Sunday, January 1, 2017

MINE | BAB 7. Rafael Kissed Tania

Tania mengerutkan keningnya saat Bisma memberikan sebuah tablet yang layarnya menampilkan sebuah video dengan lambang jeda. “Ada apa ini?” Tanyanya tidak ingin mengambil gadget tersebut terlebih dahulu.
Bisma tetap menjulurkan tangannya. “Ambil dan mainkan saja videonya.”
“Tapi ini apa? Kau terlihat mencurigakan.”
“Tidak usah banyak bicara, Tania. Tonton saja videonya.”
Ragu, Tania menerima gadget tersebut pelan kemudian menekan lambang jeda pada layar. Sedetik kemudian, Tania bisa melihat gambar demi gambar yang berputar per sekian detik.
Pergerakan itu terkonsentrasi pada sebuah meja dengan soffa merah yang menghadap ke arah kamera. Tania menangkap ada tiga orang yang menjadi fokus dalam video itu, di mana ketiga orang yang tidak diketahui sedang direkam terlihat sangat akrab sekali.
Tania menolehkan kepalanya pada Bisma. “Ada apa dengan video ini?”
“Kau tidak lihat ke arah mana fokus kameranya?”
“Aku lihat. Fokus kamera ini ke sebuah meja yang diduduki tiga orang, bukan? Ini seperti rekaman kamera tersembunyi. Ngh—di tempat makan, ya?”
“Lihatlah wajah tiga orang itu! Kau akan terkejut setelah melihatnya.”
Tania membuka dua bibirnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, namun raut wajah Bisma menegaskan bahwa ia harus kembali menonton pergerakan gambar di dalam layar.
Tania kembali menonton video tersebut. Dua matanya memandang fokus pada tiga orang yang saling menengok saat salah seorang di antara mereka terlihat membuka mulut, seperti berbincang.
Seorang pria yang menjadi fokus kamera terlihat menunjuk ke arah kanan kamera sambil tersenyum. Tania mengamatinya lekat-lekat ketika melihat wajah tidak asing dari pria tersebut. “Wajahnya mirip dengan Rangga, ya?”
Tania mendengar Bisma menghela napas, membuat kepala Tania refleks sedikit menoleh. “Apa kau ingin memberitahuku bahwa Rangga sebenarnya punya saudara kembar? Ini seperti di sinetron yang Tante Sara lihat.”
“Bukan, Tan. Itu memang Rangga dan dua orang di sebelahnya adalah anaknya Rafael dan Benicia.”
Tania melebarkan matanya. Ia kembali menonton video itu dan ia semakin memandang lekat-lekat video yang masih terputar. Masih belum percaya akan apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar dari Bisma, Tania bahkan sampai mendekatkan layar gadget tersebut hampir di depan wajahnya.
“Bagaimana bisa? Bukankah Rangga sudah kembali ke Amsterdam lima hari yang lalu? Kenapa dia bisa bersama Benicia dan anaknya Rafael?”
Tania meletakkan buru-buru gadget pada meja persegi di depannya. Dua matanya kini memandang tajam ke arah Bisma yang duduk di depannya. “Darimana kau dapat rekaman ini? Kapan video ini diambil?”
“Aku dapat dari manajer restaurant. Video itu di ambil dua hari yang lalu.”
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku? Kau merencanakan sesuatu? Kau dendam padaku karena kejadian waktu itu, Bis?”
“Tan, tenanglah.”
“Aku tidak bisa tenang, Bisma!”
Kegusaran yang sangat kentara dikeluarkan Tania, membuat Bisma menghela napas panjang. Ditatapnya lama wajah Tania yang terlihat sekali menuntut jawaban cepat darinya. Pemandangan dua bola mata wanita itu akan ia rekam baik-baik di dalam ingatannya. Bisma takut setelah hari ini, Bisma tidak bisa melihat pandangan itu kembali yang masih sudi memandang wajahnya.
