Sunday, January 1, 2017

MINE | BAB 11. Darah Perpisahan

TANIA


Aku meremas tepian selimut yang sekarang kugenggam dengan tangan kiriku, selimut yang menutupi tubuhku sampai di depan leher. Seiring dengan bagian di dalam dadaku yang begitu sakit bagaikan diremas kencang, semakin kuat pula kuremas kain selimut sampai buku-buku jemariku terasa kebas.
Dengung-dengung ingatanku mengenai kejadian terakhir aku bertemu Rangga dan mendengar suaranya, membuat dadaku menjadi sangat sesak. Ingin sekali aku mengenyahkan pikiran-pikiran itu dari dalam kepala, tapi aku tidak bisa. Semakin aku ingin melupakannya, justru ingatanku semakin memutar terus-menerus kejadian itu bagaikan rol film yang rusak.
Aku tidak tahu ada apa dengan diriku, aku tidak bisa memastikan. Apakah ini salah satu kebodohanku atau pria itu memang jahat? Namun aku tidak bisa menghentikan tangis ini, semuanya begitu menyakitkan. Aku merasa semua ini tidak adil, aku tak dihargai, aku dikhianati.
Inikah balasan dari Rangga setelah kuhabiskan waktu sembilan tahun untuk menunggunya?
Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku tidak mengucapkan kata-kata kesal kepada Tuhanku. Hanya satu hal yang aku alirkan kalimat tersebut melalui do’a yang aku panjatkan.
Jika dia memang bukan untukku, mengapa Engkau membiarkan waktuku habis untuk menanti dia yang ternyata bukan milikku?
Lagi dan lagi, telingaku terus mendengar suara-suara di masa lampau. Suara lembutnya yang pernah dia keluarkan beberapa kali saat di dekatku, bahkan di depan telingaku. Bisikan-bisikan kalau dia memujaku, seolah aku adalah sebuah berlian paling mahal yang dia temukan saat itu.
“Aku sangat mencintaimu, Tania.”
“Aku berjanji, Tan. Aku akan selalu bersamamu, sampai kapanpun.”
Aku memejamkan kedua mataku dengan erat. Bagaimana caranya aku harus mengabaikan semua pikiran-pikiranku mengenai dia. Aku sudah merasa lelah, mataku sudah perih karena terus menangis. Aku kasihan pada orang-orang di rumah ini, mereka selalu mengetuk pintu kamarku walaupun aku tidak pernah membukanya. Mereka selalu menanyakan kondisiku, bahkan semalam kudengar isak tangis Tante Sara karena aku tidak kunjung membuka pintu kamarku. Semuanya khawatir.
Sembilan tahun aku menunggu dia kembali ke sampingku, menunggu dia menepati janji-janjinya yang dia ucapkan sebelum dia pergi. Aku korbankan hatiku, aku korbankan masa depanku, aku korbankan seluruhnya hanya untuk dia. Harga diriku yang diinjak-injak Rafael, tidak aku pedulikan.
Yang aku inginkan, Rangga kembali hadir dengan segenap cintanya.
Aku ingin dia tetap mencintaiku. Tapi dengan mudahnya dia bilang kalau selama ini dia tidak mencintaiku. Kalung dan cincin yang dia berikan hanyalah sebatas pembungkam mulut agar aku tidak memaksanya menikahiku.
Kemarin-kemarin dia bilang kalau dia tidak memiliki rasa apapun dengan perempuan yang ia jaga selama ia sekolah di Amsterdam. Tapi bibirnya begitu manis. Dia berdusta! Rangga mengkhianati kepercayaanku.
Dia mencintai Benicia, dia mencintai Kila-nya, dan dia menganggap anak itu adalah anak kandungnya. Sebentar lagi Rangga akan menikahi Benicia.
Padahal dia sudah berjanji padaku, dia sudah bersumpah, tetapi apa begitu mudah baginya menarik sebuah janji? Padahal aku sudah yakin kalau dia sangat mencintaiku, tapi dia menghancurkan semuanya.
Aku meringis pelan saat telapak tanganku terangkat, bermaksud untuk menggerakkan tanganku keluar dari selimut. Namun aku baru sadar kalau telapak tanganku sedang tidak normal seperti biasanya. Akibat injakan kencang Rangga di telapak tangan kananku kemarin, masih terasa hingga sekarang.
Kulit punggung telapak tangan kananku mengalami luka sobek yang cukup besar. Selain itu telapak tanganku menjadi sangat kaku, tidak bisa digerakkan sama sekali entah sampai kapan. Menurut Dokter yang menanganiku, perlu waktu sebulan agar telapak tangan kananku bisa kembali pulih, dan hal ini tentu di bawah pengawasannya.
Sebenarnya, sakit yang paling jahat dia tinggalkan bukanlah luka di tanganku. Namun di sini, di dalam hatiku.
“Tan. Tania? Buka pintunya. Aku mohon padamu, jangan mengurung diri terus. Tan?”
Tubuhku yang sedari tadi berbaring menyamping, mulai kulentangkan. Suara serak-serak basah yang kudengar di balik pintu tadi tidak salah, kan?
“Tania, buka pintunya!”
Itu memang suara Bisma.
“Tania! Jangan buat aku mengamuk! Aku dobrak pintu ini kalau kau tidak juga keluar!”
Bisma tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sebelum dia benar-benar merusak pintu kamarku, aku harus membukakan pintu untuknya. Kuhapus air mata di wajahku walaupun Bisma sudah dapat menduga kalau aku menghabiskan waktu di dalam kamar untuk menangisi pria kejam itu; salah satu sepupunya, Rangga.
Aku hanya membuka pintu kemudian kembali berjalan ke arah tempat tidur. Kududuk di tepi kasur sambil menatap Bisma yang tengah menutup pintu. Tidak lama, dia berjalan ke arahku dengan kedua matanya yang sayu.
“Tan, kau sudah dua hari di dalam kamar terus. Kau tidak lelah?”
