung perempuan ini segera mengeluarkan napas amat pelan.
Tania kembali memandang lurus. Dua bola matanya mengarah ke bawah, mengamati situasi jalan protokol letak bangunan ini berada, di mana jalan tersebut selalu saja sibuk dengan kegiatan penggunanya masing-masing.
Rangga memang sudah kembali, dan pria itu juga sudah bisa ia genggam. Tapi, Tania ingin Bisma tidak menjauhinya. Jika ini disebut egois, maka Tania dengan sangat setuju akan mengiyakannya.
Ia selalu berbagi rasa suka dan duka bersama lelaki itu, bahkan semua detik hidupnya selama ia ditinggal Rangga, sebisa mungkin ia bagikan ceritanya pada Bisma. Biasanya, lelaki itu akan menanggapinya dengan ocehan, nasehat, perhatian, atau yang paling menyebalkannya adalah hanya menganggukkan kepala.
Saat Bisma melakukan itu, ia akan langsung protes dan merajuk marah. Kemudian dengan penuh kasih sayangnya, Bisma akan membujuknya dengan berbagai macam penawaran, bahkan Bisma akan merayunya dan hal itu membuat Tania tertawa sekaligus jengkel secara bersamaan.
Ah, hatinya semakin merasa bersalah karena ia tidak bisa membalas perasaan Bisma.
###

“Bisma, kau tadi terdiam karena memandangi Tania?”
Bisma segera menoleh pada Rafael yang berjalan di sampingnya. “Tidak.”
“Tidak salah lagi, maksudmu.”
“Terserah.”
“Aish, apa yang membuatmu sampai jatuh cinta pada wanita itu? Rangga saja dahulu sempat tidak menyukai dia. Kurasa, semenjak kejadian itu, Rangga baru menyukai Tania, itupun di awali dengan perasaan bersalah terlebih dahulu.”
“Kau tidak tahu apa-apa, Raf.”
“Kalau aku ‘sok tahu, anggap saja barusan aku hanya menduganya asal-asalan.”
“Ya, terserah.”
“Bagaimana kalau kita makan di restaurant seafood saja? Tiba-tiba aku ingin makan di sana.”
Ajakan Rafael yang bisa dibilang tiba-tiba tersebut menciptakan reaksi Bisma langsung berhenti melangkah. Bisma segera menyampingkan tubuhnya, memandangi Rafael dengan pandangan heran.
“Kenapa kau baru bilang saat kita sudah sampai di depan Food Court, heh?! Restaurant itu ada di ujung sana!”
“Kau tidak ingin mengantarku? Ya sudah, aku makan sendiri saja.” Rafael berbalik dan mulai berjalan ke arah yang sudah Rafael lewati beberapa detik lalu.
Bisma mendecak kesal kemudian berlari kecil mengikuti langkah Rafael yang sudah sedikit jauh darinya.
“Kau sedang mengidam, hah?!” Tanya Bisma setelah ia bisa menyamakan langkahnya di samping Rafael.
“Kau gila?!” Sentak Rafael pelan, tidak terima.
“Sewaktu Benicia hamil, kau sering seperti ini. Kau tidak ingat saat kau merajuk padaku karena aku tidak mau mengikuti keinginanmu? Tengah malam sekalipun, Raf! Satu bulan lebih kau seperti itu, bahkan sampai kau harus menginap di rumahku agar Mamah Nila tidak mengetahui kebiasaan anehmu itu.”
“Aku tidak ingat.”
“Ya! Apa harus kusuruh Mamahku untuk kembali mengingat acara mengidammu? Kami sekeluarga harus bangun karena kau merengek untuk dibuatkan sop ayam dengan wortel yang banyak. Paginya kau kesiangan padahal kita dapat kelas kuliah pagi.”
“Sudahlah, tidak usah membicarakan hal itu.”
“Apa kau kembali menghamili perempuan di luar sana selain Benicia?”