“Aku tidak dendam padamu. Aku hanya ingin memastikan kalau Rangga belum pergi dari kota ini. Dia selalu bersama Benicia dan anak itu, dan Rangga tinggal satu apartement bersama mereka berdua.”
Napas Tania tercekat di tenggorokan. Dua matanya membulat sempurna. Punggungnya harus sampai bersandar di dinding kursi karena berjengit kaget.
“Ka—kau tidak bohong, Bis?”
“Kau sudah lama mengenalku, Tania. Kapan aku bohong padamu? Hanya waktu itu saja, ketika aku menyembunyikan kepulangan Rangga. Tapi kau akhirnya tahu juga, kan?”
Tania mengusap keningnya sambil membuang napas gusar. Ini semua terasa tiba-tiba menyerang, padahal kondisi fisiknya sedang tidak baik. Tania tengah merasa tidak enak badan dan lelah secara bersamaan.
Tak terasa, dinding transparan itu mulai melapisi masing-masing bola matanya. “Apa mereka sudah menikah?”
“Aku dapat informasi dari beberapa anggota keluarga kami di Amsterdam, mereka memang dekat sejak Rangga kuliah. Pihak keluarga Benicia dan keluarga kami, pun memang kenal dekat. Kudengar, Rangga dan Benicia pernah kumpul bersama keluarga masing-masing untuk membicarakan sebuah acara perjodohan.”
“Perjodohan?”
Hati Tania bagaikan ditusuk ribuan belati setelah mendengar penjelasan Bisma. Sebuah bidang lahan yang baru saja ditumbuhi oleh rerumputan nan hijau beberapa hari yang lalu, seolah dibumi-hanguskan begitu saja dalam hitungan detik. Penantian yang ia lakukan sangat lama sekali, dikiranya kisah itu berakhir dengan pertemuan singkat yang mampu memupukkan harapannya kembali. Namun, apa inikah jalan akhirnya?
Tania merasa ia tidak bisa mengeluarkan napas dari dua lubang hidungnya. Ia segera membuka dua bibirnya. Belum saja dua matanya berkedip, tetapi air-air itu akhirnya merembes keluar menuruni pelan area pipinya.
“Dia berjanji tidak akan mengecewakanku. Rangga berjanji akan melamarku setelah kepulangannya kembali dari Amsterdam.”
“Bagaimana kau menunggu kepulangannya jika dia saja masih berada di sini? Bahkan tinggal bersama Benicia dan putranya. Kau tahu, bahkan anak itu memanggil Rangga dengan sebutan papah.”
Air mata itu terasa semakin deras menuruni kedua matanya. Tania berkedip untuk kesekian kalinya, dan cairan itu sangat setia mengeksperesikan keadaan hatinya. “Apa aku harus mempercayaimu?”
“Terserah. Aku hanya memberimu informasi dan bukan dilandasi untuk balas dendam. Aku sudah ikhlas untuk melepas hatimu dari ketertarikanku selama ini.” Jawab Bisma dengan nada pelan.
“Aku harus bagaimana?”
Tania menjambak rambutnya kencang. Ia memejam erat, sedikit meringis sakit. Bukan fisiknya yang terasa nyeri, namun hatinya kini ibarat disayat-sayat oleh sebuah benda runcing yang amat menyakitkan.
Air mata itu terus dan terus saja keluar semakin banyak. Ia sadar kalau ia dan Bisma sedang berada di tempat umum. Tania ingin menangis terisak, namun ia harus menahannya sekuat yang ia bisa. “Aku ingin pulang.” Lirihnya.
Bisma tidak menyahuti dan memilih untuk memanggil pelayan. Sesudah mengeluarkan beberapa lembar uang ratus ribuan dan memberikannya pada pelayan yang membawa kwitansi pembayaran makan, dua mata pemuda ini memandang penuh simpati pada Tania.