Oh, dua hari?
“Tania, jangan siksa dirimu. Aku merasa sangat bersalah melihat dirimu seperti ini.”
Alisku memincing mendengar perkataannya. “Kenapa jadi kau yang merasa bersalah?”
Bisma menghela napas pelan sambil mengambil kursi meja riasku, kemudian menariknya sampai di depanku. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas bantalan kursi. “Maaf, aku datang terlambat.”
“Tidak usah meminta maaf, Bisma.”
“Maaf, Tan. Karena otakku yang sempit, semua ini harus terjadi. Karena aku, kau jadi begitu mengenaskan.”
Aku tertawa kecil mendengar kata terakhir dalam ucapannya. “Hei! Apa aku sangat jelek sampai kau bilang aku mengenaskan?”
“Kau seperti mayat hidup, Tan.” Sungut Bisma sambil menyipitkan kedua matanya yang lebar. “Dan ini semua karena aku.” Lanjutnya pelan lalu menundukkan kepala.
Hatiku tersentuh melihat apa yang dilakukan Bisma. Dia terlihat begitu menyedihkan, seolah dia juga sama menderitanya sepertiku. Padahal aku tidak menyalahkannya.
Aku tahu bagaimana sulitnya posisi Bisma saat itu. Aku tahu bagaimana dia selalu ingin melindungiku, dia selalu ingin membahagiakan aku. Bisma tidak pernah ingin melihatku sedih dan menderita, apalagi menangis.
Berbanding terbalik dengan pria itu.
Kedua tanganku refleks tergerak untuk membingkai kedua sisi wajahnya. Masing-masing telapak tanganku menempel di atas pipinya. Dengan telapak tangan kiriku, kuangkat wajahnya. Sepasang mata lebarnya sudah berkaca-kaca.
Wajah Bisma sudah sangat memerah. Perpaduan dua kesengsaran yang langsung merambat cepat ke dalam dada dan kepalaku. Tak bisa kucegah, air mata menggenang di dalam pelupuk mataku. Aku baru sadar, aku sangat menyayangi lelaki di hadapanku.
“Aku tidak apa-apa,” Kuusap pipi kanannya dengan ibu jari tangan kiriku. Kutarik kecil kedua ujung bibirku, berusaha menyampaikan perasaan damai padanya. “Aku baik-baik saja.”
“Tania, aku tahu kalau kau tid-“
I’m okay. Trust me!”
Dadaku terasa dihunus pedang sangat tajam ketika setetes air jatuh melalui salah satu sudut matanya. Tidak menunggu lama, air matanya yang lain mulai menetes dari kedua matanya yang besar.
Indrawi yang biasanya selalu menyajikan keteduhan, kini menyatakan penyesalannya. Sepasang keindahan yang biasanya selalu menyampaikan bahwa dia akan selalu ada di sampingku, kini menyiratkan kalau dia sekarang sama sakitnya sepertiku.
Dia yang biasanya selalu menguatkan, sekarang begitu rapuh karena kondisiku.
“Hadapi semuanya bersama-sama mulai sekarang, bersamaku, tetap di sampingku.”
Bisma mengambil kedua telapak tanganku. Dia mendekatkan sepasang telapak tanganku ke depan bibirnya. Dia tersenyum begitu lebar dan terlihat sangat tulus, senyum yang hanya dia berikan padaku selama aku mengenalnya.
Bisma mengecup lama telapak tangan kananku yang dibalut perban. Dia memejamkan matanya dengan begitu lembut. Perbuatannya yang mampu mengetuk pintu hatiku, menciptakan sengatan yang tidak aku mengerti.
Yang aku pastikan, aku mulai menangis terisak atas perlakuannya.
Dia berganti mengecup singkat telapak tangan kiriku kemudian menatapku dengan senyum yang masih tercipta.
“Aku sangat menyayangimu, Tania. Aku mencintaimu.”
Isakanku tidak dapat kubendung lagi. Rasa sakit yang sudah kupendam semakin meligat ke permukaan. Hatiku dicubit kuat. Aku tidak bisa memendam semuanya sendiri. Aku butuh sandaran.
Kutarik kedua telapak tanganku kemudian memindahkan tanganku untuk mengalung di lehernya, yang dibalas Bisma dengan mengalungkan tangannya di pinggangku. Aku memeluk erat lehernya lalu menangis di dalam dekapan tubuh hangatnya.
Aku menaruh kepalaku di atas bahu kokohnya, membenamkan wajahku di sana.
“Aku menyayangimu, Bisma. Aku mencintaimu.”
I know, Babe.”
Bisma menjauhkan tubuhnya kemudian memegang kedua sisi wajahku, seperti apa yang kulakukan tadi padanya. Kurasakan kedua ibu jarinya menghapus air mataku yang sebenarnya belum surut. Justru karena ini, air mataku semakin banyak menuruni asalnya.
“Jangan menangis. Orang yang kau tangisi belum tentu memikirkanmu.”
“Tapi,” Ucapanku tercekat saat isakanku keluar semakin kencang dari bibirku. “Ak-aku-”
“Jangan menangis seperti ini. Sudah berapa banyak air matamu keluar karena dia?”
“Aku cinta Rangga,” Suaraku begitu parau saat menyebutkan tiga kata yang begitu sulit kukeluarkan. “Aku mencintainya. Apa aku keterlaluan?”
“Kau tidak keterlaluan.” Bisma masih setia menghapus air mata di wajahku. Memandangi wajah malaikatnya, hatiku semakin dipenuhi rasa sesak. “Cinta tidak pernah salah. Mungkin, kau mencintai orang yang salah.”
“Kenapa aku tidak pernah bisa mencintaimu lebih dari yang aku mau?”
“Karena kita memang lebih baik seperti ini.”
Kulihat Bisma tersenyum begitu lebar. Gerakan jarinya berhenti, tangannya sudah sepenuhnya menangkup wajahku.