“Bisma! Kau ingin kutinju di tengah keramaian seperti ini?” Desis Rafael.
Bukannya merasa terancam, justru Bisma malah tertawa. “Ah, jadi beginikah rasanya diancam dirimu? Benar kata Tania, ini lucu.”
Bisma melanjutkan tawanya sambil tetap melangkah. Dua mata bulatnya kini melirik jahil ke arah Rafael yang sudah memasang wajah masam. “Ah, aku baru tahu jika calon ayah juga bisa menderita karena mengidam.”
“BISMA!”
Rafael sudah menyentak cukup keras. Bisma segera menormalkan eskpresi wajahnya. “Baiklah, aku diam.”
Seorang pramuniaga menghampiri keduanya saat mereka sudah sampai di depan pintu kaca restaurant seafood yang Rafael maksud. Pramuniaga berjenis kelamin perempuan itu berbincang sedikit dengan Bisma sebelum mereka berdua mengikuti arah kaki pramuniaga tersebut untuk menunjukkan sebuah meja makan kosong.
Setelah pesanan mereka dicatat oleh pramuniaga yang masih dengan setia berada di antara mereka berdua lalu pergi, keduanya mulai terdiam dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Bisma menaruh ponsel di atas meja bundar yang berada di depannya. Kepalanya segera memutar ke kanan dan ke kiri untuk mengamati situasi dan kondisi restaurant yang masih terlihat ramai, walaupun waktu makan siang sudah terlewat cukup lama.
“Papah, kapan cumi Fasha datang? Aku lapar~”
“Nanti, ya. Makanan mamah, papah, dan Fasha memang belum datang.”
“Tapi aku lapar, Papah. Perut aku sudah teriak cumi asam-manis.”
“Fasha mulai pintar cari alasan, ya?!”
“Aku cari cumi, bukan alasan.”
Bisma merasa familiar mendengar suara bariton bening milik laki-laki yang membalas ucapan anak kecil barusan. Ia duga pemilik suara orang dewasa dan anak kecil itu tidak jauh dari posisi duduk ia dan Rafael. Dengan rasa penasaran, Bisma menengokkan kepalanya ke belakang, mencari sumber suara yang ia rasa sangat ia kenali sekali karakternya.
“Fasha semakin ke sini, buat papah gemas, ih!”
“Aku memang tampan.”
“Lihatlah anak itu, sudah sejak kecil dia sangat percaya diri seperti ini.”
“Mamah juga selalu bilang kalau Mamah adalah wanita cantik, padahal Fasha tidak mengakuinya.”
“Akuilah, anakku sayang.”
Bisma segera meluruskan kepalanya. Dua matanya membulat sempurna. Ia memilih untuk mengambil napas dalam terlebih dahulu sebelum menolehkan kepalanya ke arah Rafael yang sibuk dengan ponsel pemuda itu.
Bisma sedikit menggigit bibir bawahnya sebelum bersuara atas apa yang ia lihat barusan. “Raf, ada Rangga di sini.”
“Kau serius? Bukannya dia sudah pulang tiga hari yang lalu?” Rafael langsung menatap Bisma heran.
“Serius. Dia bersama Benicia dan putramu.”
“Benicia? Putraku? Mereka tinggal di luar, Bisma. Sebelum dia menghilang sesuai permintaanku, dia menulis surat dan salah satu isinya, dia akan tinggal di luar, ikut dengan neneknya.”
“Lihatlah sendiri di belakangmu, Raf.”
Rafael yang ikut penasaran akhirnya menengokkan kepalanya ke belakang. Ia mencari-cari wajah yang di maksudkan Bisma di antara banyak kepala yang sekarang ada di depan matanya.
“Hahaha, Papah saja tidak mengakuinya. Apalagi Fasha, kata orang, kan anak kecil tidak bisa berbohong, Mamah.”
“Oh, jadi sekarang Fasha bersekongkol dengan Papah?”
