Bisma
menyilangkan kaki dengan begitu luwes. Wajah itu menoleh ke arah kanan, dua
matanya memandangi Rafael yang tengah berada di meja kebesaran pemuda tersebut.
Sosok itu tengah sibuk dengan pena dan tumpukan berkas.
Sebenarnya
Bisma merasa tidak enak hati, namun pemuda itu tetap memperbolehkannya masuk
dan duduk di tempat ini.
“Bukannya
kau sedang sibuk sekali? Aku bisa pamit pulang kalau kehadiranku mengganggumu,
Raf.”
“Ah,
tidak!” Dua mata tajam itu melirik sekilas ke arah Bisma. “Aku hanya sedikit
sibuk untuk menanda-tangani berkas yang sudah kubaca kemarin. Laporan ini harus
segera dikirim ke pusat.”
“Baiklah,
lanjutkan pekerjaanmu! Aku akan menunggumu.”
“Tapi,
ada apa kau datang kemari? Sudah lama kita tidak berbincang bersama, dan hari
ini kau datang dengan wajah lesu. Apa kau ada masalah dengan Mamah Casma?”
Tanya Rafael dengan nada pelan. Pandangan pemuda ini kembali sibuk dengan
berkas yang berada di atas mejanya.
“Bukan
apa-apa, aku hanya sedang suntuk dan banyak pikiran.”
“Kau
memikirkan Tania?”
“Tidak.”
“Kau
tidak bisa membohongiku, Bis. Aku sudah tahu kejadian tiga hari yang lalu.
Beberapa security-ku memberikan
rekaman CCTV di mana kau ribut dengan Rangga.”
“Ya,
mood-ku hancur setelah hari itu.”
“Kau
baru tahu, kan bagaimana dia yang asli?”
“Entahlah,
aku sangat membencinya untuk saat ini.”
“Aku
bahkan membencinya sejak kita beranjak remaja.”
Bisma
menghela napas dalam. Ia tidak tahu, apakah kedatangannya hari ini ke Perusahaan
Rafael adalah sebuah tindakan yang baik atau justru menjerumuskannya semakin
dalam ke hal yang buruk. Sekarang yang ia butuhkan adalah tempat untuk
menceritakan semua beban hatinya, dan Rafael yang menurutnya tepat untuk hal
itu.
“Aku
berbeda denganmu, Raf.” Sahut Bisma pelan.
“Kurasa,
kau sekarang sama sepertiku.”
Rafael
meletakkan map terakhir di atas tumpukan berkas yang berada di sisi kiri meja
kerjanya. Ia menyatukan bagian atas batang pena dengan tutupnya, kemudian ia
menaruh pena tersebut pada tempat pena yang terletak di sudut kanan atas
mejanya.
Tubuh
tegap itu beranjak berdiri. Rafael melangkahkan kakinya mendekati Bisma. Ia
duduk di sebelah pemuda yang kini menampilkan wajah amat menderita.
“Ah,
bagaimana rasanya saat wanita yang kau cintai dicumbu oleh pria tersayangnya?”
“Kenapa
kau menanyakan hal itu?”
“Aku
hanya bertanya.”
“Mungkin
sama saja rasanya saat kau bertemu kembali dengan Benicia.”
“Hah?!
Aku tidak akan bertemu dengan perempuan itu lagi.”
“Maksudku,
tanpa sepengetahuanmu, kau bertemu dengannya di saat dia sedang dicumbu oleh
seorang pria di suatu tempat. Bisa jadi hanya dengan menggenggam tangan Benicia
saja, kau sudah ingin meninju pria itu.”
“Tidak
usah membahasnya.” Suara Rafael seketika menjadi sangat dingin. Bisma tidak
menolehkan kepalanya, tetapi ia segera menyunggingkan satu ujung bibirnya.
“Sama
sepertimu, aku juga tidak ingin membahasnya.”
“Baiklah.
Bagaimana kalau kita makan siang bersama?”
Kening
Bisma mengerut pelan. Ia mengangkat tangannya dan melihat jam untuk mengetahui pukul
berapa saat ini. “Kau belum makan siang, heh? Ini sudah jam dua siang.”
“Ah,
aku sedang banyak pikiran. Apalagi pengawalan ketat pada Tania yang Rangga
lakukan setelah dia pergi dari Indonesia, aku tidak bisa melampiaskan
amarahku.”
Bisma
segera duduk tegak dan menyampingkan tubuhnya. “Kau menjadikan Tania
korbanmu?!”