Dia adalah lelaki berhati malaikat. Seorang perempuan nanti yang akan memilikinya, adalah perempuan yang sangat beruntung. Mungkin aku bodoh karena aku tidak bisa membalas cintanya yang begitu tulus untukku, namun dia lebih bodoh lagi karena mengharapkan cintaku yang bodoh.
Bisma segalanya untukku. Dia adalah teman terbaik untuk kemarin, sekarang, dan selamanya. Aku tidak pernah bisa berbohong, aku beruntung memilikinya. Aku mencintainya, sebagai seorang sahabat terkasih.
“Aku menyakitimu, ya?”
“Tidak. Sudahlah, di antara aku dan kau tentang perasaan itu, tidak ada yang salah. Menurutku, semuanya dimaklumi.”
Aku hanya bisa menghela napas pelan. Berusaha mengenyahkan rasa sesak yang semakin memenuhi dada dan menghilangkan berat yang begitu menumpu di atas kedua bahuku.
“Apa kau ingin memperjuangkan cintamu sekali lagi?”
“Hah?”
“Rangga benar-benar ingin kembali dan kali ini dia benar-benar pergi. Aku yang membelikannya tiket pesawat sesuai perintah Papih Rully. Jadi, dia tidak akan membohongimu seperti kemarin.”
“Dia? Pulang?” Kedua bibirku tidak bisa menutup untuk beberapa saat. Berbagai hal kini singgah begitu cepat di dalam kepalaku. “Dengan Benicia?”
“Tidak, aku lupa memberitahumu. Benicia kembali ke rumah orangtuanya.” Bisma melepas tangannya dari wajahku. “Jangan galau berlarut-larut! Posisimu sedikit aman.”
“Ta-tapi-“
“Rangga juga harus menjalankan kewajibannya dan menunjukkan profesionalismenya sebagai General Manager.”
“Tapi posisiku sudah hilang, Bis. Dia tidak mencintaiku.”
“Anggap saja ucapan dia kemarin, luka di tangan dan luka di hatimu,” Bisma menggantungkan ucapannya kemudian menatapku intens. “Tanda salam perpisahan yang begitu manis.”
Kedua mataku melebar melihat wajah lelaki di depanku. Bisma sudah cekikikan karena ucapannya sendiri. “Selain dirimu, dia juga meninggalkan kesan yang sangat indah untuk kedua sepupunya.”
“Itu tidak lucu, Bisma!”
“Ya, aku bukan pelawak. Tapi aku ingin mencoba kau melupakan sedikit kesedihanmu.”
Aku tersenyum kecil mendengar kejujurannya. “Terima kasih sudah berusaha.”
“Jadi, kau ingin pergi? Besok dia berangkat, jam delapan malam pesawatnya take off.”
“Tante tidak akan mengizinkanmu untuk berhubungan lagi dengan Rangga!”
Kepalaku dan Bisma segera menoleh ke arah pintu. Tanpa aku dan Bisma sadari, pintu kamarku sudah terbuka lebar dan Tante Sara sudah berdiri di muka pintu. Beliau berkacak pinggang sambil menatap tajam ke arah kami.
“Jangan pernah menyebut nama pengingkar itu di dalam rumah ini! Sangat menjijikan!” Tante Sara beralih bersedekap dada. “Lupakan dia, Tania! Tata kembali hatimu. Tante tahu itu tidak mudah, tapi jangan pernah mengharapkan dia lagi! Dasar tidak tahu diuntung! Sudah tahu ada-“
“Tan, bukan maksudku tidak sopan menyela ucapan Tante, tapi ada Bisma di sini. Biar bagaimanapun, dia juga sepupunya Rangga.”
“Tania! Jangan sebut nama itu!”
Okay. Tapi jangan berkata yang menyinggung Bisma, Tanteku Sayang.”
“Jangan mengejekku seperti biasanya, Tania. Tante tahu kalau kau sedang dalam keadaan yang tidak baik.” Tante Sara melembutkan pandangannya. Beliau beralih memandang Bisma. “Maafkan Tante, ya?”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti bagaimana marahnya Tante dengan sepupuku itu.”
Tante Sara terdengar menghela napas panjang. “Tante rasa kau sudah terlihat sedikit baik. Kau harus keluar kamar dan makan, ya? Kalau perlu Bisma suapi biar kau semakin nafsu makan.”
Aku mendelik ke arah Bisma yang mengacungkan ibu jarinya tanda mengiyakan ide gila itu. Tante Sara terkekeh pelan lalu meninggalkan kamarku dalam diam.
“Ingin kusuapi, Nona?” Tanya Bisma dengan nada jahil. Setelah menyelesaikan ucapannya, dia tertawa kencang.
Aku mencibirnya tanpa suara sebelum membalas pertanyaannya yang mengejekku. “Aku tidak nafsu kalau kau suapi. Tapi, temani aku makan, ya? Aku tahu kau akan ikut makan.”
Bisma beranjak berdiri. “Ya, aku mendadak lapar.”
Aku tertawa mendengar jawabannya yang selalu sama. Bisma selalu semangat setiap kali aku bertanya tentang apapun yang berhubungan mengenai makanan.
Baru saja aku ingin beranjak berdiri, namun Bisma menahan kedua bahuku dengan masing-masing tangannya. Aku harus kembali duduk di atas ranjang dan mendongakkan wajah untuk menatapnya.
One more again. I love you, Tania.
Bisma merundukkan tubuhnya. Dia mengecup keningku dan tidak melepaskannya dalam waktu sesaat. Aku memejamkan mata, merasakan kehangatan yang merambat pelan ke dalam hatiku. Suatu rasa yang mampu meringankan apa yang kurasa saat ini, dan mampu menciptakan senyuman lebar yang sudah lama tidak keluar dari bibirku.
Kecupan di kening adalah sebuah ciuman tulus karena kita menyayangi seseorang begitu dalam. Dan aku merasakannya, dari seorang Bisma.