Dua mata minimalis Rafael semakin menyipit ketika melihat dua kepala pemilik suara yang sangat ia kenal. Tubuh mereka duduk sejajar di soffa merah yang menghadap ke arah timur restaurant. Seperti ucapan Bisma, Rafael juga bisa mengenal dua suara yang berbicara cukup kencang barusan.
Rafael beranjak berdiri dan ia menegakkan tubuhnya selama satu detik. Ia memandang ke arah yang ia curigai dengan tajam. Setelah merasa puas dengan pengamatan tersebut, Rafael kembali beranjak duduk dan menoleh ke arah Bisma dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Fasha? Nama anak itu Fasha?”
“Mungkin. Sejak tadi anak itu menyebut dirinya Fasha.”
“Benicia dengan Rangga? Papah-Mamah? Mereka sudah menikah?”
“Bagaimana bisa? Saat aku bertengkar dengannya, Rangga bilang hanya boleh dia yang Tania cintai.”
“Bisa saja dia mencintai Tania dan Benicia secara bersamaan.”
“Killa, benar juga kata Fasha, kenapa makanan kita belum juga sampai?”
Rafael semakin menautkan kedua alisnya setelah suara Rangga yang cukup bervolume besar itu kembali terdengar di dua gendang telinganya. “Killa?”
“Ada apa?”
“Bukankah dahulu Rangga memanggil perempuan itu Beni? Dia selalu marah setiap kali Rangga menyebut namanya seperti itu.”
“Kau masih mengingatnya? Ah, kau belum move on dari Benicia, ya? Atau kau masih mengingat kejadian itu?”
“Tapi, bagaimana dia bisa memanggilnya Killa?”
Bisma menghela napas lebih dalam dari sebelumnya. “Nama lengkap perempuan itu, kan, Benicia Shakilla. Mungkin panggilan ‘Killa’ itu adalah panggilan kesayangan Rangga untuk dia.”
Bisma menangkap segurat wajah yang belum pernah ia tangkap dari Rafael selama ini. Wajah itu bukan menampilkan wajah kebencian seperti yang biasa ia lihat saat Rafael berhadapan dengan Tania.
Ekspresi Rafael terlihat tidak suka atas obrolan yang mereka dengar dari sebuah keluarga kecil yang sangat terlihat harmonis.
“Kau cemburu?”
Rafael melirik Bisma tajam. “Siapa bilang aku cemburu?”
“Barangkali, aku hanya menduganya. Kau, kan pernah merasa kehilangan Benicia.”
“Itu masa lalu. Kalau kau menanyakan bagaimana aku yang sekarang, kau salah! Aku bahagia, senjata ampuhku untuk menghancurkan Tania sudah kugenggam.”
“Maksudmu?” Dua mata Bisma membulat lebar seketika. Ia harus sampai menggeser tubuhnya ke samping untuk menghadap ke arah Rafael.
Bisma mulai merasa was-was. Apa Rafael akan memberitahu kedekatan Rangga dan Benicia pada Tania? Ia yakin Tania pasti akan percaya, Rafael pasti bisa membawa barang bukti seperti rekaman CCTV atau apapun yang bisa ia peroleh sekarang di tempat ini. Kekuasaan sepupunya itu memang jauh di atasnya, walaupun lebih rendah dari Rangga.
“Kau pasti sudah tahu, Bisma.”
“Rafael, kumohon janganlah kau lakukan itu! Aku takut Tania akan tidak baik-baik saja setelah mendengar ini semua.”
“Kenapa kau membelanya? Bukankah kau kecewa dengan Rangga? Kuyakin kau lebih kecewa dengan Tania, karena dia menolakmu di saat kau memberikan seluruh perhatian dan waktumu hanya untuk wanita itu.”
Bisma terdiam. Rafael memang benar, ia kecewa dengan Rangga dan terlebih Tania. Tapi—ia bukan jenis laki-laki yang akan dengan teganya melihat kesengsaraan yang dialami perempuan yang menolak cintanya.