“Kenapa
kau marah? Seharusnya kau senang, dia menolakmu demi Rangga, bukan?” Rafael
tertawa sinis di akhir kalimat.
Bisma
tidak senang ketika mendengar Rafael mengucapkan kalimat-kalimat itu. Biarpun
sekarang ia sangat kecewa dengan Tania, tetapi Bisma tidak akan pernah bahagia
jika ia dengan gilanya menyakiti Tania barang satu titik pun.
“Sudahlah.
Kau ingin makan dimana?”
“Food Court saja, bagaimana?”
“Ayo!”
Bisma
beranjak berdiri dan melangkah terlebih dahulu ke arah pintu. Perlahan ia memegang
gagang pintu kemudian menariknya, dan kaca berbentuk persegi panjang yang
berengsel itu terbuka.
Bisma
berhasil menatap aktivitas pertama kali yang ada di luar ruangan setelah pintu
kaca itu terbuka. Seorang perempuan sedang membersihkan kaca besar yang
tertempel di samping kanan dinding. Perempuan itu tetap fokus melakukan
aktivitasnya, berbanding terbalik dengan Bisma yang memaku di muka pintu
sesudah menatapnya. Pandangan Bisma tidak lepas sedikitpun dari pergerakan
perempuan di depan sana.
Bisma
bicara pada Rafael kalau ia sangat kecewa pada Rangga, padahal kekecewaan itu
lebih besar ditujukan kepada Tania. Ia tidak mengerti bagaimana bisa hatinya
tidak menerima penolakan Tania, namun inilah rasa yang saat ini dirasakannya.
Tidak seperti Rafael yang membenci Rangga dan Tania secara berlebihan, Bisma
tidak bisa seperti itu. Ia sudah menganggap keduanya seperti sahabat hidup
selain perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti, dan hal tersebut
tidak akan bisa ia ubah begitu saja akibat masalah ini.
Ia
hanya butuh waktu untuk menerima semuanya.
“Bis,
masih di sana?”
Kedua
matanya segera berkedip sadar. Tidak menengok ke arah Rafael yang terasa sudah
berada di belakangnya, Bisma segera melangkah ke arah kiri menuju lift yang
berada di bagian selatan.
Tidak
lelaki itu ketahui, seorang perempuan yang tadi diamati Bisma beberapa detik, menghentikan
aktivitasnya.
Ia
terdiam saat dirasa pintu ruangan itu terdengar ditutup. Ia sedikit menengokkan
kepalanya ke belakang, di mana arah kaki Bisma melaju setelah pemuda itu
memandanginya dalam diam. Dua cuping hidung perempuan ini segera mengeluarkan
napas amat pelan.
Tania
kembali memandang lurus. Dua bola matanya mengarah ke bawah, mengamati situasi
jalan protokol letak bangunan ini berada, di mana jalan tersebut selalu saja
sibuk dengan kegiatan penggunanya masing-masing.
Rangga
memang sudah kembali, dan pria itu juga sudah bisa ia genggam. Tapi, Tania
ingin Bisma tidak menjauhinya. Jika ini disebut egois, maka Tania dengan sangat
setuju akan mengiyakannya.
Ia
selalu berbagi rasa suka dan duka bersama lelaki itu, bahkan semua detik
hidupnya selama ia ditinggal Rangga, sebisa mungkin ia bagikan ceritanya pada
Bisma. Biasanya, lelaki itu akan menanggapinya dengan ocehan, nasehat,
perhatian, atau yang paling menyebalkannya adalah hanya menganggukkan kepala.
Saat
Bisma melakukan itu, ia akan langsung protes dan merajuk marah. Kemudian dengan
penuh kasih sayangnya, Bisma akan membujuknya dengan berbagai macam penawaran,
bahkan Bisma akan merayunya dan hal itu membuat Tania tertawa sekaligus jengkel
secara bersamaan.
Ah,
hatinya semakin merasa bersalah karena ia tidak bisa membalas perasaan Bisma.
###
“Bisma,
kau tadi terdiam karena memandangi Tania?”
Bisma
segera menoleh pada Rafael yang berjalan di sampingnya. “Tidak.”
“Tidak
salah lagi, maksudmu.”
“Terserah.”
“Aish,
apa yang membuatmu sampai jatuh cinta pada wanita itu? Rangga saja dahulu
sempat tidak menyukai dia. Kurasa, semenjak kejadian itu, Rangga baru menyukai
Tania, itupun di awali dengan perasaan bersalah terlebih dahulu.”