Love you too, Bis.
***

RANGGA


Kuperhatikan wanita yang sekarang sedang berdiri di hadapanku, di depan meja kerjaku. Wajahnya begitu memerah, kedua matanya pun membulat lebar ke arahku. Aku sudah bisa menebak kalau dia marah padaku. Sangat marah.
Ya, aku hafal bagaimana sifatnya setelah aku hampir sepuluh tahun mengenalnya begitu dekat.
“Kau ke-”
“DUDUK SAJA!”
Aku kembali menjatuhkan tubuhku di atas kursi. Kedua alisku bertaut mendengar bentakannya yang terdengar begitu murka.
“APA MAKSUDMU, RANGGA? KAU SUDAH MENJADI BODOH, HAH?!”
“Kila, kau kenapa sampai berteriak seperti itu?”
“OTAKMU ADA DI MANA SAAT MELAMARKU? BODOH SEKALI!”
Oh, karena itu. Aku memang lupa bilang padanya kalau kemarin aku melamarnya di depan kedua orang tuanya. Menyampaikan maksud kalau aku ingin menikahinya, ingin menjadikan dia milikku seorang, menjadi ayah bagi Fasha.
“Ada yang salah?” Tanyaku sambil menatapnya heran. “Aku, kan-”
“ITU SALAH BESAR!” Kila menghembuskan napasnya sangat kencang. “Kau ingin menjadikan aku pelarianmu?! Kau sangat menginjak-injak harga diriku, Rangga!”
“Menjatuhkan harga dirimu? Aku tidak berniat seperti itu.”
“Lalu niat apa yang kau punya kemarin?”
Aku menghela napas pelan melihat Kila yang begitu mengejutkan. Dia tidak biasanya seperti ini kalau dia tidak benar-benar marah. Lagipula, apa ada yang salah jika seorang pria melamar seorang wanita? Dia single, dan aku pun sama sepertinya.
“Ya, aku berniat melamarmu, meminangmu. Aku meminta izin dari kedua orangtuamu, dan aku mendapat jawaban kalau mereka tergantung dirimu, Kila. Lantas, apa jawabanmu?”
Aku beranjak berdiri kemudian mendekatinya. Kutarik lebar kedua sudut bibirku, menciptakan senyuman lebar untuk menantikan jawaban baik yang keluar dari bibirnya.
Saat aku sampai di sampingnya, Kila segera memposisikan tubuhnya untuk berhadapan denganku. Dia menatapku dengan matanya yang semakin melebar, bahkan kulihat dia menggigit bibir bawahnya begitu gemas.
“Rangga, kumohon kau sadar! Kembalilah waras seperti semula!”
“Aku sadar!”
“Sebelumnya, maaf.”
“Mak-“
Sebelum aku melanjutkan ucapanku, Kila membungkam bibirku dengan melayangkan tamparan sangat keras di atas wajahku. Rasanya begitu perih, panas, dan kebas. Aku tidak pernah tahu kalau tenaganya begitu dahsyat saat dia marah. Karena tanpa ancang-ancang, tubuhku sedikit terhuyung ke belakang.
Aku tidak percaya kalau perempuan di depanku adalah Benicia Shakila Maheswari yang kukenal, sebab selama ini dia tidak pernah menggunakan tangannya saat dia murka. Namun kali ini, dia menamparku dengan sepenuh hati.
Dadaku sesak menerima semua ini.
Kusentuh sebentar area panas yang ditinggalkan Kila kemudian kupandangi wajah putihnya yang sudah sangat merah. “Kenapa kau menamparku? Kenapa kau semurka itu?”
Kila menyunggingkan senyuman miringnya. Sebuah senyum yang belum pernah kulihat. “Aku sedang mengembalikan kewarasanmu!”
“Kau pikir aku gila?” Desisku lalu mempersempit jarak di antara aku dan Kila.
“Ya, kau gila! Kalau caramu seperti itu, kau tidak ada bedanya dengan Rafael!”
“Oh, kau masih mengharapkan sepupuku yang sialan itu?”
“Setidaknya dia menolakku sejak awal, tidak sepertimu! Kau memberikan Tania harapan setinggi langit kemudian kau tinggalkan dia dengan sikap sialanmu! Keparat kau, Rangga!”
“Kenapa kau jadi mengumpatku dan peduli dengan dia?”
“Aku dan dia sama-sama terlahir sebagai kaum perempuan. Kami mengutamakan hati daripada logika! Aku tidak tahu sebesar apa rasa sakit yang dirasakan wanitamu, tapi aku tahu bagaimana rasanya. Apa kau tidak merasa bersalah? Apa kau tahu, Rangga? Jawab aku!”
Apa aku tidak merasa bersalah?
“Rangga! Jangan diam saja!”
Adakah yang mengertiku sebentar saja?
“Kau punya mulut, bukan?”
Andai ada yang tahu bagaimana keadaanku. Aku terjatuh begitu dalam. Hatiku lara. Cintaku untuk perempuan itu penuh luka. Aku sangat kecewa.
“RANGGA!”
“Keluarlah! Aku tidak ingin melihatmu.”
Aku tidak bisa wajahnya yang teramat murka sekaligus melemparkan pandangan sedihnya ke arahku. Jadi lebih baik aku kembali duduk di kursiku dan melanjutkan pekerjaanku yang tertunda akibat kedatangannya.
“Ga, aku hanya ingin kau membuka hatimu. Aku tahu kau juga terluka karena semua masalahmu, tapi kalau tidak ada yang ingin mengalah di antara kalian, hubungan kalian akan hancur.”
“Sudahlah, Kila, kau tidak perlu kasihan padaku. Aku baik-baik saja.”
“Aku memang ikut campur, tapi aku seperti ini karena aku ingin kalian berdua kembali bersatu. Karenaku, kalian seperti ini, semuanya akibat keberadaanku yang tidak diketahui Tania. Rangga, tolonglah ka-“
“Kau tuli?” Mataku memincing ke arahnya, setelah aku menyela ucapannya yang sudah malas kudengar. “Keluarlah!”
