Tania
mengerutkan keningnya saat Bisma memberikan sebuah tablet yang layarnya menampilkan
sebuah video dengan lambang jeda. “Ada apa ini?” Tanyanya tidak ingin mengambil
gadget tersebut terlebih dahulu.
Bisma
tetap menjulurkan tangannya. “Ambil dan mainkan saja videonya.”
“Tapi
ini apa? Kau terlihat mencurigakan.”
“Tidak
usah banyak bicara, Tania. Tonton saja videonya.”
Ragu,
Tania menerima gadget tersebut pelan kemudian
menekan lambang jeda pada layar. Sedetik kemudian, Tania bisa melihat gambar demi
gambar yang berputar per sekian detik.
Pergerakan
itu terkonsentrasi pada sebuah meja dengan soffa
merah yang menghadap ke arah kamera. Tania menangkap ada tiga orang yang menjadi
fokus dalam video itu, di mana ketiga orang yang tidak diketahui sedang direkam
terlihat sangat akrab sekali.
Tania
menolehkan kepalanya pada Bisma. “Ada apa dengan video ini?”
“Kau
tidak lihat ke arah mana fokus kameranya?”
“Aku
lihat. Fokus kamera ini ke sebuah meja yang diduduki tiga orang, bukan? Ini seperti
rekaman kamera tersembunyi. Ngh—di tempat makan, ya?”
“Lihatlah
wajah tiga orang itu! Kau akan terkejut setelah melihatnya.”
Tania
membuka dua bibirnya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, namun raut wajah Bisma menegaskan
bahwa ia harus kembali menonton pergerakan gambar di dalam layar.
Tania
kembali menonton video tersebut. Dua matanya memandang fokus pada tiga orang yang
saling menengok saat salah seorang di antara mereka terlihat membuka mulut, seperti
berbincang.
Seorang
pria yang menjadi fokus kamera terlihat menunjuk ke arah kanan kamera sambil tersenyum.
Tania mengamatinya lekat-lekat ketika melihat wajah tidak asing dari pria tersebut.
“Wajahnya mirip dengan Rangga, ya?”
Tania
mendengar Bisma menghela napas, membuat kepala Tania refleks sedikit menoleh. “Apa
kau ingin memberitahuku bahwa Rangga sebenarnya punya saudara kembar? Ini seperti
di sinetron yang Tante Sara lihat.”
“Bukan,
Tan. Itu memang Rangga dan dua orang di sebelahnya adalah anaknya Rafael dan Benicia.”
Tania
melebarkan matanya. Ia kembali menonton video itu dan ia semakin memandang lekat-lekat
video yang masih terputar. Masih belum percaya akan apa yang ia lihat dan apa yang
ia dengar dari Bisma, Tania bahkan sampai mendekatkan layar gadget tersebut hampir di depan wajahnya.
“Bagaimana
bisa? Bukankah Rangga sudah kembali ke Amsterdam lima hari yang lalu? Kenapa dia
bisa bersama Benicia dan anaknya Rafael?”
Tania
meletakkan buru-buru gadget pada meja
persegi di depannya. Dua matanya kini memandang tajam ke arah Bisma yang duduk di
depannya. “Darimana kau dapat rekaman ini? Kapan video ini diambil?”
“Aku
dapat dari manajer restaurant. Video itu di ambil dua hari yang lalu.”
“Kau
menyembunyikan sesuatu dariku? Kau merencanakan sesuatu? Kau dendam padaku karena
kejadian waktu itu, Bis?”
“Tan,
tenanglah.”
“Aku
tidak bisa tenang, Bisma!”
Kegusaran
yang sangat kentara dikeluarkan Tania, membuat Bisma menghela napas panjang. Ditatapnya
lama wajah Tania yang terlihat sekali menuntut jawaban cepat darinya. Pemandangan
dua bola mata wanita itu akan ia rekam baik-baik di dalam ingatannya. Bisma takut
setelah hari ini, Bisma tidak bisa melihat pandangan itu kembali yang masih sudi
memandang wajahnya.