“Kau hubungi, Rangga.”
“Aku belum memiliki nomor ponselnya, Bis. Rangga bilang padaku, dia akan menghubungiku kalau dia sudah sampai di Amsterdam.”
“Tapi Rangga masih di sini, kan? Hubungi nomor ponselnya yang kau punya. Basa-basi saja jika dia mengangkatnya, walaupun sebenarnya mustahil Rangga akan angkat panggilanmu jika dia benar-benar sudah di sana.”
Tania menghapus air matanya cepat sebelum mengambil ponsel yang berada di saku celana kerjanya. Setelah mencari nama kontak Rangga dan men-dial nomornya, ia menempelkan benda persegi panjang tersebut di telinganya.
Suara mesin pembicara operator membuat Tania segera menjauhkan ponselnya. Ia memandang Bisma dengan pandangan sedih. “Tidak aktif, Bis.”
“Benarkah? Itu tidak mungkin, Tan! Nomor ponsel Indonesia Rangga itu digabung juga dengan jalur bisnis perusahaan dia di sini. Jadi dia tidak akan mungkin mematikan jaringan ponselnya.”
“Tapi tadi kau juga mendengarnya, bukan?”
Bisma mengerutkan dahi pelan. Bibir bawahnya sedikit ia tipiskan sebelum ia kembali fokus memandang Tania dengan pandangan yang memiliki banyak pertanyaan sekaligus dugaan.
“Boleh aku mengetahui nomor ponsel Rangga yang ada di ponselmu?”
Tania menganggukkan kepalanya dan ia segera memberikan ponselnya pada Bisma. Pemuda itu mulai mengotak-atik ponselnya sendiri sebelum dia mengambil ponsel Tania dan memandang dua layar itu secara bergantian.
“Nomornya beda, Tania.”
“Kau serius? Lihat yang benar.”
“Benar, Tania. Provider-nya saja sudah berbeda.”
“Kau sedang tidak membohongiku, kan?”
“Lihatlah. Kau bisa lihat riwayat panggilannya. Aku menghubungi Rangga malam sebelum keesokan harinya aku bertengkar dengannya.” Tutur Bisma sambil memberikan ponselnya dan ponsel Tania pada pemiliknya.
Tania yang tidak percaya segera mengamati dua layar ponsel dengan kelopak mata yang dibuat lebar.
“Kau benar, nomornya beda. Apa ada sesuatu yang Rangga sembunyikan?”
Bisma menggaruk pelipis kanannya heran. Sambil mengambil kembali ponselnya dari Tania, ia memikirkan apa yang terjadi sebenarnya. Ini di luar dugaan Bisma yang tengah melaksanakan kesepakatannya bersama Rafael dua hari yang lalu.
Di detik ini, setelah semua teka-teki yang ada semakin menguak, ia rasa ia tidak bisa melanjutkannya. Bisma tidak tega pada wanita di depannya. Sumpah demi apapun, ia tidak ingin mencitrakan kesan buruk di depan Tania; sang wanita yang mulai ia ikhlaskan demi sepupunya yang lebih dicintai wanita itu.
Bisma mendegus sebal. “Baiklah. Besok pagi aku akan menjemputmu, kau harus bangun lebih pagi dari biasanya. Kita akan memantau Rangga di apartement—ah, aku tidak tahu itu apartement Rangga atau Benicia.”
Tania menatap Bisma dengan tatapan bertanya. Kesimpulannya, mereka berdua akan mengintai Rangga?
###

Tania melangkahkan kakinya memasuki ruangan penuh aura intimidasi untuk kesekian kalinya selama ia bekerja di kantor cabang pusat Soekarta’s Company yang berada di Indonesia. Pandangannya lagi dan lagi harus menangkap sebuah punggung kokoh milik seorang pemuda yang tengah memandang ke arah luar jendela. Dia memasukkan kedua tangannya dalam masing-masing saku celana dengan terlihat begitu angkuh; Rafael.