Ia bahkan pernah menerima berkali-kali penolakan secara tidak terhormat dari perempuan yang sudah ia tiduri secara sadar dan tidak; Dina.
Ah, kenapa Bisma baru sadar sekarang?
“Aku masih punya hati, Raf. Aku mohon dengan sangat padamu, jangan beritahu hal ini pada Tania. Dia baru saja senang karena bisa kembali dekat dengan Rangga.”
“Ah, dia sedang senang-senangnya?! Terima kasih atas informasi yang kau berikan, Bis.”
Bisma mendecak kesal. “Tolonglah, Raf. Aku akan melakukan apa saja yang kau pinta dariku. Asal kumohon, kau jangan menyakiti Tania karena ini.”
“Oh iya, aku punya penawaran bagus untukmu.”
Bisma merasakan hawa tidak enak saat ia berhasil menangkap sebuah senyum iblis yang dikeluarkan Rafael. “Ap—apa?” Tanyanya ragu.
“Kau gugup?”
“Cepatlah beritahu aku!”
“Begini,” Rafael mendekatkan tubuhnya pada Bisma. “Kau ingin aku yang memberitahukan hal ini, atau kau sendiri yang beritahu Tania?”
Bisma segera menjauhkan tubuhnya. “Maksudmu, Raf?!” Pekiknya sedikit keras.
“Husstt, jangan kencang-kencang! Rangga dan perempuan sialan itu akan mengetahui posisi kita.”
“Kurasa memang lebih baik Rangga mengetahuinya.”
Bisma sudah beranjak berdiri kalau saja Rafael tidak menarik kencang tangannya. Alhasil, Bisma kembali duduk di tempatnya.
“Kalau kau ingin kedua orang tua Rangga tahu atas kepercayaan mereka yang kau khianati, aku mempersilahkannya.”
“Sepertinya kau juga ingin menghancurkanku.” Bisma mendesahkan napas panjang kemudian ia menenggelamkan punggungnya di dinding kursi.
Benar apa kata Rafael. Selain ia kecewa karena Rangga dan Tania, sesungguhnya ada pihak lain yang ia kecewakan karena ia diam-diam mencintai Tania selama ini.
Kedua orang Rangga menitipkan Tania padanya saat ia menolak dikirimkan ke Washington untuk menemani Rangga belajar di sana. Entahlah, saat itu Bisma sangat tidak ingin jauh-jauh melanjutkan pendidikan, apalagi sampai di Benua Amerika. Bisma lebih memilih tetap tinggal di Indonesia walaupun tawaran biaya kuliah akan ditanggung oleh nenek dan kakeknya.
Akhirnya, sebagai imbalan karena ia menerima perintah dari kedua orang tua Rangga, biaya kuliahnya pun ditanggung sepenuhnya oleh kedua orang tua Rangga.
“Aku tidak berencana seperti itu.”
“Tapi kau mulai merencanakannya sekarang.”
“Tepat sekali!”
“Tidak ada penawaran lain?”
“Kau ingin aku yang melakukannya dengan caraku?”
Bisma menghela napas gusar. “Persetan kau, Rafael!”
Berjarak sekitar lima meter dari keberadaan meja dua pemuda tersebut, suasana ceria bisa dirasakan dari hangatnya obrolan dua orang dewasa dan satu anak kecil dari meja yang mereka tempati. Ketiganya terdengar saling tertawa dan sesekali mengusap puncak kepala seorang anak laki-laki yang duduk mengayun-ayunkan kedua kakinya di bawah meja.
“Papah, aku mau cola kaleng.”
“Pesanan kita, kan bentar lagi sampai, sayang. Makan saja, ya?”
“Tapi, Pah—“
“Ssstt, jagoan tidak boleh merengek, ah!”
Fasha–anak kecil tersebut—hanya mencebikkan bibirnya kesal. Dua matanya kini sedikit berair, ia mengarahkannya pada Rangga yang terlihat sibuk berbincang dengan Benicia.