“Aku
tidak dendam padamu. Aku hanya ingin memastikan kalau Rangga belum pergi dari kota
ini. Dia selalu bersama Benicia dan anak itu, dan Rangga tinggal satu apartement
bersama mereka berdua.”
Napas
Tania tercekat di tenggorokan. Dua matanya membulat sempurna. Punggungnya harus
sampai bersandar di dinding kursi karena berjengit kaget.
“Ka—kau
tidak bohong, Bis?”
“Kau
sudah lama mengenalku, Tania. Kapan aku bohong padamu? Hanya waktu itu saja, ketika
aku menyembunyikan kepulangan Rangga. Tapi kau akhirnya tahu juga, kan?”
Tania
mengusap keningnya sambil membuang napas gusar. Ini semua terasa tiba-tiba menyerang,
padahal kondisi fisiknya sedang tidak baik. Tania tengah merasa tidak enak badan
dan lelah secara bersamaan.
Tak
terasa, dinding transparan itu mulai melapisi masing-masing bola matanya. “Apa mereka
sudah menikah?”
“Aku
dapat informasi dari beberapa anggota keluarga kami di Amsterdam, mereka memang
dekat sejak Rangga kuliah. Pihak keluarga Benicia dan keluarga kami, pun memang
kenal dekat. Kudengar, Rangga dan Benicia pernah kumpul bersama keluarga masing-masing
untuk membicarakan sebuah acara perjodohan.”
“Perjodohan?”
Hati
Tania bagaikan ditusuk ribuan belati setelah mendengar penjelasan Bisma. Sebuah
bidang lahan yang baru saja ditumbuhi oleh rerumputan nan hijau beberapa hari yang
lalu, seolah dibumi-hanguskan begitu saja dalam hitungan detik. Penantian yang ia
lakukan sangat lama sekali, dikiranya kisah itu berakhir dengan pertemuan singkat
yang mampu memupukkan harapannya kembali. Namun, apa inikah jalan akhirnya?
Tania
merasa ia tidak bisa mengeluarkan napas dari dua lubang hidungnya. Ia segera membuka
dua bibirnya. Belum saja dua matanya berkedip, tetapi air-air itu akhirnya merembes
keluar menuruni pelan area pipinya.
“Dia
berjanji tidak akan mengecewakanku. Rangga berjanji akan melamarku setelah kepulangannya
kembali dari Amsterdam.”
“Bagaimana
kau menunggu kepulangannya jika dia saja masih berada di sini? Bahkan tinggal bersama
Benicia dan putranya. Kau tahu, bahkan anak itu memanggil Rangga dengan sebutan
papah.”
Air
mata itu terasa semakin deras menuruni kedua matanya. Tania berkedip untuk kesekian
kalinya, dan cairan itu sangat setia mengeksperesikan keadaan hatinya. “Apa aku
harus mempercayaimu?”
“Terserah.
Aku hanya memberimu informasi dan bukan dilandasi untuk balas dendam. Aku sudah
ikhlas untuk melepas hatimu dari ketertarikanku selama ini.” Jawab Bisma dengan
nada pelan.
“Aku
harus bagaimana?”
Tania
menjambak rambutnya kencang. Ia memejam erat, sedikit meringis sakit. Bukan fisiknya
yang terasa nyeri, namun hatinya kini ibarat disayat-sayat oleh sebuah benda runcing
yang amat menyakitkan.
Air
mata itu terus dan terus saja keluar semakin banyak. Ia sadar kalau ia dan Bisma
sedang berada di tempat umum. Tania ingin menangis terisak, namun ia harus menahannya
sekuat yang ia bisa. “Aku ingin pulang.” Lirihnya.
Bisma
tidak menyahuti dan memilih untuk memanggil pelayan. Sesudah mengeluarkan beberapa
lembar uang ratus ribuan dan memberikannya pada pelayan yang membawa kwitansi pembayaran
makan, dua mata pemuda ini memandang penuh simpati pada Tania.
“Kau
hubungi, Rangga.”