“Kau
tidak tahu apa-apa, Raf.”
“Kalau
aku ‘sok tahu, anggap saja barusan aku hanya menduganya asal-asalan.”
“Ya,
terserah.”
“Bagaimana
kalau kita makan di restaurant seafood
saja? Tiba-tiba aku ingin makan di sana.”
Ajakan
Rafael yang bisa dibilang tiba-tiba tersebut menciptakan reaksi Bisma langsung
berhenti melangkah. Bisma segera menyampingkan tubuhnya, memandangi Rafael
dengan pandangan heran.
“Kenapa
kau baru bilang saat kita sudah sampai di depan Food Court, heh?! Restaurant itu ada di ujung sana!”
“Kau
tidak ingin mengantarku? Ya sudah, aku makan sendiri saja.” Rafael berbalik dan
mulai berjalan ke arah yang sudah Rafael lewati beberapa detik lalu.
Bisma
mendecak kesal kemudian berlari kecil mengikuti langkah Rafael yang sudah
sedikit jauh darinya.
“Kau
sedang mengidam, hah?!” Tanya Bisma setelah ia bisa menyamakan langkahnya di
samping Rafael.
“Kau
gila?!” Sentak Rafael pelan, tidak terima.
“Sewaktu
Benicia hamil, kau sering seperti ini. Kau tidak ingat saat kau merajuk padaku
karena aku tidak mau mengikuti keinginanmu? Tengah malam sekalipun, Raf! Satu
bulan lebih kau seperti itu, bahkan sampai kau harus menginap di rumahku agar Mamah
Nila tidak mengetahui kebiasaan anehmu itu.”
“Aku
tidak ingat.”
“Ya!
Apa harus kusuruh Mamahku untuk kembali mengingat acara mengidammu? Kami
sekeluarga harus bangun karena kau merengek untuk dibuatkan sop ayam dengan
wortel yang banyak. Paginya kau kesiangan padahal kita dapat kelas kuliah
pagi.”
“Sudahlah,
tidak usah membicarakan hal itu.”
“Apa
kau kembali menghamili perempuan di luar sana selain Benicia?”
“Bisma!
Kau ingin kutinju di tengah keramaian seperti ini?” Desis Rafael.
Bukannya
merasa terancam, justru Bisma malah tertawa. “Ah, jadi beginikah rasanya
diancam dirimu? Benar kata Tania, ini lucu.”
Bisma
melanjutkan tawanya sambil tetap melangkah. Dua mata bulatnya kini melirik
jahil ke arah Rafael yang sudah memasang wajah masam. “Ah, aku baru tahu jika
calon ayah juga bisa menderita karena mengidam.”
“BISMA!”
Rafael
sudah menyentak cukup keras. Bisma segera menormalkan eskpresi wajahnya.
“Baiklah, aku diam.”
Seorang
pramuniaga menghampiri keduanya saat mereka sudah sampai di depan pintu kaca restaurant
seafood yang Rafael maksud.
Pramuniaga berjenis kelamin perempuan itu berbincang sedikit dengan Bisma
sebelum mereka berdua mengikuti arah kaki pramuniaga tersebut untuk menunjukkan
sebuah meja makan kosong.
Setelah
pesanan mereka dicatat oleh pramuniaga yang masih dengan setia berada di antara
mereka berdua lalu pergi, keduanya mulai terdiam dan sibuk dengan aktivitas
masing-masing.
Bisma
menaruh ponsel di atas meja bundar yang berada di depannya. Kepalanya segera
memutar ke kanan dan ke kiri untuk mengamati situasi dan kondisi restaurant
yang masih terlihat ramai, walaupun waktu makan siang sudah terlewat cukup
lama.
“Papah, kapan cumi Fasha
datang? Aku lapar~”
“Nanti, ya. Makanan mamah,
papah, dan Fasha memang belum datang.”
“Tapi aku lapar, Papah.
Perut aku sudah teriak cumi asam-manis.”
“Fasha mulai pintar
cari alasan, ya?!”
“Aku cari cumi, bukan
alasan.”
Bisma
merasa familiar mendengar suara bariton bening milik laki-laki yang membalas
ucapan anak kecil barusan. Ia duga pemilik suara orang dewasa dan anak kecil itu
tidak jauh dari posisi duduk ia dan Rafael. Dengan rasa penasaran, Bisma
menengokkan kepalanya ke belakang, mencari sumber suara yang ia rasa sangat ia kenali
sekali karakternya.