Tania menghela napas pelan dan memutar bola matanya sebelum berniat memanggil nama pemuda tersebut.
“Ada apa kau memanggilku, Raf?”
Sosok tersebut membalikkan tubuhnya dengan begitu mempesona. Kalau Tania boleh jujur, ia mungkin bisa saja jatuh cinta pada Rafael jika pemuda itu tidak pernah memperlakukannya dengan sangat jahat, ibarat ia adalah manusia dengan derajat terendah.
Namun, semua aura memikat pemuda itu tertutupi oleh jiwa iblis sejati yang melekat di tubuh Rafael.
“Kemana pengawal-pengawalmu itu? Mereka tidak mengikutimu atau melarangmu untuk masuk ke dalam ruanganku?”
“Mereka tidak ada di tempat untuk jam sekarang. Apa yang ingin kau lakukan lagi padaku?”
Rafael tertawa pongah. Pandangannya kini memandang nyalang ke arah Tania, membuat Tania sendiri menjadi kikuk setengah mati. Arti dari kenyalangan itu menyiratkan sinar keliaran memikat sekaligus kejahatan, yang mampu menggerakkan mata untuk memandang dua mata oriental Rafael lebih lama dari biasanya.
Tania tidak jatuh cinta pada tatapan Rafael, tetapi ia sedang berjaga-jaga akan apa yang ingin dilakukan Rafael saat ini juga padanya.
Rafael mulai berjalan ke arahnya. Tania bersumpah untuk kali ini, ia begitu terpukau setiap kali melihat Rafael melangkahkan kakinya
Langkah kedua kaki jenjang itu terlihat khas dan kokoh, berbeda dengan Rangga yang langsung memancarkan aura begitu memimpin. Rafael berbeda, dia memiliki aura tersendiri yang membuatnya jatuh cinta pada setiap langkah yang diayunkan dua kaki itu.
Tania harus sadar, pemuda di depan sana adalah musuhnya.
“Apa yang kau lakukan bersama Bisma tadi pagi?”
“Tidak ada yang kami lakukan. Dia hanya mengantarku bekerja sebagai tanda aku dan dia sudah kembali berhubungan baik.”
“Kau kira aku tidak tahu?!”
Tania sedikit mengangkat dagunya untuk menatap wajah Rafael yang berada di atasnya. Pemuda itu sudah berdiri tepat satu langkah di depannya. Ia tersenyum sinis. “Apa urusanmu?”
Rafael mengangkat tiga jemari tangan kanannya. Ia mengusap penuh lembut area tulang pipi Tania dengan senyum mematikan. “Rangga mengkhianatimu, ya?”
Tania segera menepis kuat jemari Rafael, namun jemari itu kembali mengusap lembut daerah pipi kirinya. “Darimana kau tahu? Lepaskan tanganmu, keparat!”
“Jangan galak-galak, sayang.”
Tania membulatkan kedua matanya. Buru-buru ia kembali menepis jemari Rafael untuk kedua kalinya. “Gila!”
Tania mendengar tawa sinis Rafael. Ia segera memundurkan tubuhnya. Bukannya menciptakan jarak yang sedikit melebar, tetapi Tania merasakan area pinggulnya ditarik oleh sebuah kalungan tangan besar. Selanjutnya tubuh Tania membentur cukup kencang tubuh Rafael sampai sedikit berbunyi.
Aroma musk bercampur sebuah aroma wangi yang khas kini menyergap dua cuping hidungnya. Tania sadar ia sudah berada dalam perangkap Rafael. “Persetan kau, Rafael! Lepaskan aku!”
“Tidak akan. Sepertinya mencicipi setiap jengkal kulitmu cukup mengasyikkan. Kurasa kau juga akan menikmatinya dan akan meminta lebih padaku.” Rafael meremas pinggang Tania di akhir kalimat.