“Aku
belum memiliki nomor ponselnya, Bis. Rangga bilang padaku, dia akan menghubungiku
kalau dia sudah sampai di Amsterdam.”
“Tapi
Rangga masih di sini, kan? Hubungi nomor ponselnya yang kau punya. Basa-basi saja
jika dia mengangkatnya, walaupun sebenarnya mustahil Rangga akan angkat
panggilanmu jika dia benar-benar sudah di sana.”
Tania
menghapus air matanya cepat sebelum mengambil ponsel yang berada di saku celana
kerjanya. Setelah mencari nama kontak Rangga dan men-dial nomornya, ia menempelkan benda persegi panjang tersebut di telinganya.
Suara
mesin pembicara operator membuat Tania segera menjauhkan ponselnya. Ia memandang
Bisma dengan pandangan sedih. “Tidak aktif, Bis.”
“Benarkah?
Itu tidak mungkin, Tan! Nomor ponsel Indonesia Rangga itu digabung juga dengan jalur
bisnis perusahaan dia di sini. Jadi dia tidak akan mungkin mematikan jaringan ponselnya.”
“Tapi
tadi kau juga mendengarnya, bukan?”
Bisma
mengerutkan dahi pelan. Bibir bawahnya sedikit ia tipiskan sebelum ia kembali fokus
memandang Tania dengan pandangan yang memiliki banyak pertanyaan sekaligus dugaan.
“Boleh
aku mengetahui nomor ponsel Rangga yang ada di ponselmu?”
Tania
menganggukkan kepalanya dan ia segera memberikan ponselnya pada Bisma. Pemuda itu
mulai mengotak-atik ponselnya sendiri sebelum dia mengambil ponsel Tania dan memandang
dua layar itu secara bergantian.
“Nomornya
beda, Tania.”
“Kau
serius? Lihat yang benar.”
“Benar,
Tania. Provider-nya saja sudah berbeda.”
“Kau
sedang tidak membohongiku, kan?”
“Lihatlah.
Kau bisa lihat riwayat panggilannya. Aku menghubungi Rangga malam sebelum keesokan
harinya aku bertengkar dengannya.” Tutur Bisma sambil memberikan ponselnya dan ponsel
Tania pada pemiliknya.
Tania
yang tidak percaya segera mengamati dua layar ponsel dengan kelopak mata yang dibuat
lebar.
“Kau
benar, nomornya beda. Apa ada sesuatu yang Rangga sembunyikan?”
Bisma
menggaruk pelipis kanannya heran. Sambil mengambil kembali ponselnya dari Tania,
ia memikirkan apa yang terjadi sebenarnya. Ini di luar dugaan Bisma yang tengah
melaksanakan kesepakatannya bersama Rafael dua hari yang lalu.
Di
detik ini, setelah semua teka-teki yang ada semakin menguak, ia rasa ia tidak bisa
melanjutkannya. Bisma tidak tega pada wanita di depannya. Sumpah demi apapun, ia
tidak ingin mencitrakan kesan buruk di depan Tania; sang wanita yang mulai ia ikhlaskan
demi sepupunya yang lebih dicintai wanita itu.
Bisma
mendegus sebal. “Baiklah. Besok pagi aku akan menjemputmu, kau harus bangun lebih
pagi dari biasanya. Kita akan memantau Rangga di apartement—ah, aku tidak tahu itu
apartement Rangga atau Benicia.”
Tania
menatap Bisma dengan tatapan bertanya. Kesimpulannya, mereka berdua akan mengintai
Rangga?
###
Tania
melangkahkan kakinya memasuki ruangan penuh aura intimidasi untuk kesekian kalinya
selama ia bekerja di kantor cabang pusat Soekarta’s
Company yang berada di Indonesia. Pandangannya
lagi dan lagi harus menangkap sebuah punggung kokoh milik seorang pemuda yang tengah
memandang ke arah luar jendela. Dia memasukkan kedua tangannya dalam masing-masing
saku celana dengan terlihat begitu angkuh; Rafael.