“Fasha semakin ke sini,
buat papah gemas, ih!”
“Aku memang tampan.”
“Lihatlah anak itu,
sudah sejak kecil dia sangat percaya diri seperti ini.”
“Mamah juga selalu
bilang kalau Mamah adalah wanita cantik, padahal Fasha tidak mengakuinya.”
“Akuilah, anakku
sayang.”
Bisma
segera meluruskan kepalanya. Dua matanya membulat sempurna. Ia memilih untuk mengambil
napas dalam terlebih dahulu sebelum menolehkan kepalanya ke arah Rafael yang
sibuk dengan ponsel pemuda itu.
Bisma
sedikit menggigit bibir bawahnya sebelum bersuara atas apa yang ia lihat barusan.
“Raf, ada Rangga di sini.”
“Kau
serius? Bukannya dia sudah pulang tiga hari yang lalu?” Rafael langsung menatap
Bisma heran.
“Serius.
Dia bersama Benicia dan putramu.”
“Benicia?
Putraku? Mereka tinggal di luar, Bisma. Sebelum dia menghilang sesuai
permintaanku, dia menulis surat dan salah satu isinya, dia akan tinggal di
luar, ikut dengan neneknya.”
“Lihatlah
sendiri di belakangmu, Raf.”
Rafael
yang ikut penasaran akhirnya menengokkan kepalanya ke belakang. Ia mencari-cari
wajah yang di maksudkan Bisma di antara banyak kepala yang sekarang ada di
depan matanya.
“Hahaha, Papah saja
tidak mengakuinya. Apalagi Fasha, kata orang, kan anak kecil tidak bisa
berbohong, Mamah.”
“Oh, jadi sekarang
Fasha bersekongkol dengan Papah?”
Dua
mata minimalis Rafael semakin menyipit ketika melihat dua kepala pemilik suara
yang sangat ia kenal. Tubuh mereka duduk sejajar di soffa merah yang menghadap ke arah timur restaurant. Seperti ucapan
Bisma, Rafael juga bisa mengenal dua suara yang berbicara cukup kencang
barusan.
Rafael
beranjak berdiri dan ia menegakkan tubuhnya selama satu detik. Ia memandang ke
arah yang ia curigai dengan tajam. Setelah merasa puas dengan pengamatan
tersebut, Rafael kembali beranjak duduk dan menoleh ke arah Bisma dengan
pandangan yang sulit diartikan.
“Fasha?
Nama anak itu Fasha?”
“Mungkin.
Sejak tadi anak itu menyebut dirinya Fasha.”
“Benicia
dengan Rangga? Papah-Mamah? Mereka sudah menikah?”
“Bagaimana
bisa? Saat aku bertengkar dengannya, Rangga bilang hanya boleh dia yang Tania
cintai.”
“Bisa
saja dia mencintai Tania dan Benicia secara bersamaan.”
“Killa, benar juga kata
Fasha, kenapa makanan kita belum juga sampai?”
Rafael
semakin menautkan kedua alisnya setelah suara Rangga yang cukup bervolume besar
itu kembali terdengar di dua gendang telinganya. “Killa?”
“Ada
apa?”
“Bukankah
dahulu Rangga memanggil perempuan itu Beni? Dia selalu marah setiap kali Rangga
menyebut namanya seperti itu.”
“Kau
masih mengingatnya? Ah, kau belum move on
dari Benicia, ya? Atau kau masih mengingat kejadian itu?”
“Tapi,
bagaimana dia bisa memanggilnya Killa?”
Bisma
menghela napas lebih dalam dari sebelumnya. “Nama lengkap perempuan itu, kan,
Benicia Shakilla. Mungkin panggilan ‘Killa’ itu adalah panggilan kesayangan
Rangga untuk dia.”
Bisma
menangkap segurat wajah yang belum pernah ia tangkap dari Rafael selama ini.
Wajah itu bukan menampilkan wajah kebencian seperti yang biasa ia lihat saat Rafael
berhadapan dengan Tania.
Ekspresi
Rafael terlihat tidak suka atas obrolan yang mereka dengar dari sebuah keluarga
kecil yang sangat terlihat harmonis.
“Kau
cemburu?”
Rafael
melirik Bisma tajam. “Siapa bilang aku cemburu?”
“Barangkali,
aku hanya menduganya. Kau, kan pernah merasa kehilangan Benicia.”