“Aku tahu kau tidak baik-baik saja, Ga.”
“Aku sendiri yang lebih tahu bagaimana aku sekarang!” Timpalku dengan nada yang kubuat setegas mungkin. Kualihkan mataku kembali ke layar laptop di depanku dan mulai mengetik di atas keyboard.
“Terserah. Mamihmu sangat khawatir, Ga. Pulanglah hari ini dan tidak ada kata menginap seperti kemarin. Makan yang benar dan minum air putih yang banyak. Please, jangan buat kami khawatir!”
“Ya.”
“Jangan bekerja terlalu keras dan tidak ingat waktu. Aku pamit pulang.”
Terima kasih sudah datang dan memperhatikanku, ujarku dalam hati. Aku tidak bisa mengeluarkan kalimat itu dan lebih memilih diam. Sekadar untuk membuka bibir saja begitu sulit kulakukan, apalagi berbicara.
Kila berhasil membuka luka yang kututup rapat-rapat selama ini. Semua ucapannya memukul kepalaku, menyadarkan bahwa aku sendiri tidak mau kalah di dalam masalah ini. Aku merasa aku harus benar dan perempuan itu yang mengemis maafku.
Aku tahu aku tidak gentleman. Aku tahu kalau aku adalah seorang pengecut dan pecundang. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku kecewa, jauh lebih kecewa sebelum Tania membenciku sekarang. Aku pun tahu kalau aku telah melakukan kesalahan besar dengan membalas perbuatannya dan sebelum itu, aku tidak jujur atas keberadaan Kila.
Oleh sebab itu, apakah dia harus membalasnya dengan begitu picik?
Kusingkirkan laptop yang beberapa hari ini menjadi pengalihku dari semua masalah rumit di dalam hidupku. Kuletakkan kedua tanganku di atas meja yang kosong kemudian menundukkan kepala. Mengambil napas banyak dan membuangnya pelan.
Bagaimana keadaan tangannya?
Kejadian malam itu kembali terputar dalam ingatanku. Sebuah aktivitas yang membuatku begitu kalut dan uring-uringan belakangan ini. Bukan merasa senang dan puas karena berhasil membuat mereka frustasi, justru aku sendiri yang frustasi.
Kedua sepupuku babak-belur saat ketiganya mencoba kabur dari rumah yang kujadikan sebagai tempat penyekapan mereka. Selain itu, aku berhasil membuat Tania sampai jatuh-bangun untuk menyelamatkan benda pengikat kami yang sembilan tahun lalu kuberikan padanya. Sebuah kalung yang sudah pasti hancur berantakan dan cincinnya yang menggelinding entah di mana.
Benda pengikat itu.. Punyaku ada dimana?
Persetan! Lebih baik aku menyiapkan diri untuk keberangkatanku dan bertemu dengan Fasha; jagoan kecil itu. Untuk yang terakhir kalinya.
Aku harus menyiapkan diri semalaman, sampai akhirnya aku bisa berdiri di sini, di depan pintu kediaman Keluarga Maheswari. Seorang pelayan sudah masuk ke dalam untuk memanggilkan Fasha dan membawa anak laki-laki itu bertemu denganku.
Fasha, seorang anak laki-laki yang sudah dekat denganku sejak dia masih di dalam kandungan ibunya. Putra kecil Kila yang dibesarkan dalam sebuah keadaan yang tidak begitu bahagia, namun ibunya selalu bisa membuat anak itu hidup di dalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang. Tidak hanya dari keluarga besarnya, aku dan kedua orangtuaku juga melakukan hal yang cukup serupa agar putra kecil itu tidak merasa kesepian.
Meskipun di beberapa kesempatan saat aku menjemput Fasha sekolah di taman kanak-kanak sampai di sekolah dasar, aku mendapati dia seringkali memperhatikan teman-temannya yang dijemput bersama ayah dan ibu mereka, dengan senyum merekah serta penuh keharmonisan.
Kedua mata Fasha selalu berkaca-kaca saat melihat semuanya. Maka dari itu aku sudah menyayanginya seperti putraku sendiri, karena hal-hal tersebut sudah dapat kubayangkan sejak Fasha masih di dalam kandungan Kila.
Sampai sekarang, aku masih sangat menyayanginya, aku mencintainya. Dia begitu tegar di saat umurnya baru menginjak angka delapan. Dia tidak pernah menangis di depan Benicia, pembawaannya selalu tenang.
Anak yang kubicarakan akhirnya muncul dari anak tangga rumah mewah milik Eyangnya—panggilan Fasha untuk kedua orangtua Killa—. Dia berjalan diiringi Killa di sebelahnya dan mereka melangkah lebar-lebar ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum memandang keduanya yang menatapku dengan sorot mata yang tidak kumengerti.
“Pah, kenapa Papah tidak masuk?”
“Iya, Ga. Kenapa kau tidak mau masuk? Ada apa?”
Aku masih tersenyum ketika keduanya sampai di hadapanku ditemani pandangan heran mereka yang kentara terlihat. Sudah kuputuskan sejak semalam kalau aku tidak ingin masuk ke dalam rumah ini seperti biasanya. Aku tidak bisa, dan aku tidak mampu saat aku tengah dalam kondisi kalut seperti ini.
“Tidak apa-apa. Aku hanya sebentar menemui kalian.”
“Ga, apa kau masih marah karena kemarin?” Kila memandangku dengan pandangan sedihnya. “Maaf. Maafkan aku, Ga.”
“Lupakan soal kemarin, anggap saja aku tidak pernah mengucapkannya.” Jawabku sambil menatapnya dengan santai.
Ya, kau memang tidak harus memikirkan itu. Aku menyesalinya, Kila. Aku terlalu gegabah.