“Papah, cola tidak boleh. Cumi aku belum datang. Aku harus diam saja gitu? Ah, aku bosan, Pah!”
“Fasha, jangan rewel!” Benicia kini yang mulai bersuara. Ia memandang sedikit kesal buah hatinya yang selalu saja bersikap seperti sekarang apabila keinginannya tidak segera dipenuhi.
“Fasha, kan suka pusing kalau habis minum cola. Katanya Fasha juga lelah kalau sendawa terus. Eh, itu lihat! Makanan kita sudah datang.”
Dua mata mungil Fasha menuju ke arah ujung jari telunjuk Rangga. Pandangannya seketika berbinar saat mengetahui makanan kesukaannya ada dalam nampan yang dibawa oleh beberapa pelayan. Harum masakannya sudah dapat Fasha cium, dan sebab itu pula ia sedikit melupakan masalah cola kaleng yang ingin diminumnya.
“Makan yang banyak, Fasha sayang!”
“Ah, aku bisa tambah dua piring ini, Pah!”
“Makanlah!” Rangga mengusap puncak kepala Fasha dengan senyum mengembang. Anak kecil itu hanya tersenyum seraya mengacungkan kedua ibu jarinya pada Rangga.
“Kau ambil lauknya sendiri saja, ya?”
“Iya, Kil. Terima kasih.”
Baru saja Rangga ingin mengambil sendok yang berada di atas piringnya, namun dering ponselnya segera menghasilkan tangan Rangga hanya mengambang di udara. Rangga segera mengambil ponsel yang berada di saku celananya kemudian melihat siapa nama kontak pemanggil nomornya.
Rangga segera beranjak berdiri dan memandang ke arah Benicia dan Fasha yang sudah memandanginya dengan tatapan heran. Ia menghela napas pelan. “Maaf, aku ke toilet sebentar, ya? Ada panggilan penting.”
“Silahkan, Ga.”
“Papah di sini saja!”
“Fasha, jangan manja!”
“Aku ingin makan bersama Papah, Mah.”
“Papahnya ada urusan kantor sebentar.”
“Tapi hanya ke toilet, kan, Pah?”
“Iya, sayang.”
“Ya sudah, Fasha tunggu.”
Rangga hanya tersenyum kemudian berlalu. Fasha yang sudah memegang sendok dan garpu di masing-masing tangannya malah memandangi Benicia yang tengah memindahkan lauk-pauk ke atas piringnya.
Merasa diperhatikan, Benicia memandang putranya. “Ada apa, sayang?”
“Mumpung Papah ke toilet, kita beli cola, Mah!” Fasha meletakkan alat makannya. Ia tersenyum lebar pada Benicia yang segera menaruh piringnya di atas meja.
“Jangan, Mamah tidak ingin kau sakit, Fasha.”
“Ayolah, Mah!”
“Fasha jangan susah diberi nasehat.”
“Bukan cola, tapi susu coklat kaleng. Bagaimana?”
“Susu coklat kaleng?” Benicia menautkan dua alisnya.
Fasha segera menganggukkan kepalanya. “Iya. Itu yang gambarnya orang tendang bola. Kaleng panjang warna hijau itu, Mah. Kita pernah beli di supermarket kemarin-kemarin.”
Mengerti maksud putranya, Benicia menghela napas pelan. “Fasha itu kalau tidak dituruti pasti rewel. Ya sudah, tapi kita beli dimana?”
“Itu, Mah! Tadi ada anak kecil ambil kaleng itu dari sana!” Fasha dengan semangat menunjuk ke arah dua lemari pendingin besar yang berada di sebelah pintu restaurant.
Benicia beranjak berdiri. “Fasha tunggu di sini, ya?”
Okay!”
Tidak sampai tiga menit, Benicia kembali duduk di sebelah Fasha dan menyerahkan minuman kaleng yang dimaksud putranya. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya memandang senyum sumringah yang dikeluarkan Fasha saat mengambil kaleng tersebut dari tangannya.