“Itu
masa lalu. Kalau kau menanyakan bagaimana aku yang sekarang, kau salah! Aku
bahagia, senjata ampuhku untuk menghancurkan Tania sudah kugenggam.”
“Maksudmu?”
Dua mata Bisma membulat lebar seketika. Ia harus sampai menggeser tubuhnya ke
samping untuk menghadap ke arah Rafael.
Bisma
mulai merasa was-was. Apa Rafael akan memberitahu kedekatan Rangga dan Benicia
pada Tania? Ia yakin Tania pasti akan percaya, Rafael pasti bisa membawa barang
bukti seperti rekaman CCTV atau apapun yang bisa ia peroleh sekarang di tempat
ini. Kekuasaan sepupunya itu memang jauh di atasnya, walaupun lebih rendah dari
Rangga.
“Kau
pasti sudah tahu, Bisma.”
“Rafael,
kumohon janganlah kau lakukan itu! Aku takut Tania akan tidak baik-baik saja
setelah mendengar ini semua.”
“Kenapa
kau membelanya? Bukankah kau kecewa dengan Rangga? Kuyakin kau lebih kecewa
dengan Tania, karena dia menolakmu di saat kau memberikan seluruh perhatian dan
waktumu hanya untuk wanita itu.”
Bisma
terdiam. Rafael memang benar, ia kecewa dengan Rangga dan terlebih Tania.
Tapi—ia bukan jenis laki-laki yang akan dengan teganya melihat kesengsaraan
yang dialami perempuan yang menolak cintanya.
Ia
bahkan pernah menerima berkali-kali penolakan secara tidak terhormat dari
perempuan yang sudah ia tiduri secara sadar dan tidak; Dina.
Ah,
kenapa Bisma baru sadar sekarang?
“Aku
masih punya hati, Raf. Aku mohon dengan sangat padamu, jangan beritahu hal ini
pada Tania. Dia baru saja senang karena bisa kembali dekat dengan Rangga.”
“Ah,
dia sedang senang-senangnya?! Terima kasih atas informasi yang kau berikan,
Bis.”
Bisma
mendecak kesal. “Tolonglah, Raf. Aku akan melakukan apa saja yang kau pinta
dariku. Asal kumohon, kau jangan menyakiti Tania karena ini.”
“Oh
iya, aku punya penawaran bagus untukmu.”
Bisma
merasakan hawa tidak enak saat ia berhasil menangkap sebuah senyum iblis yang
dikeluarkan Rafael. “Ap—apa?” Tanyanya ragu.
“Kau
gugup?”
“Cepatlah
beritahu aku!”
“Begini,”
Rafael mendekatkan tubuhnya pada Bisma. “Kau ingin aku yang memberitahukan hal
ini, atau kau sendiri yang beritahu Tania?”
Bisma
segera menjauhkan tubuhnya. “Maksudmu, Raf?!” Pekiknya sedikit keras.
“Husstt,
jangan kencang-kencang! Rangga dan perempuan sialan itu akan mengetahui posisi
kita.”
“Kurasa
memang lebih baik Rangga mengetahuinya.”
Bisma
sudah beranjak berdiri kalau saja Rafael tidak menarik kencang tangannya. Alhasil,
Bisma kembali duduk di tempatnya.
“Kalau
kau ingin kedua orang tua Rangga tahu atas kepercayaan mereka yang kau
khianati, aku mempersilahkannya.”
“Sepertinya
kau juga ingin menghancurkanku.” Bisma mendesahkan napas panjang kemudian ia menenggelamkan
punggungnya di dinding kursi.
Benar
apa kata Rafael. Selain ia kecewa karena Rangga dan Tania, sesungguhnya ada
pihak lain yang ia kecewakan karena ia diam-diam mencintai Tania selama ini.
Kedua
orang Rangga menitipkan Tania padanya saat ia menolak dikirimkan ke Washington
untuk menemani Rangga belajar di sana. Entahlah, saat itu Bisma sangat tidak
ingin jauh-jauh melanjutkan pendidikan, apalagi sampai di Benua Amerika. Bisma
lebih memilih tetap tinggal di Indonesia walaupun tawaran biaya kuliah akan
ditanggung oleh nenek dan kakeknya.
Akhirnya,
sebagai imbalan karena ia menerima perintah dari kedua orang tua Rangga, biaya
kuliahnya pun ditanggung sepenuhnya oleh kedua orang tua Rangga.
“Aku
tidak berencana seperti itu.”