Kekhawatiran kini melanda sanubari Tania. Di antara benci dan takut secara bersamaan, tubuhnya justru malah melemah dengan payah. “Ka—kau! Aku tidak akan sudi. Lepas!”
“Tidak kulepas sebelum aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“Lebih baik kau menyewa seorang wanita untuk menyalurkan naluri primitif-mu. Lepas, gila!”
Tania menggunakan salah satu tangannya untuk melepaskan tangan Rafael yang mengalung di pinggangnya, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk mendorong kuat dada bidang Rafael.
“Kau lebih menarik dibandingkan wanita-wanita itu.”
“Kau harus sadar kau punya anak laki-laki, Rafael!”
“Aku sadar. Memang kenapa?”
Tania membulatkan dua matanya. Saat ia ingin membuka bibir untuk menyahuti ucapan Rafael, di waktu yang sama pula Rafael sudah mendekatkan wajahnya pada wajah Tania.
Tania gelagapan, tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia semakin mendorong kencang tubuh Rafael.
“RAFAEL!”
“Ikuti perintahku! Kalau dia kembali melukaimu seperti ini, tendang saja selangkangannya.”
Tania kembali mengingat perkataan pria keparat yang juga sudah mengkhianati kepercayaannya. Namun tidak ada salahnya jika ia mematuhi perintah pria itu, nyatanya sekarang ia dalam situasi bahaya.
Posisi yang terlalu menempel saat ini tidak memungkinkan Tania untuk mengangkat tinggi salah satu kakinya. Tania bersiasat ingin melakukannya dengan tempurung lutut. Belum saja ia mengangkat bagian kakinya, sebuah suara amat keras; bantingan pintu, membuat dua matanya segera melirik ke sumber suara.
Rafael juga sudah kembali menjauhkan wajahnya walaupun pemuda itu belum mengendurkan sama sekali pelukannya. Wajah Rafael menengok ke arah pintu ruang kerjanya yang terbuka lebar.
Di muka pintu, berdiri seorang perempuan berpakaian kantor yang begitu elegan dengan gelagat gusar. Dua matanya sudah membulat sempurna dan penuh dengan kilat emosi. Kaki-kaki jenjang yang dimiliki perempuan tersebut segera melangkah cepat ke arah Rafael yang mulai melepas pelukannya pada pinggang Tania.
Tubuh tegap Rafael segera berhadapan dengan tubuh perempuan yang mengganggu acaranya. Pandangan matanya memandang kesal sekaligus heran ke arah perempuan itu. “Ada apa kau dat—“
Belum saja Rafael menyelesaikan ucapannya, sebuah tas menghempas wajahnya dua kali berturut-turut. Beban berat yang dimiliki tas tersebut menciptakan sengatan begitu menyakitkan di atas wajahnya.
Rafael meringis sakit. Dipegangnya dua ujung bibirnya secara satu-satu. Sudah ia duga, bercak-bercak darah menempel di jari-jarinya saat ia menyentuh pelan luka itu.
Pandangannya segera memandang benci ke arah perempuan tersebut. “Apa yang kau lakukan, Thella?!”
Thella—perempuan tersebut—tertawa senang sebelum membalas sengit pandangan Rafael. “Karena kau menyentuh Tania dengan tak senonoh. Apa kau juga ingin Benicia disentuh seperti itu oleh pria lain?”
“Tidak usah ikut campur dengan masalahku!”
“Tania adalah masalahku juga.”
“Kau juga disuruh Rangga untuk menjaga dia, heh?!”
“Bagaimana menurutmu?”
“Kau saksi mata, ya? Sampaikan ini pada Rangga.”
Rafael segera menarik lengan Tania kencang. Ia meraih pinggang Tania dan mendorongnya untuk menghilangkan jarak di antara tubuh keduanya. Sepersekian detik kemudian, Rafael menempelkan bibirnya kilat di atas permukaan bibir Tania.