Kujatuhkan tubuhku di depan Fasha, bersimpuh dengan kedua lutut yang menyentuh di atas lantai kemudian memegang erat masing-masing bahu kecilnya. Memori di dalam kepalaku sudah bekerja, menghafal setiap inch wajah Fasha agar suatu saat aku merindukannya, aku tidak lupa dengan wajah malaikat kecil ini.
“Fasha, Papah mau berpesan sesuatu padamu.”
Anak itu dengan lucunya mengerutkan kening dan sedikit mengernyitkan bibirnya. Sangat menggemaskan.
“Belajar yang benar di sini, kau harus menyesuaikan diri. Lagipula kau sekelas dengan Arda, kan? Setidaknya menurut Papah, kau bisa meminta Arda untuk membantumu bergaul di sekolah barumu. Arda itu anak yang supel dan bawel, juga sedikit nakal. Jangan tertular sifat aneh anak itu.”
Fasha tertawa kecil mendengar kalimat terakhirku tentang Arda; anaknya Reza, yang menurutku memiliki kemiripan sifat seperti ayahnya semasa sekolah.
“Ya, aku akan patuh dengan pesan Papah. Tapi, Papah mau pergi? Kenapa titip salam?”
“Papah harus pulang.”
“Pulang? Kapan kembali lagi, Pah? Bukannya waktu itu Papah bilang, kalau Fasha dan Mamah pindah ke Rumah Eyang, Papah juga ikut pindah?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Wajah itu sudah memerah dan kedua matanya berkaca-kaca. Aku tidak mau Fasha menangis, apalagi di depanku. Keputusanku sudah bulat, dan aku tidak mau goyah hanya karena tidak tega padanya.
Aku menepuk bahu kanan Fasha lalu beranjak berdiri. Kupandangi wajah Kila yang sudah mengarah padaku. Dia menatapku dengan pandangannya yang melebar.
“Kau lebih memilih meninggalkan semua ini daripada mengejarnya? Kau benar-benar jadi pecundang?” Kila menatapku dengan kedua mata bulatnya yang kini berair. “Aku tidak mengenalmu yang seperti ini! Kau menyerah, Ga? Kau tidak ingin menang?”
“Ini sudah kupikirkan matang-matang dan kumohon, kau jangan memintaku untuk mengubah semuanya.”
“RANGGA! KAU KENAPA?”
Kila mendekatiku dan meremas jaket jeans yang kukenakan. Dia menundukkan kepalanya, mulai menangis terisak. Ya Tuhan, bukan pertemuan seperti ini yang kuharapkan.
“Kau benar-benar menyakiti Tania, Ga. Kau sudah membunuh dia perlahan-lahan. Selesaikan semuanya, baru kau pergi.”
“Aku juga punya tanggung jawab, Kil. Aku tidak bisa menunda pekerjaanku lebih lama lagi. Aku tidak bisa!”
“Lalu kau lebih memilih pekerjaanmu daripada wanita masa depanmu?”
“Saat ini, pekerjaanku lebih penting daripada mengurusi hidupku yang cukup berantakan.”
“Kau harus merapihkannya!” Kila mendongakkan wajah, menatapku marah. “Aku tahu, kau pun tersiksa! Kau tidak perlu berpura-pura seolah kau tegar! Kau sudah jatuh! Kau hancur, Rangga!”
“Tidak usah menjadi cenayang!”
“Pancaran matamu tidak bisa berbohong, kau tidak dalam keadaan baik-baik saja.”
“Tenang, Kil.”
“Rangga, aku kecewa.”
Aku mengusap puncak kepalanya saat dia kembali menunduk dan melanjutkan tangisnya. Tubuh dia bergetar hebat disertai remasan jemarinya yang semakin kuat di kain jaketku.
Senyumku sudah hilang, ketenangan di dalam mataku tidak bisa kuciptakan lagi. “Aku minta maaf.”
“Apa kau sudah pamit pada Tania?”
Kila lebih memilih tidak membalas perkataan maafku dan menanyakan perihal yang tidak ingin kudengar sekarang. Aku memutar bola mata sambil melepaskan cengkraman kedua tangannya dari jaketku.
“Rangga, jangan seperti ini.”
Kujatuhkan lagi tubuhku untuk bersimpuh di depan tubuh Fasha. Tanpa bicara lagi, segera kutarik Fasha ke dalam pelukanku. Memeluk tubuh kecilnya dan menciumi puncak kepalanya dengan segenap kasih sayangku padanya yang tidak dapat terukur dengan apapun.
“Pah, jangan pergi.” Bisiknya. Kurasakan kedua tangan mungilnya mengalung di leherku, membalas pelukanku.
“Papah harus kerja, Sayang. Opa Rully sudah menyuruh Papah kembali.”
“Kapan Papah pulang dan ketemu Fasha lagi?”
“Secepatnya.”
“Papah jangan bohong! Papah, kan sibuk.”
“Secepatnya Papah bertemu Fasha lagi. Jagoan tidak boleh menangis karena ditinggal Papah Rangga kerja, okay?”
You’re the only one My Daddy. Nothing else.”
Aku hanya tersenyum seraya melepas pelukan kami. Kuusap kepalanya lalu beranjak berdiri. Kupandangi ibu dan anak di depanku dan kembali menciptakan senyum tipis di atas bibirku.
“Aku pergi, ya. Jaga diri kalian baik-baik tanpa aku di dekat kalian lagi.”
“Hati-hati. Sampai di sana, hubungi aku.”
Aku menganggukkan kepalaku kemudian memberikan pelukan perpisahan kepada Kila.
“Kuharap kau merubah pikiranmu setelah sampai di sana. Cepat kembali.”
Stop it! Jangan menyebalkan, Kila!”
“Aku sudah mengenalmu sangat lama.”
Kila melepas pelukanku. Dari wajahnya, aku bisa menangkap sorot kekecewaan yang begitu besar untukku. Sepasang matanya memang tidak mengeluarkan air mata lagi, tapi aku tahu kalau dia begitu sedih karena keputusanku.