“Tapi
kau mulai merencanakannya sekarang.”
“Tepat
sekali!”
“Tidak
ada penawaran lain?”
“Kau
ingin aku yang melakukannya dengan caraku?”
Bisma
menghela napas gusar. “Persetan kau, Rafael!”
Berjarak
sekitar lima meter dari keberadaan meja dua pemuda tersebut, suasana ceria bisa
dirasakan dari hangatnya obrolan dua orang dewasa dan satu anak kecil dari meja
yang mereka tempati. Ketiganya terdengar saling tertawa dan sesekali mengusap
puncak kepala seorang anak laki-laki yang duduk mengayun-ayunkan kedua kakinya
di bawah meja.
“Papah,
aku mau cola kaleng.”
“Pesanan
kita, kan bentar lagi sampai, sayang. Makan saja, ya?”
“Tapi,
Pah—“
“Ssstt,
jagoan tidak boleh merengek, ah!”
Fasha–anak
kecil tersebut—hanya mencebikkan bibirnya kesal. Dua matanya kini sedikit
berair, ia mengarahkannya pada Rangga yang terlihat sibuk berbincang dengan
Benicia.
“Papah,
cola tidak boleh. Cumi aku belum datang. Aku harus diam saja gitu? Ah, aku
bosan, Pah!”
“Fasha,
jangan rewel!” Benicia kini yang mulai bersuara. Ia memandang sedikit kesal
buah hatinya yang selalu saja bersikap seperti sekarang apabila keinginannya
tidak segera dipenuhi.
“Fasha,
kan suka pusing kalau habis minum cola. Katanya Fasha juga lelah kalau sendawa
terus. Eh, itu lihat! Makanan kita sudah datang.”
Dua
mata mungil Fasha menuju ke arah ujung jari telunjuk Rangga. Pandangannya
seketika berbinar saat mengetahui makanan kesukaannya ada dalam nampan yang
dibawa oleh beberapa pelayan. Harum masakannya sudah dapat Fasha cium, dan
sebab itu pula ia sedikit melupakan masalah cola kaleng yang ingin diminumnya.
“Makan
yang banyak, Fasha sayang!”
“Ah,
aku bisa tambah dua piring ini, Pah!”
“Makanlah!”
Rangga mengusap puncak kepala Fasha dengan senyum mengembang. Anak kecil itu
hanya tersenyum seraya mengacungkan kedua ibu jarinya pada Rangga.
“Kau
ambil lauknya sendiri saja, ya?”
“Iya,
Kil. Terima kasih.”
Baru
saja Rangga ingin mengambil sendok yang berada di atas piringnya, namun dering
ponselnya segera menghasilkan tangan Rangga hanya mengambang di udara. Rangga
segera mengambil ponsel yang berada di saku celananya kemudian melihat siapa
nama kontak pemanggil nomornya.
Rangga
segera beranjak berdiri dan memandang ke arah Benicia dan Fasha yang sudah
memandanginya dengan tatapan heran. Ia menghela napas pelan. “Maaf, aku ke
toilet sebentar, ya? Ada panggilan penting.”
“Silahkan,
Ga.”
“Papah
di sini saja!”
“Fasha,
jangan manja!”
“Aku
ingin makan bersama Papah, Mah.”
“Papahnya
ada urusan kantor sebentar.”
“Tapi
hanya ke toilet, kan, Pah?”
“Iya,
sayang.”
“Ya
sudah, Fasha tunggu.”
Rangga
hanya tersenyum kemudian berlalu. Fasha yang sudah memegang sendok dan garpu di
masing-masing tangannya malah memandangi Benicia yang tengah memindahkan
lauk-pauk ke atas piringnya.
Merasa
diperhatikan, Benicia memandang putranya. “Ada apa, sayang?”
“Mumpung
Papah ke toilet, kita beli cola, Mah!” Fasha meletakkan alat makannya. Ia
tersenyum lebar pada Benicia yang segera menaruh piringnya di atas meja.
“Jangan,
Mamah tidak ingin kau sakit, Fasha.”
“Ayolah,
Mah!”
“Fasha
jangan susah diberi nasehat.”
“Bukan
cola, tapi susu coklat kaleng. Bagaimana?”
“Susu
coklat kaleng?” Benicia menautkan dua alisnya.
Fasha
segera menganggukkan kepalanya. “Iya. Itu yang gambarnya orang tendang bola.