Rafael melepas bibirnya dari bibir Tania dan tersenyum puas. “Bilang pada sepupuku yang sialan itu kalau aku berhasil menyentuh bibir Tania.”
“RAFAEL BR*NGS*K!”
Tania berteriak kencang setelah Rafael juga secepat kilat melepasnya. Kedua mata Tania langsung mengeluarkan air mata begitu deras. Tatapannya mengarah benci sekaligus kecewa secara bersamaan.
“Kau yang murahan, Tania!”
Thella merasakan amarahnya sudah melebihi ubun-ubun. Ia segera mengambil sebuah pisau yang biasa ia bawa untuk berjaga-jaga jika ada yang ingin melakukan aksi kejahatan padanya. Tapi kali ini aksi kejahatan itu dilakukan oleh mantan sahabatnya sendiri.
Ia mengacungkan benda tajam itu di depan Rafael. “Sekali lagi kau bicara dan bergerak untuk melecehkan Tania, kupastikan pisau ini akan menggores tubuhmu, Raf!”
Tania terkejut melihat aksi berani Thella. Ia segera mendekati Thella dan berdiri di sebelah perempuan itu.
“Thella, sudah! Lebih baik kita keluar dari ruangan ini.”
“Bunuh saja dia, Tania! Banyak orang merasa rugi karena kehadiran keparat ini. Anaknya sendiri bahkan kecewa padanya.”
“Thella, ikut aku!”
Tania segera menarik tangan Thella yang tidak memegang pisau. Ia menyeret langkah sahabatnya yang masih saja mengumpat untuk Rafael dengan berteriak marah. Ia rasa lebih baik mereka berdua mengamankan diri daripada masih berada di dalam ruangan berbahaya ini.
Baru saja beberapa langkah, Tania merasakan sebuah sentakan dari arah belakang. Ia segera berbalik, dua matanya langsung membola karena pisau lipat yang berukuran sedang itu sudah berada di tangan Rafael.
Pemuda itu mendekat ke arahnya dengan wajah yang sangat terlihat benci. “Lebih baik aku menghancurkanmu sekarang, Tania!”
Alarm bahaya sudah berdengung di dalam otaknya. Tania melepaskan tarikannya pada tangan Thella dan mulai mundur untuk menjauhi Rafael. “Kau—sadarlah, Rafael!”
“Aku sadar! Pria keparat itu bersama orang tuanya akan mencabut jabatanku sebentar lagi. Aku akan membuat sebuah kenangan atas apa yang ingin dia lakukan.”
“Raf—Rafael! Kau—“
“Anakku saja sudah benci denganku. Lantas, apa yang harus aku pertahankan lagi? Tahtaku bahkan lepas karena balasan pria-mu itu.”
Tania memejamkan matanya ketika merasakan tangannya ditarik oleh Rafael yang sudah mengacungkan pisau. Dalam bayangannya, benda tajam itu akan menembus kulitnya dengan begitu menyakitkan. Jika sudah jalannya ia akan ditikam Rafael, Tania hanya ingin ia tidak melihat darah segar yang keluar dari dalam tubuhnya.
Satu detik kemudian, bukan merasakan benda tajam yang menikam bagian tubuhnya, justru Tania merasakan tubuhnya terhuyung ke samping. Suara ringisan pelan menyusul setelah Tania merasakan kepalanya pening dan tubuhnya masih sedikit bergerak untuk mencari keseimbangan.
Tak peduli dengan rasa sakit yang mendera kepalanya, Tania segera membuka pejaman matanya. Ia langsung berlari sempoyongan melihat apa yang terjadi di depannya.
Thella sudah berbaring dengan perut bersimbah darah. Dua tangan perempuan itu memegang bagian tikaman hingga tangannya sudah berlumuran darah yang sangat banyak sekali. Bau anyir begitu menyengat di setiap sudut ruangan.