Tania
menghela napas pelan dan memutar bola matanya sebelum berniat memanggil nama pemuda
tersebut.
“Ada
apa kau memanggilku, Raf?”
Sosok
tersebut membalikkan tubuhnya dengan begitu mempesona. Kalau Tania boleh jujur,
ia mungkin bisa saja jatuh cinta pada Rafael jika pemuda itu tidak pernah memperlakukannya
dengan sangat jahat, ibarat ia adalah manusia dengan derajat terendah.
Namun,
semua aura memikat pemuda itu tertutupi oleh jiwa iblis sejati yang melekat di tubuh
Rafael.
“Kemana
pengawal-pengawalmu itu? Mereka tidak mengikutimu atau melarangmu untuk masuk ke
dalam ruanganku?”
“Mereka
tidak ada di tempat untuk jam sekarang. Apa yang ingin kau lakukan lagi padaku?”
Rafael
tertawa pongah. Pandangannya kini memandang nyalang ke arah Tania, membuat Tania
sendiri menjadi kikuk setengah mati. Arti dari kenyalangan itu menyiratkan sinar
keliaran memikat sekaligus kejahatan, yang mampu menggerakkan mata untuk memandang
dua mata oriental Rafael lebih lama dari biasanya.
Tania
tidak jatuh cinta pada tatapan Rafael, tetapi ia sedang berjaga-jaga akan apa
yang ingin dilakukan Rafael saat ini juga padanya.
Rafael
mulai berjalan ke arahnya. Tania bersumpah untuk kali ini, ia begitu terpukau
setiap kali melihat Rafael melangkahkan kakinya
Langkah
kedua kaki jenjang itu terlihat khas dan kokoh, berbeda dengan Rangga yang langsung
memancarkan aura begitu memimpin. Rafael berbeda, dia memiliki aura tersendiri yang
membuatnya jatuh cinta pada setiap langkah yang diayunkan dua kaki itu.
Tania
harus sadar, pemuda di depan sana adalah musuhnya.
“Apa
yang kau lakukan bersama Bisma tadi pagi?”
“Tidak
ada yang kami lakukan. Dia hanya mengantarku bekerja sebagai tanda aku dan dia sudah
kembali berhubungan baik.”
“Kau
kira aku tidak tahu?!”
Tania
sedikit mengangkat dagunya untuk menatap wajah Rafael yang berada di atasnya. Pemuda
itu sudah berdiri tepat satu langkah di depannya. Ia tersenyum sinis. “Apa urusanmu?”
Rafael
mengangkat tiga jemari tangan kanannya. Ia mengusap penuh lembut area tulang pipi
Tania dengan senyum mematikan. “Rangga mengkhianatimu, ya?”
Tania
segera menepis kuat jemari Rafael, namun jemari itu kembali mengusap lembut daerah
pipi kirinya. “Darimana kau tahu? Lepaskan tanganmu, keparat!”
“Jangan
galak-galak, sayang.”
Tania
membulatkan kedua matanya. Buru-buru ia kembali menepis jemari Rafael untuk kedua
kalinya. “Gila!”
Tania
mendengar tawa sinis Rafael. Ia segera memundurkan tubuhnya. Bukannya menciptakan
jarak yang sedikit melebar, tetapi Tania merasakan area pinggulnya ditarik oleh
sebuah kalungan tangan besar. Selanjutnya tubuh Tania membentur cukup kencang tubuh
Rafael sampai sedikit berbunyi.
Aroma
musk bercampur sebuah aroma wangi yang
khas kini menyergap dua cuping hidungnya. Tania sadar ia sudah berada dalam perangkap
Rafael. “Persetan kau, Rafael! Lepaskan aku!”
“Tidak
akan. Sepertinya mencicipi setiap jengkal kulitmu cukup mengasyikkan. Kurasa kau
juga akan menikmatinya dan akan meminta lebih padaku.” Rafael meremas pinggang Tania
di akhir kalimat.