See you again, Rangga. We’ll miss you so much.”

Leave
Finally I realise, that I’m nothing without you
I was so wrong, forgive me

Aku tidak tahu apakah keputusanku untuk pergi darinya adalah sebuah tindakan yang patut dibenarkan. Sisi putihku mengatakan bahwa keputusanku adalah suatu kesalahan terbodoh yang pernah kulakukan. Sebagai seorang pria yang sangat mencintai wanitanya, seharusnya aku memperjuangkannya. Namun aku tidak bisa karena aku belum mampu berakting seolah aku mengalah. Aku tidak pernah bisa membohongi hatiku sendiri di hadapan orang yang kukasihi.
Sisi gelapku mengatakan bahwa ini adalah tindakan yang sangat benar. Aku harus memberikan peringatan kepada Tania, bahwa sebuah dendam tidak harus dibalas jahat untuk menyelesaikannya. Darah dibalas darah dan sakit dibalas sakit, menurutku itu adalah sebuah prinsip hidup yang laknat.
Tetapi semua ini diawali karena kecerobohanku. Semula aku menganggap ini adalah masalah yang mudah dan tidak perlu dipikirkan bagaimana resiko terburuknya, karena aku akan jujur padanya di saat waktuku sudah tepat untuk menceritakan semuanya. Namun nasib berkata lain, Tania harus mendengarnya dari mulut orang lain. Bukan dari mulutku sendiri.
Sayang, maafkan aku. Aku sadar, cintaku lebih besar dari amarah dan kecewaku padamu, Tan. Kuharap masih ada sisa tempatku untuk meminta maaf di hatimu. Aku mohon, semua ini sungguh menyiksaku.

Like the tides my heart is broken
Like the smoke my love faded away
It never erases like a tattoo
I sigh deeply and the ground shakes
My heart is full of dust (Say goodbye)

Aku duduk di sebuah kursi berwarna perak di dalam ruang tunggu, menunggu informasi keberangkatan pesawat yang akan mengantarkanku ke tempat domisiliku selama sembilan tahun ini. Ribuan kilometer jauhnya dari tempat asal di mana aku dilahirkan dan tumbuh menjadi diriku yang sekarang. Bukan kemauanku untuk pergi sejauh ini, namun inilah beban yang harus kutanggung karena aku terlahir di dalam Keluarga Soekarta.
Kedua mataku menatap lurus ke depan, di mana kursi di depanku sedang diduduki oleh sepasang suami-istri berwajah khas Netherland. Keduanya kutebak masih berumur muda dan tampak begitu serasi, dengan bayi kecil di atas pangkuan ibunya yang sedari tadi tertawa geli sebab digodai oleh ayahnya. Keluarga kecil yang begitu harmonis.
Ya Tuhan, apa aku iri?
Memandang mereka membuat ingatanku kembali berpusat kepada satu nama yang setiap detiknya selalu memenuhi otakku. Sebuah nama yang berhasil menggetarkan hatiku dan membuat jantungku berdegup kencang. Aku merasa tidak waras, aku merasa ada yang salah dari dalam fisik atau psikisku.
Dan kali ini, aku mendengar sebuah bisikan pelan yang menyuarakan namanya dengan amat lirih dan perih. Aku menggeleng kuat, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh ini. Mungkin aku mulai berhalusinasi. Ya, aku memang kurang tidur setelah malam itu, malam di mana aku membuatnya terluka lahir dan batin karena kebodohanku.
Mengapa dampak dari kata cinta begitu dahsyat? Apakah seseorang yang sedang dilanda cinta, bisa menjadi manusia yang sangat bodoh? Aku belum pernah mencintai orang seserius ini dan aku tidak tahu kalau Tania berhasil mengukur kedalaman hatiku untuk seseorang yang kukasihi selain keluargaku.
Selama ini, aku hanya menganggap cinta adalah rasa yang melebihi dari batas kata suka dan sayang. Namun aku baru sadar, kalau cinta juga bisa membuat seseorang menjadi makhluk yang sangat bodoh, karena aku belum bisa mengendalikannya.
Namun, apa aku salah jika aku kecewa dengannya? Aku selalu bertanya-tanya di dalam hatiku, apa aku terlalu egois untuk masalah hubungan kami?
Kupikir, aku sudah tidak mencintainya karena perbuatan yang dia lakukan untuk menghancurkanku. Tapi aku salah, aku masih mencintainya. Sangat-sangat mencintainya.
Batas amarah dan kecewaku memang berhasil dia lampaui, membuat sifat iblisku keluar dan semena-mena menyakitinya. Namun, cintaku untuknya ternyata tidak terhapus begitu saja. Desiran itu masih terasa, tempat yang dia miliki masih tersedia di dalam hatiku, dan hatiku memihak bahwa hanya seorang Tania yang boleh menempatinya.
Cintaku untuk Tania memang hancur, namun belum ada yang hilang atau sekedar tercecer. Semuanya masih sama seperti sebelumnya. Aku sangat mencintainya, dan aku ingin dia menjadi milikku sepenuhnya.
Kuraba leherku lalu kurasakan sebuah benda mengganjal di antara telapak tanganku dan kulit leherku. Aku menahan senyum tipisku karena menyadari bahwa cincin itu masih menggantung di balik kaos yang sekarang kukenakan. Aku beralih mengeluarkan cincin itu sampai aku bisa melihat benda tersebut di depan mataku. Cincin emas putih yang mirip dengan apa yang kulihat beberapa hari lalu saat aku menginjaknya dengan tidak manusiawi.
Sebuah hantaman keras langsung memukul dadaku, merambatkan penyesalan yang sudah kurasakan beberapa hari ini setelah penyekapan itu. Aku masih mengingat bagaimana bentuk tali kalungnya yang hancur karena gerakan kakiku. Selain untaian kalung yang hancur, logikaku berkata bahwa mulai detik itu, hubunganku dan Tania pun sudah sama hancurnya dengan benda pengikat kami.