Tania segera memangku kepala Thella dan menepuk pelan dua pipinya. “Thella, bertahanlah.”
Sebilah pisau yang beberapa detik yang lalu masih dipegang Thella kemudian diambil alih Rafael, sudah tergeletak di samping tubuh Thella. Pisau itu berlumuran darah. Dua mata Tania dengan cepat menangkap tubuh tegap Rafael yang berada tak jauh dari keberadaan pisau tersebut.
Rafael mematung dengan keadaan tangan yang sedikit terkena darah.
Tania memandang penuh aura kebencian pada Rafael. “Kau harus bertanggung-jawab!”
“TOLONG! TOLONG! ADA YANG TERTUSUK PISAU DI SINI! TOLONG!”
Tania berteriak kencang. Beberapa detik kemudian, banyak karyawan perempuan maupun laki-laki menghampiri mereka dan segera membopong tubuh Thella keluar dari ruangan. Tania mengintruksi mereka untuk membawa Thella ke rumah sakit terdekat dan ia berjanji akan menyusul secepatnya.
Tania harus mengurus kejadian yang sudah terjadi dengan Rafael.
“Pak Rafael, sedang terjadi apa di ruangan anda? Apa ada penyusup yang ingin membunuh anda? Apa perlu kami menghubungi pihak kepolisian?”
“DIAM KALIAN!”
Rafael berteriak kencang pada beberapa staff perusahaannya. Pandangan pemuda itu menatap tajam pada masing-masing karyawannya yang masih berada di dalam maupun di muka pintu ruangannya.
Tatapan Rafael mengarah semakin benci pada Tania.
“Jangan ada yang membocorkan kejadian ini pada pihak kepolisian maupun pihak lain yang bukan berstatus karyawan di tempat ini. Jika saya mendengar pertanyaan dari pihak luar, saya tidak segan-segan memecat kalian semua dari perusahaan saya. Dengar itu!”
Suasana tegang segera menguasai.
Rafael kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Tania. Pemuda itu bahkan melangkahkan pisau yang menjadi saksi bisu kejadian berdarah beberapa waktu yang lalu.
Tubuh Rafael membungkuk, ia mensejajarkan wajahnya di depan Tania. “Bahkan kau lebih jahat dariku.”
“Kau gila! Benar-benar gila!”
“Kuingatkan, kau juga harus bertanggung jawab atas foto-foto Rangga yang diambil saat dia keluar dari apartement Benicia. Foto-foto yang kau sebarkan di media sosial juga beberapa wartawan tadi pagi sudah menjadi trending topic di Indonesia.”
Tania membulatkan dua matanya. “Jangan ‘sok tahu!”
“Kau memulai masalah baru dengan pria-mu sendiri. Dia jauh lebih sadis dariku tanpa kau tahu. Cara kau melampiaskan kekecewaanmu pada Rangga, benar-benar jauh dari kata cerdas.”
“Aku hanya memberi pelajaran untuk Rangga!”
“Atas saran Bisma, bukan? Ternyata aku tidak perlu mengotori tanganku sendiri untuk melakukan itu. Bisma bisa diandalkan.”
Tubuh Tania terlihat bergetar. Jika beberapa detik lalu ia menampikan wajah begitu angkuh untuk membalas sikap Rafael padanya, maka kali ini ia hanya bisa merasakan kekhawatiran dan kekhawatiran yang semakin menguak dari dalam jiwanya.
Perbuatannya membuat akun Instagram baru tanpa nama asli dan membagikan beberapa foto yang ia dapat dari Bisma; foto pertama dengan gambar Rangga keluar dari sebuah pintu seorang diri, foto kedua dengan gambar Rangga keluar dari pintu apartemen bersama Benicia, dan foto terakhir di mana Rangga bersama Benicia serta Fasha tadi pagi saat ketiganya berada di lobby untuk melaksanakan olahraga pagi.