Kaleng panjang warna hijau itu, Mah. Kita pernah beli di supermarket
kemarin-kemarin.”
Mengerti
maksud putranya, Benicia menghela napas pelan. “Fasha itu kalau tidak dituruti
pasti rewel. Ya sudah, tapi kita beli dimana?”
“Itu,
Mah! Tadi ada anak kecil ambil kaleng itu dari sana!” Fasha dengan semangat
menunjuk ke arah dua lemari pendingin besar yang berada di sebelah pintu
restaurant.
Benicia
beranjak berdiri. “Fasha tunggu di sini, ya?”
“Okay!”
Tidak
sampai tiga menit, Benicia kembali duduk di sebelah Fasha dan menyerahkan
minuman kaleng yang dimaksud putranya. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepalanya memandang senyum sumringah yang dikeluarkan Fasha saat mengambil
kaleng tersebut dari tangannya.
Benicia
tiba-tiba mengingat pemuda itu, di mana senyum Fasha sangat mirip dengan senyum
ayahnya.
“Mamah,
bukanya susah.”
Ia
segera mengalihkan kesadarannya dan memandang Fasha dengan pandangan heran.
“Fasha tidak bisa buka kalengnya? Jari telunjuk bunda lagi sakit, sayang
gara-gara kena pisau kemarin.”
“Minta
bantuan orang saja bagaimana, Mah?”
“Fasha
ingin meminta bantuan kepada siapa?”
“Hmm—”
Anak kecil ini menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. “Meja sebelah
orangnya kelihatan seram, Mah. Fasha takut.”
“Tunggu
Papah saja, ya?”
“Nanti
Papah malah buang kaleng ini. Kalau sudah lihat aku minum, kan Papah biasanya
diam.”
“Jadi?”
“Fasha
ke meja yang di sebelahnya lagi, ya, Mah?”
“Hati-hati.”
Fasha
mengangguk dan turun dari soffa. Dua
kaki kecilnya menuntun Fasha pada sebuah meja yang dihuni oleh dua orang yang
tengah sibuk berbisik-bisik. Sebenarnya Fasha merasa tidak enak untuk mengganggu
dua orang dewasa tersebut, namun ia sudah sangat ingin mencicipi susu coklat di
dalam kaleng yang dipegangnya.
“Permisi,
Om.”
Dua
orang dewasa yang Fasha panggil mengalihkan pandangan mereka dengan pandangan
bertanya. Fasha semakin merasa canggung, apalagi saat pandangan sinis
dilemparkan satu orang dewasa yang berada tepat di samping kanannya.
“Iya,
ada apa?” Tanya seorang laki-laki dewasa yang berada di sebelah orang yang
memandangnya sinis.
Fasha
mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang duduk di pojok. Lelaki itu
menampilkan senyum ramahnya, membuat Fasha perlahan-lahan membalas senyum
tersebut dengan riang.
“Om,
bisa bantu Fasha buka kaleng ini, tidak? Fasha kesusahan. Papah Fasha sedang di
toilet, kalau mamah jarinya sedang luka.”
“Oh,
bisa. Kemarikan kalengnya!”
Fasha
menjulurkan kalengnya dengan tersenyum lebar. Laki-laki itu menerimanya dengan
senyum ramah. “Nama lengkapnya Fasha, siapa?”
“Fasha
Maheswari Tanubrata, Om. Kalau Om namanya siapa?”
Lelaki
tersebut membuka kaleng minuman Fasha dengan mudah kemudian memberikannya pada
Fasha. “Panggil saja Om Bisma.”
“Terima
kasih, Om Bisma. Untung Papah belum datang, kalau ketahuan pegang kaleng ini,
pasti dibuang sama Papah.”
“Dibuang?”
Lelaki
yang ternyata Bisma itu mengerutkan keningnya. Dua matanya melirik sekilas ke
arah Rafael yang ternyata sudah menyibukkan diri dengan ponsel pribadi milik
sepupunya itu. Pertanyaan Bisma sekarang adalah, Rafael juga membenci anaknya
sendiri?
“Iya,
Om. Papah paling marah kalau aku minum minuman kaleng, apalagi cola. Kata
Papah, aku masih kecil, nanti sakit kalau minum yang begitu-begitu.”
“Tapi,
itu susu, loh! Papah Fasha juga melarang?”
“Ya—begitulah,
Om. Aku balik ke meja ya, Om. Bye!”
“Bye, juga!” Bisma melambaikan tangannya
pada Fasha yang sudah berlalu sambil melambaikan tangan, diiringi senyumnya
yang belum hilang juga.