Apa aku bisa melepasnya?
Kulepas pengait tali kalung yang membuat cincin tadi menggantung manis di leherku. Setelah berhasil melepasnya dari leherku, kutatap kalung yang kini hanya tinggal satu saja di antara dua yang kubuat, dan itu adalah milikku. Kalung yang begitu indah, bersama kenangan di dalamnya yang sama juga indahnya.
Aku masih ingat semangat yang kupunya untuk membuat sepasang kalung tersebut. Gelenyar rasa-rasa yang kualami saat itu, masih terasa di hatiku hingga sekarang. Aku tersenyum simpul mengingat kehebohanku menceritakan ide ini kepada Bisma, yang dibalas sepupu terdekatku itu dengan wajah heran dan geli di saat bersamaan.
Bisma.. Aku menghela napas pelan. Kugenggam kalung yang berada di sebelah telapak tanganku, kemudian kupalingkan wajahku ke kaca besar yang berada di sebelahku.
Lelaki itu adalah saudara terdekatku bahkan sejak bayi, aku dan dia sudah selalu bersama. Aku mengenalnya sebagai seorang pria yang lembut dan penuh perhatian. Dia memiliki kesabaran luar biasa besar dibandingkan anggota keluarga besarku yang lain. Dia juga sosok yang sederhana walaupun dia terkenal ceroboh sejak kecil.
Bisma dan Tania sudah sangat dekat, dan aku memang tahu awal mula kedekatan mereka sejak keduanya bertemu di kelas sepuluh. Dan saat aku menyuruh Bisma untuk menjaga Tania, ternyata keduanya jauh lebih dekat dari yang kubayangkan. Lebih mengerikan lagi, Bisma mencintai Tania.
Dengan keadaanku dan Tania saat ini, sebenarnya ini merupakan kesempatan Bisma untuk membuat Tania jatuh hati kepadanya dan melupakan aku. Dia bisa mengambil alih posisiku dan akhirnya perasaan sepupuku itu berbalas.
Haha. Melupakan? Aku tidak akan ikhlas!
Apa kau ingat seberapa banyak kesalahanmu, Rangga? Teriak isi kepalaku yang masih dalam keadaan baik. Baiklah, apa ini adalah akhir dari kisah cintaku dan Tania?
Kubuka kembali jemari-jemariku yang mengepal, memperlihatkan kalung dan liontin cincin tersebut. Kedua benda itu mengingatkanku tentang seberapa besar rasa cintaku untuk perempuan itu.
Namun kalau dia terus merasa sakit saat bersamaku, apa aku akan bahagia?
Kuletakkan kalung dan cincin tersebut di atas kursi kosong di sebelahku. Kuhirup napas dalam sebelum menghembuskannya sekuat yang kubisa. Ya, aku sudah mengambil keputusan ini, sekaligus mencakup bahwa aku juga harus mulai melupakannya.
Sayup-sayup suara menginformasi bahwa pesawat yang kutumpangi akan segera take off beberapa belas menit lagi. Aku beranjak berdiri diikuti orang-orang yang memiliki tujuan sama sepertiku. Beberapa di antaranya sudah berjalan menuju pintu di depan sana, dan aku harus segera mengikuti mereka.
Aku harus secepat mungkin melupakan kepahitan ini.
Langkah demi langkah kuayunkan untuk segera sampai di pintu depan. Semakin menjauh dari kursi tersebut, kedua mataku semakin memanas. Aku ingin menengok ke belakang, aku ingin berlari. Sesuatu tertinggal di sana dan aku tidak yakin bisa tetap tenang karena hal ini. Sekuat tenaga aku egois dengan suara otakku, tetapi hatiku berkata lain.

Oh, girl! I cry, cry
You’re my all, say goodbye, bye
Oh, my love, don’t lie, lie
You’re my heart, say goodbye

Aku berbalik badan dan segera berlari menuju kursi yang semenit lalu kududuki. Tidak kupedulikan beberapa tatapan aneh dari para penumpang lain, karena tujuanku sekarang tidak bisa membuat urat maluku bereaksi. Semua karena dia, karena perempuan itu, seseorang yang selalu aku klaim sebagai wanitaku.
Kalung dan cincin itu masih tergeletak di sana dan aku segera mengambilnya. Aku menjuntaikan untaian kalung tersebut, membuat cincinnya berada di tengah-tengah tali. Tangan kananku yang mengambang di udara, tidak mampu menutup senyuman lebar yang kuperlihatkan saat ini.
Senyuman ini adalah bukan senyum bahagia. Andai ada yang mengerti bagaimana posisiku sekarang. Aku sedang berusaha tegar walaupun jauh di dalam lubuk hatiku, aku menangis.
“Tania,”
Bibirku bergetar mengucap nama itu. Suara pelan dan lirih yang menyatakan bahwa aku sebenarnya gamang. Aku tidak tahu bahwa keputusanku ini membawa dampak penyesalan yang begitu menguasai diriku.
Kugenggam kalung tersebut kemudian kukecup liontin cincinnya. Semoga dia bisa merasakan suatu keterikatan batin di antara kami, bahwa sampai saat ini aku masih sangat mencintainya.
Aku memang salah dan aku memang membenci perbuatannya sampai detik ini, namun semua itu tidak bisa menutupi fakta bahwa aku sangat mencintainya. Aku membutuhkannya.
Aku tidak bisa menduga bagaimana hari-hariku setelah ini.
Yang aku yakini sekarang, jika kami sudah ditakdirkan berjodoh, kami akan dipertemukan kembali. Entah kapan waktunya. Kalau kami tidak berjodoh, aku hanya ingin Tuhan membantuku untuk melupakannya. Menghilangkan rasaku untuknya lalu memberikannya pada seseorang yang pantas. Biarkan Tania menjadi salah satu kenangan terindah di dalam hidupku.
And I never want to forgot her.




To be continued