Tania memang mempublikasikannya di tiga media sosial terkenal. Selain itu, ia juga mengirimkan foto tersebut—dibantu Bisma—pada beberapa wartawan kenalan Bisma dan beberapa wartawan yang ia kenal karena teman semasa sekolahnya di jenjang menengah pertama maupun atas.
Selain berdalih membantu mereka mencari berita, Bisma juga menyuruh para wartawan tersebut untuk menguak berita tentang Rangga tinggal bersama seorang perempuan dan seorang anak di luar status pernikahan. Hal ini pasti akan menjadi berita yang paling dicari oleh netizen. Rangga adalah tokoh yang masih disorot oleh media di Indonesia karena prestasinya yang semakin gemilang di dunia bisnis. Tania baru sadar, amarahnya tadi pagi akan berbuntut sangat panjang setelah ini.
Di awali melihat Rangga merangkul bahu Benicia dan mendekatkan wajahnya ke arah telinga Benicia, membuat hati Tania semakin kecewa. Apalagi mendengar panggilan Rangga untuk Benicia, otaknya seakan menyuruh ia untuk segera mengacak-acak wajah keduanya. Ditambah kebohongan yang Rangga lakukan, Tania bersumpah akan membalas itu semua. Itulah pikirannya tadi pagi.
“Kalian menjebakku?”
“Aku yang menjebakmu. Bisma begitu bodoh menerima penawaranku. Dia lebih memilih menghasutmu daripada aku yang memberitahu kedekatan Rangga dan perempuan sialan itu. Ternyata, semua ini sangat luar biasa!”
“Raf, kau—sumpah! Aku membencimu!”
“Selamat atas masalah baru yang akan kau hadapi setelah ini.”
Rafael melangkahkan kakinya meninggalkan Tania. Terdengar Rafael menyuruh beberapa karyawannya yang masih berada di ruangan itu untuk segera meninggalkan posisi mereka dan kembali bekerja. Rafael juga menyuruh mereka memanggil karyawan kebersihan.
Jadilah Tania seorang diri. Ia memejamkan dua matanya erat. Tangannya terangkat untuk menarik kencang rambutnya. Ia sedikit berteriak kesal.
Pelupuk matanya tidak bisa menahan air mata itu lebih lama lagi. Tania segera terisak sambil mengingat apa yang terjadi dan apa yang sudah ia lakukan. Penyesalan memang selalu datang di akhir dan amarah yang berlebihan juga benar memperburuk keadaan.
Thella tertikam dan harus dibawa ke rumah sakit karena membelanya.
Masalah yang juga sama parahnya, Tania menyebarkan berita buruk Rangga yang sesungguhnya tidak benar adanya. Jika benar apa kata Rafael kalau berita ini sudah menjadi berita terhangat dan dicari-cari masyarakat Indonesia, pasti Keluarga Besar Soekarta merasa sangat malu sekali. Banyak anggota keluarga mereka harus memikirkan cara yang cocok supaya bisa membersihkan nama Keluarga Soekarta, kecuali Bisma dan Rafael yang sama-sama menjadi dalang dibalik semua ini—mengkhianati keluarga besarnya.
Rangga, bagaimana keadaan pria itu akibat ulahnya yang ceroboh?
Tania segera mengambil ponselnya. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah menghubungi Reza. Ia harus memberi tahu kejadian yang dialami istri Reza karena menyelamatkannya.
“Assalamu’alaikum. Za, ke Rumah Sakit Cempaka Arum sekarang! Thella ditusuk pisau oleh Rafael karena menyelamatkanku.”
“Kau yang benar, Tania? Astaghfirullahala’dzim. Aku segera ke sana!”
Tania segera menaruh ponselnya kembali. Ia segera berbalik dan berlari kencang keluar dari ruang kerja Rafael.
Hal pertama yang harus ia selesaikan adalah Thella dan akibat tikaman itu.






To be continued

No comments:

Post a Comment