Benicia tiba-tiba mengingat pemuda itu, di mana senyum Fasha sangat mirip dengan senyum ayahnya.
“Mamah, bukanya susah.”
Ia segera mengalihkan kesadarannya dan memandang Fasha dengan pandangan heran. “Fasha tidak bisa buka kalengnya? Jari telunjuk bunda lagi sakit, sayang gara-gara kena pisau kemarin.”
“Minta bantuan orang saja bagaimana, Mah?”
“Fasha ingin meminta bantuan kepada siapa?”
“Hmm—” Anak kecil ini menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. “Meja sebelah orangnya kelihatan seram, Mah. Fasha takut.”
“Tunggu Papah saja, ya?”
“Nanti Papah malah buang kaleng ini. Kalau sudah lihat aku minum, kan Papah biasanya diam.”
“Jadi?”
“Fasha ke meja yang di sebelahnya lagi, ya, Mah?”
“Hati-hati.”
Fasha mengangguk dan turun dari soffa. Dua kaki kecilnya menuntun Fasha pada sebuah meja yang dihuni oleh dua orang yang tengah sibuk berbisik-bisik. Sebenarnya Fasha merasa tidak enak untuk mengganggu dua orang dewasa tersebut, namun ia sudah sangat ingin mencicipi susu coklat di dalam kaleng yang dipegangnya.
“Permisi, Om.”
Dua orang dewasa yang Fasha panggil mengalihkan pandangan mereka dengan pandangan bertanya. Fasha semakin merasa canggung, apalagi saat pandangan sinis dilemparkan satu orang dewasa yang berada tepat di samping kanannya.
“Iya, ada apa?” Tanya seorang laki-laki dewasa yang berada di sebelah orang yang memandangnya sinis.
Fasha mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang duduk di pojok. Lelaki itu menampilkan senyum ramahnya, membuat Fasha perlahan-lahan membalas senyum tersebut dengan riang.
“Om, bisa bantu Fasha buka kaleng ini, tidak? Fasha kesusahan. Papah Fasha sedang di toilet, kalau mamah jarinya sedang luka.”
“Oh, bisa. Kemarikan kalengnya!”
Fasha menjulurkan kalengnya dengan tersenyum lebar. Laki-laki itu menerimanya dengan senyum ramah. “Nama lengkapnya Fasha, siapa?”
“Fasha Maheswari Tanubrata, Om. Kalau Om namanya siapa?”
Lelaki tersebut membuka kaleng minuman Fasha dengan mudah kemudian memberikannya pada Fasha. “Panggil saja Om Bisma.”
“Terima kasih, Om Bisma. Untung Papah belum datang, kalau ketahuan pegang kaleng ini, pasti dibuang sama Papah.”
“Dibuang?”
Lelaki yang ternyata Bisma itu mengerutkan keningnya. Dua matanya melirik sekilas ke arah Rafael yang ternyata sudah menyibukkan diri dengan ponsel pribadi milik sepupunya itu. Pertanyaan Bisma sekarang adalah, Rafael juga membenci anaknya sendiri?
“Iya, Om. Papah paling marah kalau aku minum minuman kaleng, apalagi cola. Kata Papah, aku masih kecil, nanti sakit kalau minum yang begitu-begitu.”
“Tapi, itu susu, loh! Papah Fasha juga melarang?”
“Ya—begitulah, Om. Aku balik ke meja ya, Om. Bye!”
Bye, juga!” Bisma melambaikan tangannya pada Fasha yang sudah berlalu sambil melambaikan tangan, diiringi senyumnya yang belum hilang juga.
Bisma buru-buru menoleh ke arah Rafael. Dilihatnya heran tingkah Rafael yang kini menekan keras layar ponselnya dengan ujung jari telunjuk milik pemuda itu. Dia menekan paksa sampai timbul bayangan hitam ketika telunjuk itu menekan keras layarnya.