Kekhawatiran
kini melanda sanubari Tania. Di antara benci dan takut secara bersamaan, tubuhnya
justru malah melemah dengan payah. “Ka—kau! Aku tidak akan sudi. Lepas!”
“Tidak
kulepas sebelum aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“Lebih
baik kau menyewa seorang wanita untuk menyalurkan naluri primitif-mu. Lepas, gila!”
Tania
menggunakan salah satu tangannya untuk melepaskan tangan Rafael yang mengalung di
pinggangnya, dan satu tangan lagi ia gunakan untuk mendorong kuat dada bidang Rafael.
“Kau
lebih menarik dibandingkan wanita-wanita itu.”
“Kau
harus sadar kau punya anak laki-laki, Rafael!”
“Aku
sadar. Memang kenapa?”
Tania
membulatkan dua matanya. Saat ia ingin membuka bibir untuk menyahuti ucapan Rafael,
di waktu yang sama pula Rafael sudah mendekatkan wajahnya pada wajah Tania.
Tania
gelagapan, tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia semakin mendorong kencang tubuh Rafael.
“RAFAEL!”
“Ikuti perintahku! Kalau dia kembali
melukaimu seperti ini, tendang saja selangkangannya.”
Tania
kembali mengingat perkataan pria keparat yang juga sudah mengkhianati kepercayaannya.
Namun tidak ada salahnya jika ia mematuhi perintah pria itu, nyatanya sekarang ia
dalam situasi bahaya.
Posisi
yang terlalu menempel saat ini tidak memungkinkan Tania untuk mengangkat tinggi
salah satu kakinya. Tania bersiasat ingin melakukannya dengan tempurung lutut. Belum
saja ia mengangkat bagian kakinya, sebuah suara amat keras; bantingan pintu, membuat
dua matanya segera melirik ke sumber suara.
Rafael
juga sudah kembali menjauhkan wajahnya walaupun pemuda itu belum mengendurkan sama
sekali pelukannya. Wajah Rafael menengok ke arah pintu ruang kerjanya yang terbuka
lebar.
Di
muka pintu, berdiri seorang perempuan berpakaian kantor yang begitu elegan dengan
gelagat gusar. Dua matanya sudah membulat sempurna dan penuh dengan kilat emosi.
Kaki-kaki jenjang yang dimiliki perempuan tersebut segera melangkah cepat ke arah
Rafael yang mulai melepas pelukannya pada pinggang Tania.
Tubuh
tegap Rafael segera berhadapan dengan tubuh perempuan yang mengganggu acaranya.
Pandangan matanya memandang kesal sekaligus heran ke arah perempuan itu. “Ada apa
kau dat—“
Belum
saja Rafael menyelesaikan ucapannya, sebuah tas menghempas wajahnya dua kali berturut-turut.
Beban berat yang dimiliki tas tersebut menciptakan sengatan begitu menyakitkan di
atas wajahnya.
Rafael
meringis sakit. Dipegangnya dua ujung bibirnya secara satu-satu. Sudah ia duga,
bercak-bercak darah menempel di jari-jarinya saat ia menyentuh pelan luka itu.
Pandangannya
segera memandang benci ke arah perempuan tersebut. “Apa yang kau lakukan, Thella?!”
Thella—perempuan
tersebut—tertawa senang sebelum membalas sengit pandangan Rafael. “Karena kau menyentuh
Tania dengan tak senonoh. Apa kau juga ingin Benicia disentuh seperti itu oleh pria
lain?”
“Tidak
usah ikut campur dengan masalahku!”
“Tania
adalah masalahku juga.”
“Kau
juga disuruh Rangga untuk menjaga dia, heh?!”
“Bagaimana
menurutmu?”
“Kau
saksi mata, ya? Sampaikan ini pada Rangga.”
Rafael
segera menarik lengan Tania kencang. Ia meraih pinggang Tania dan mendorongnya untuk
menghilangkan jarak di antara tubuh keduanya. Sepersekian detik kemudian, Rafael
menempelkan bibirnya kilat di atas permukaan bibir Tania.