Bisma
buru-buru menoleh ke arah Rafael. Dilihatnya heran tingkah Rafael yang kini
menekan keras layar ponselnya dengan ujung jari telunjuk milik pemuda itu. Dia
menekan paksa sampai timbul bayangan hitam ketika telunjuk itu menekan keras
layarnya.
“Raf,
daripada nanti ponselmu rusak karena kau tekan-tekan seperti itu, lebih baik
kau berikan padaku. Bagaimana?”
“Aku
anggap kau menerima penawaranku, Bis.”
Bisma
segera membulatkan kedua matanya. Apa maksud Rafael barusan?
***
“Fasha,
Papah bilang, kan jangan beli minuman kaleng begitu, kenapa tetap paksa Mamah?”
“Itu,
kan susu coklat, Pah.”
“Tetap
saja, nanti kalau Fasha sakit, bagaimana?”
“Fasha
minta maaf.”
“Sudahlah,
Ga. Aku yang salah, aku yang membelikan minuman itu pada Fasha. Lagian, kalau itu
cola juga tadi aku larang, tapi itu beda.”
“Jangan
suka turuti semua keinginan Fasha, Kil! Nanti dia jadi anak manja, kau juga
yang repot, bukan?!”
“Iya,
aku minta maaf, Ga.”
Benicia
melirik sungkan ke arah Rangga yang tengah fokus mengemudi. Jemari-jemarinya
saling bertautan di atas paha. Pria di sebelahnya memang mempunyai sifat tegas
yang amat sekali terlihat. Ia sudah berada di dekat Rangga selama hampir tujuh
tahun belakangan ini, dan pria itu memang benar-benar sosok lelaki pemimpin
keluarga yang amat tegas namun sangat berwibawa.
“Lain
kali jangan dibiasakan!”
“Iya,
Ga.”
“Thella
tadi telepon aku, Kil.”
Suara
Rangga sudah memelan. Pandangan kesal yang tadi dipancarkannya saat mengemudi
seketika berubah menjadi pandangan sendu. Benicia segera menoleh ke arah
Rangga, tidak meliriknya diam-diam seperti tadi.
“Ada
apa? Tania bertengkar lagi dengan Rafael?”
“Bukan.
Tania pingsan di kantornya. Dia diperintah untuk izin pulang, tapi Tania
bersikukuh buat tetap kerja karena takut Rafael marah. Padahal Rafael sedang
tidak ada di sana.”
“Lalu,
bagaimana jadinya?”
“Aku
tetap suruh Thella dan Reza untuk antar Tania pulang, dan mereka harus paksa
Tania. Aku juga heran, dia itu jarang sekali pingsan. Bahkan kalau aku tebak,
ini pertama kalinya dia pingsan seumur hidupnya. Apa dia sedang kacau, aku juga
tidak tahu.”
“Maaf,
ya. Gara-gara aku, kau harus bersembunyi dari Tania agar mereka semua tidak
tahu bahwa aku dekat denganmu.” Suara Benicia berubah menjadi lemah.
Rangga
segera menoleh kilat pada Benicia sebelum kembali menatap lurus ke depan.
“Tidak apa-apa. Semua ini harus aku selesaikan, baru aku bisa menjelaskan kalau
kau berada di bawah perlindunganku selama ini.”
“Bagaimana
kalau mereka tahu lebih cepat daripada rencanamu, Ga?”
“Jangan
berpikiran buruk!” Tegas Rangga. Kilat pandangannya kembali berubah seperti ia
memperingatkan Fasha dan Benicia tentang minuman kaleng.
“Aku
hanya takut, apalagi Rafael itu orang yang sangat licik, Ga. Bisma juga sudah
menjauhi Tania, aku takut mereka bekerjasama dan itu membuat hubunganmu dan
Tania malah terancam.”
“Sudahlah,
Kil!” Ketus Rangga.
Benicia
kembali menatap lurus ke depan. Perasaannya mengatakan bahwa Rangga tersinggung
akan ucapannya barusan. Ia tidak enak hati, sebab selama ini Rangga
melindunginya, pria itu hampir mengorbankan banyak hal, termasuk hubungan dia
bersama Tania, wanita yang diharapkan pria itu untuk menjadi pendamping
hidupnya.
Ia
hanya bisa berdoa, semoga semuanya berjalan sesuai rencana.
To
be continued
No comments:
Post a Comment