“Raf, daripada nanti ponselmu rusak karena kau tekan-tekan seperti itu, lebih baik kau berikan padaku. Bagaimana?”
“Aku anggap kau menerima penawaranku, Bis.”
Bisma segera membulatkan kedua matanya. Apa maksud Rafael barusan?
***

“Fasha, Papah bilang, kan jangan beli minuman kaleng begitu, kenapa tetap paksa Mamah?”
“Itu, kan susu coklat, Pah.”
“Tetap saja, nanti kalau Fasha sakit, bagaimana?”
“Fasha minta maaf.”
“Sudahlah, Ga. Aku yang salah, aku yang membelikan minuman itu pada Fasha. Lagian, kalau itu cola juga tadi aku larang, tapi itu beda.”
“Jangan suka turuti semua keinginan Fasha, Kil! Nanti dia jadi anak manja, kau juga yang repot, bukan?!”
“Iya, aku minta maaf, Ga.”
Benicia melirik sungkan ke arah Rangga yang tengah fokus mengemudi. Jemari-jemarinya saling bertautan di atas paha. Pria di sebelahnya memang mempunyai sifat tegas yang amat sekali terlihat. Ia sudah berada di dekat Rangga selama hampir tujuh tahun belakangan ini, dan pria itu memang benar-benar sosok lelaki pemimpin keluarga yang amat tegas namun sangat berwibawa.
“Lain kali jangan dibiasakan!”
“Iya, Ga.”
“Thella tadi telepon aku, Kil.”
Suara Rangga sudah memelan. Pandangan kesal yang tadi dipancarkannya saat mengemudi seketika berubah menjadi pandangan sendu. Benicia segera menoleh ke arah Rangga, tidak meliriknya diam-diam seperti tadi.
“Ada apa? Tania bertengkar lagi dengan Rafael?”
“Bukan. Tania pingsan di kantornya. Dia diperintah untuk izin pulang, tapi Tania bersikukuh buat tetap kerja karena takut Rafael marah. Padahal Rafael sedang tidak ada di sana.”
“Lalu, bagaimana jadinya?”
“Aku tetap suruh Thella dan Reza untuk antar Tania pulang, dan mereka harus paksa Tania. Aku juga heran, dia itu jarang sekali pingsan. Bahkan kalau aku tebak, ini pertama kalinya dia pingsan seumur hidupnya. Apa dia sedang kacau, aku juga tidak tahu.”
“Maaf, ya. Gara-gara aku, kau harus bersembunyi dari Tania agar mereka semua tidak tahu bahwa aku dekat denganmu.” Suara Benicia berubah menjadi lemah.
Rangga segera menoleh kilat pada Benicia sebelum kembali menatap lurus ke depan. “Tidak apa-apa. Semua ini harus aku selesaikan, baru aku bisa menjelaskan kalau kau berada di bawah perlindunganku selama ini.”
“Bagaimana kalau mereka tahu lebih cepat daripada rencanamu, Ga?”
“Jangan berpikiran buruk!” Tegas Rangga. Kilat pandangannya kembali berubah seperti ia memperingatkan Fasha dan Benicia tentang minuman kaleng.
“Aku hanya takut, apalagi Rafael itu orang yang sangat licik, Ga. Bisma juga sudah menjauhi Tania, aku takut mereka bekerjasama dan itu membuat hubunganmu dan Tania malah terancam.”
“Sudahlah, Kil!” Ketus Rangga.
Benicia kembali menatap lurus ke depan. Perasaannya mengatakan bahwa Rangga tersinggung akan ucapannya barusan. Ia tidak enak hati, sebab selama ini Rangga melindunginya, pria itu hampir mengorbankan banyak hal, termasuk hubungan dia bersama Tania, wanita yang diharapkan pria itu untuk menjadi pendamping hidupnya.
Ia hanya bisa berdoa, semoga semuanya berjalan sesuai rencana.





To be continued

No comments:

Post a Comment