Rafael
melepas bibirnya dari bibir Tania dan tersenyum puas. “Bilang pada sepupuku yang
sialan itu kalau aku berhasil menyentuh bibir Tania.”
“RAFAEL
BR*NGS*K!”
Tania
berteriak kencang setelah Rafael juga secepat kilat melepasnya. Kedua mata Tania
langsung mengeluarkan air mata begitu deras. Tatapannya mengarah benci sekaligus
kecewa secara bersamaan.
“Kau
yang murahan, Tania!”
Thella
merasakan amarahnya sudah melebihi ubun-ubun. Ia segera mengambil sebuah pisau yang
biasa ia bawa untuk berjaga-jaga jika ada yang ingin melakukan aksi kejahatan padanya.
Tapi kali ini aksi kejahatan itu dilakukan oleh mantan sahabatnya sendiri.
Ia
mengacungkan benda tajam itu di depan Rafael. “Sekali lagi kau bicara dan bergerak
untuk melecehkan Tania, kupastikan pisau ini akan menggores tubuhmu, Raf!”
Tania
terkejut melihat aksi berani Thella. Ia segera mendekati Thella dan berdiri di sebelah
perempuan itu.
“Thella,
sudah! Lebih baik kita keluar dari ruangan ini.”
“Bunuh
saja dia, Tania! Banyak orang merasa rugi karena kehadiran keparat ini. Anaknya
sendiri bahkan kecewa padanya.”
“Thella,
ikut aku!”
Tania
segera menarik tangan Thella yang tidak memegang pisau. Ia menyeret langkah sahabatnya
yang masih saja mengumpat untuk Rafael dengan berteriak marah. Ia rasa lebih baik
mereka berdua mengamankan diri daripada masih berada di dalam ruangan berbahaya
ini.
Baru
saja beberapa langkah, Tania merasakan sebuah sentakan dari arah belakang. Ia segera
berbalik, dua matanya langsung membola karena pisau lipat yang berukuran sedang
itu sudah berada di tangan Rafael.
Pemuda
itu mendekat ke arahnya dengan wajah yang sangat terlihat benci. “Lebih baik aku
menghancurkanmu sekarang, Tania!”
Alarm
bahaya sudah berdengung di dalam otaknya. Tania melepaskan tarikannya pada tangan
Thella dan mulai mundur untuk menjauhi Rafael. “Kau—sadarlah, Rafael!”
“Aku
sadar! Pria keparat itu bersama orang tuanya akan mencabut jabatanku sebentar lagi.
Aku akan membuat sebuah kenangan atas apa yang ingin dia lakukan.”
“Raf—Rafael!
Kau—“
“Anakku
saja sudah benci denganku. Lantas, apa yang harus aku pertahankan lagi? Tahtaku
bahkan lepas karena balasan pria-mu itu.”
Tania
memejamkan matanya ketika merasakan tangannya ditarik oleh Rafael yang sudah mengacungkan
pisau. Dalam bayangannya, benda tajam itu akan menembus kulitnya dengan begitu menyakitkan.
Jika sudah jalannya ia akan ditikam Rafael, Tania hanya ingin ia tidak melihat darah
segar yang keluar dari dalam tubuhnya.
Satu
detik kemudian, bukan merasakan benda tajam yang menikam bagian tubuhnya, justru
Tania merasakan tubuhnya terhuyung ke samping. Suara ringisan pelan menyusul setelah
Tania merasakan kepalanya pening dan tubuhnya masih sedikit bergerak untuk mencari
keseimbangan.
Tak
peduli dengan rasa sakit yang mendera kepalanya, Tania segera membuka pejaman matanya.
Ia langsung berlari sempoyongan melihat apa yang terjadi di depannya.
Thella
sudah berbaring dengan perut bersimbah darah. Dua tangan perempuan itu memegang
bagian tikaman hingga tangannya sudah berlumuran darah yang sangat banyak sekali.
Bau anyir begitu menyengat di setiap sudut ruangan.
Tania
segera memangku kepala Thella dan menepuk pelan dua pipinya. “Thella, bertahanlah.”
Sebilah
pisau yang beberapa detik yang lalu masih dipegang Thella kemudian diambil alih
Rafael, sudah tergeletak di samping tubuh Thella. Pisau itu berlumuran darah. Dua
mata Tania dengan cepat menangkap tubuh tegap Rafael yang berada tak jauh dari keberadaan
pisau tersebut.
Rafael
mematung dengan keadaan tangan yang sedikit terkena darah.
Tania
memandang penuh aura kebencian pada Rafael. “Kau harus bertanggung-jawab!”
“TOLONG!
TOLONG! ADA YANG TERTUSUK PISAU DI SINI! TOLONG!”
Tania
berteriak kencang. Beberapa detik kemudian, banyak karyawan perempuan maupun laki-laki
menghampiri mereka dan segera membopong tubuh Thella keluar dari ruangan. Tania
mengintruksi mereka untuk membawa Thella ke rumah sakit terdekat dan ia berjanji
akan menyusul secepatnya.
Tania
harus mengurus kejadian yang sudah terjadi dengan Rafael.
“Pak
Rafael, sedang terjadi apa di ruangan anda? Apa ada penyusup yang ingin membunuh
anda? Apa perlu kami menghubungi pihak kepolisian?”
“DIAM
KALIAN!”
Rafael
berteriak kencang pada beberapa staff
perusahaannya. Pandangan pemuda itu menatap tajam pada masing-masing karyawannya
yang masih berada di dalam maupun di muka pintu ruangannya.
Tatapan
Rafael mengarah semakin benci pada Tania.
“Jangan
ada yang membocorkan kejadian ini pada pihak kepolisian maupun pihak lain yang bukan
berstatus karyawan di tempat ini. Jika saya mendengar pertanyaan dari pihak luar,
saya tidak segan-segan memecat kalian semua dari perusahaan saya. Dengar itu!”
Suasana
tegang segera menguasai.
Rafael
kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Tania. Pemuda itu bahkan melangkahkan pisau
yang menjadi saksi bisu kejadian berdarah beberapa waktu yang lalu.
Tubuh
Rafael membungkuk, ia mensejajarkan wajahnya di depan Tania. “Bahkan kau lebih jahat
dariku.”
“Kau
gila! Benar-benar gila!”
“Kuingatkan,
kau juga harus bertanggung jawab atas foto-foto Rangga yang diambil saat dia keluar
dari apartement Benicia. Foto-foto yang kau sebarkan di media sosial juga beberapa
wartawan tadi pagi sudah menjadi trending
topic di Indonesia.”
Tania
membulatkan dua matanya. “Jangan ‘sok tahu!”
“Kau
memulai masalah baru dengan pria-mu sendiri. Dia jauh lebih sadis dariku tanpa kau
tahu. Cara kau melampiaskan kekecewaanmu pada Rangga, benar-benar jauh dari kata
cerdas.”
“Aku
hanya memberi pelajaran untuk Rangga!”
“Atas
saran Bisma, bukan? Ternyata aku tidak perlu mengotori tanganku sendiri untuk melakukan
itu. Bisma bisa diandalkan.”
Tubuh
Tania terlihat bergetar. Jika beberapa detik lalu ia menampikan wajah begitu angkuh
untuk membalas sikap Rafael padanya, maka kali ini ia hanya bisa merasakan kekhawatiran
dan kekhawatiran yang semakin menguak dari dalam jiwanya.
Perbuatannya
membuat akun Instagram baru tanpa nama asli dan membagikan beberapa foto yang ia
dapat dari Bisma; foto pertama dengan gambar Rangga keluar dari sebuah pintu seorang
diri, foto kedua dengan gambar Rangga keluar dari pintu apartemen bersama Benicia,
dan foto terakhir di mana Rangga bersama Benicia serta Fasha tadi pagi saat ketiganya
berada di lobby untuk melaksanakan olahraga
pagi.
Tania
memang mempublikasikannya di tiga media sosial terkenal. Selain itu, ia juga mengirimkan
foto tersebut—dibantu Bisma—pada beberapa wartawan kenalan Bisma dan beberapa wartawan
yang ia kenal karena teman semasa sekolahnya di jenjang menengah pertama maupun
atas.
Selain
berdalih membantu mereka mencari berita, Bisma juga menyuruh para wartawan tersebut
untuk menguak berita tentang Rangga tinggal bersama seorang perempuan dan seorang
anak di luar status pernikahan. Hal ini pasti akan menjadi berita yang paling
dicari oleh netizen. Rangga adalah tokoh yang masih disorot oleh media di Indonesia
karena prestasinya yang semakin gemilang di dunia bisnis. Tania baru sadar, amarahnya
tadi pagi akan berbuntut sangat panjang setelah ini.
Di
awali melihat Rangga merangkul bahu Benicia dan mendekatkan wajahnya ke arah telinga
Benicia, membuat hati Tania semakin kecewa. Apalagi mendengar panggilan Rangga untuk
Benicia, otaknya seakan menyuruh ia untuk segera mengacak-acak wajah keduanya. Ditambah
kebohongan yang Rangga lakukan, Tania bersumpah akan membalas itu semua. Itulah
pikirannya tadi pagi.
“Kalian
menjebakku?”
“Aku
yang menjebakmu. Bisma begitu bodoh menerima penawaranku. Dia lebih memilih menghasutmu
daripada aku yang memberitahu kedekatan Rangga dan perempuan sialan itu. Ternyata,
semua ini sangat luar biasa!”
“Raf,
kau—sumpah! Aku membencimu!”
“Selamat
atas masalah baru yang akan kau hadapi setelah ini.”
Rafael
melangkahkan kakinya meninggalkan Tania. Terdengar Rafael menyuruh beberapa karyawannya
yang masih berada di ruangan itu untuk segera meninggalkan posisi mereka dan
kembali bekerja. Rafael juga menyuruh mereka memanggil karyawan kebersihan.
Jadilah
Tania seorang diri. Ia memejamkan dua matanya erat. Tangannya terangkat untuk menarik
kencang rambutnya. Ia sedikit berteriak kesal.
Pelupuk
matanya tidak bisa menahan air mata itu lebih lama lagi. Tania segera terisak sambil
mengingat apa yang terjadi dan apa yang sudah ia lakukan. Penyesalan memang selalu
datang di akhir dan amarah yang berlebihan juga benar memperburuk keadaan.
Thella
tertikam dan harus dibawa ke rumah sakit karena membelanya.
Masalah
yang juga sama parahnya, Tania menyebarkan berita buruk Rangga yang sesungguhnya
tidak benar adanya. Jika benar apa kata Rafael kalau berita ini sudah menjadi berita
terhangat dan dicari-cari masyarakat Indonesia, pasti Keluarga Besar Soekarta merasa
sangat malu sekali. Banyak anggota keluarga mereka harus memikirkan cara yang cocok
supaya bisa membersihkan nama Keluarga Soekarta, kecuali Bisma dan Rafael yang sama-sama
menjadi dalang dibalik semua ini—mengkhianati keluarga besarnya.
Rangga,
bagaimana keadaan pria itu akibat ulahnya yang ceroboh?
Tania
segera mengambil ponselnya. Hal pertama yang harus ia lakukan adalah menghubungi
Reza. Ia harus memberi tahu kejadian yang dialami istri Reza karena menyelamatkannya.
“Assalamu’alaikum.
Za, ke Rumah Sakit Cempaka Arum sekarang! Thella ditusuk pisau oleh Rafael karena menyelamatkanku.”
“Kau
yang benar, Tania? Astaghfirullahala’dzim. Aku segera
ke sana!”
Tania
segera menaruh ponselnya kembali. Ia segera berbalik dan berlari kencang keluar
dari ruang kerja Rafael.
Hal
pertama yang harus ia selesaikan adalah Thella dan akibat tikaman itu.
To be continued
No comments:
Post a Comment